Sesaat saya tidak percaya saat melihat perahu yang akan kami tumpangi mengarungi Samudra Hindia. Dengan perahu dengan pajang 8 meter dan lebar 1,5 meter dilengkapi dengan mesin 15 PK. Rasa kalut saya semakin membuncah manakala pelampung hanya ada 2 buah. Nenek moyangku seorang pelaut, seloroh saya saat naik perahu.
Dari muara sungai Malakoni kami keluar menuju laut lepas. Ade, motoris kami langsung memutar gas untuk melompati ombak sebelum pecah. Awal kengerian saya peralahan-lahan mulai sirna manakala perahu bisa berjalan dan menari-nari di atas ombak yang kadang bisa membuat pulau Enggano hilang dari pandangan.
Kami berangkat berdelapan orang, 4 dari kami adalah peneliti, dan 4 rekan kami adalah juru mudi, nelayan, guide hutan, dan seorang yang mengurusi perbekalan kami. Kami memiliki tugas masing-masing untuk kelancaran misi ini. Seperti biasa salah satu tugas saya adalah menceritakan apa yang terjadi di sana.
Sekitar 3 menit kami berlayar, tetiba bunyi joran kail berderit-derit. Umpan kami yang disambar ikan. Sengaja kami memancing dengan teknik troling memanfaatkan laju perahu kami yang berkecepatan 8-12 km/jam. Dengan sigap pak Irfan meraih joran dan siap berkelahi dengan ikan. Ade segera melambatkan mesin perahu dan kami melihat pertarungan yang sengit.
Kenur kail terlihat tegang dan badan kalap bergoyang. Mas Sigit sepertinya tidak tahan, sejak tadi menahan perahu yang bergejolak oleh laut selatan. Seketika dia memegang dinding perahu dan mengarahkan kepela ke laut lalu memuntahkan isi perut. Muntahnya rekan kami diiringi sorak-sorai, bagaiama tidak  kami berhasil mendaratkan ikan barakuda seberat 15 kg, lalu Ade gas pol kembali.
3 jam kami membelah lautan biru di sisi barat daya Indonesia. Lalu perlahan Ade mengarahkan moncong perahu ke darah pantai. Dia mencari jeda ombak untuk menembus sawang luat.Â
Salah perhitungan, perahu bisa hilang digulung ombak atau jika masih beruntung akan terbalik. Ombak tinggi datang, segera dengan kekuatan penuh perahu diarahkan menembus sawang tepat di puncak ombak. Setelah itu terlalui maka sampailah di peairan yang tenang dan ketegangan pun hilang.
Di tepi pantai kami mendarat di Sawang Bugis, demikian orang Enggano menyebut tempat ini. Lokasinya terdapat gubug mungil tempat singgah nelayan, ada sumur air tawar dan beberapa phon kelapa peninggalan Bina Karya/transmigran. Setandan kelapa mudah langsung ditebas oleh pak Dame yang hanya membutuhkan hitungan detik dalam memanjat.
Segera perapian dibuat sebelum langit gelap. Dengan gagang yang ditusuk ikan, kami memulai memanggang ikan sesuai dengan selera kami masing-masing. Bumbu-bumbu instan disiapkan oleh rifal, kru perahu yang serba bisa. Malam ini kami menikmati ikan bakar, ya hanya ikan bakar dan sedikit lauk berupa nasi yang belum begitu masak dengan segelas teh tubruk panas andalan saya.
Perut kenyang, namun mahluk-mahluk kecil sepertinya kelaparan. Beberapa dari kami sengaja mendekati api agar terhindar dari nyamuk, bahkan rela kena asap. Ada juga yang membalur tubuhnya dengan lotion anti nyamuk, ada yang menutup rapat tubuhnya dengan sarung sembari meringkuk. Sepertinya kami sia-sia, dan akhirnya nyamuk agas yang terkenal dengan gigitannya yang super gatal mulai menyantap kami.
"Ayo mumpung masih surut, kita tidur di bagan apung saja" teriak pak Irfan dan kamipun mengikutinya. Benar saja, di atas laut yang sedalam betis tidak ada satupun serangga di sini. Malam ini kami bisa tidur dengan nyenyak.