Di depan tungku perapian, dulu kakek saya berpesan "kamu sekolah yang pinter, biar nanti hidupmu tidak susah, kalau bisa jadi pegawai, jangan tani seperti kakekmu".
Namun anehnya, meski Kakek saya tidak mengingkan cucunya jadi petani, tetapi saja beliau mengajarkan bertani. Selepas subuh ke ladang menyiram sayur, dan nanti sorenya menggendong tangki untuk menyemprot hama.
Potret masa lalu, di mana tani bukanlah sebuah cita-cita. Tani identik dengan pekerjaan yang tidak ada gengsinya sama sekali.
Padahal jika melihat realita, tidak sedikit petani yang kaya raya, dan hidupnya jauh lebih mapan daripada pegawai kantoran. Cuma petani tidak memiliki kelas sosial, meskipun memiliki beberapa kendaraan, lahan, dan rumah yang megah.
Benarkah anak-anak muda, tak lagi mau bertani?
Pagi ini di lereng Gunung Merbabu saya diajak menemui petani muda yang ingin mengembalikan budaya keluarga dalam bertani.
Mereka adalah kakak beradik yang bernama Yesa dan Eben, yang telah hijrah dari pekerjaan formal di kota dan kini kembali ke dusunnya untuk menggarap ladangnya.
"Bapak punya sembilan petak lahan. Ada investor mua menyewa, setahun 40 juta. Lahannya mau dijadikan restoran dan taman. Benar mas kami langsung dapat 40 juta. Tapi, nanti saat sudah berjalan, saat kami mau nengok lahan kami, suruh bayar tiket masuk, bayar parkir, dan suruh beli kopi. Padahal kami ini yang punya lahan. Dari itulah kami semua sepakat, menggarap lahan itu daripada disewakan," cerita Yesa dan Eben.
Rumah sederhana mereka terpasang jaringan internet dan wifi. Mereka bisa dengan mudah mengakses dunia pertanian, begitu pula dengan pasarnya. Kini hanya dengan modal itu, mereka bisa mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian yang ada sentuhan teknologi memanfaatkan internet.