Di tengah hutan belantara terdengar suara riuh perempuan yang tak kalah dengan suara aliran sungai. Sangat tidak lazim suara tersebut, karena penasaran saya mencoba mencari asal suara tersebut. Benar saja saya ketemu beberapa perempuan yang sedang berendam, sambil sesekali menyelam. Mereka bukan sedang mandi, namun sedang mencari makan.
Mencari Cangkang
Sudah hampir 2 minggu saya berkelana di kawasan gua kedundung lorong vertikal di bukit-bulan Kars Bukit Bulan. Saya bersama tim arkeologi sedang mencari hunian manusia purba. Puluhan gua kami sambangi untuk mencari petunjuk, siapa tahu mereka pernah tinggal di sini.
Makanan Masa Lalu
"Ini tengkuyung atau siput sungai. Kira-kira siput ini tinggal di mana dan bagaimana dia sampai di sini, ya di goa sini?". Pertanyaan yang mampir di telinga saya. Mulut gua dan sungai berjarak sekitar 200 m dan menanjak. Sepertinya tidak mungkin gastropoda ini sampai di mulut gua dengan berjalan. Artinya ada yang membawa. Siapa dia yang membawa?
Kali ini dia tidak lagi memakai kayu untuk mengorek-orek tanah, tetapi memakai kuas yang agak kasar. Pelan-pelan terlihat cangkang siput, baik yang utuh atau tinggal serpihan. Dia seolah menemukan harta karun dalam wujud cangkang.
"Di sini mungkin dapur dan ruang makan tempo dulu. Lihat banyak sekali cangkang ditemukan di sini". Dia masih mengintip kerang itu lewat kaca pembesarnya, padahal sudah jelas-jelas barang yang besar dan bisa dilihat dengan jelas. "Saya sedang mamastikan, ada bekas terbakar atau direbus tidak di sini, untuk memastikan apakah di olah dahulu atau tidak". Stop ilmu saya belum sampai di situ, mencari tahu dimasak model apalah siput pada masa lalu.
Makanan Masa Kini
Di Sungai Katari saya bertemu dengan perempuan-perempuan dari Desa Napal Melintang. Mereka terjun ke sungai untuk mencari ikan dan pula yang mencari tengkuyung. Ikan ditangkap dengan menggunakan seser atau dalam bahasa sana disebut tangguk. Tangguk terbuat dari bambu sebagai kerangka sedangkan jaringnya terbuat dari anyaman rotan.
Gulai tengkuyung adalah makanan khas daerah Merangin di Sumatera Selatan. Kuliner ini terbuat dari siput sungai/tenkuyung yang nantinya akan dimasak dalam kuah santan dan ditambah belimbing asam atau nanas.
Tengkuyung
Filum moluksa yang artinya hewan bertubuh lunak ini masuk dalam kelas gastropoda atau hewan yang berjalan dengan perutnya. Cangkang adalah kerangka luarnya yang akan melindungi tubuhnya dan akan terus berkembang seiring bertambahnya usia.
Hewan dengan nama ilmiah Sulcospira testudinaria berhabitan di sungai yang mengalir. Tengkuyung memiliki padan kata susuh kura, tengkuyong, tempuyung dan lain sebagainya. Hewan ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatera. Menurut IUCN (nternational Union for Conservation of Nature) tengkuyung belum masuk dalam daftar merah, artinya tidak ada ancamam kelangkaan atau kepunahan.
Usai makan malam, saya termenung tentang apa yang saya temukan tadi siang dan apa yang saya makan barusan. Apakah ada benang merahnya untuk tengkuyung. Malam semakin larut, namun otak ini masih terngiang gegara mahluk sungai bercangkang hitam ini.
Saya mencari jawaban di ruang bagian belakang di penginapan yang saya tumpangi. Para arkeolog juga sedang mencari jawaban yang juga sedang saya pikirkan. Mereka tak hanya mencari benang merah, tetapi apakah mereka yang makan jaman dahulu sama dengan yang makan pada jaman sekarang. "Ini mah bukan benang merah, tapi tambang merah.. tidur.. tidur.. sudah jam 2...".