Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Asa di Pantai Mutun dan Pulau Tangkil, Lampung

4 Januari 2018   12:58 Diperbarui: 5 Januari 2018   15:33 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi pantai Pulau Tangkil yang bersih (dok.pri).

Acapkali tidak banyak yang menyadari jika semua yang terendam dalam air laut adalah hewan, kecuali bakau, lamun, dan rumput laut. Hewan-hewan yang ada di dalam laut teramatlah eksotis dan sangat beragam bentuknya dibanding di darat. Beberapa hewan laut memiliki bentuk menyerupai tetumbuhan, sebut saja Antipates dengan nama familiar akar bahar. Salah kaprah inilah yang terus terjadi dan seolah bukan sesuatu yang penting.

Pantai Mutun

Suatu hari saya mengunjungi sebuah pantai di Lampung Selatan, Pantai Mutun dinamakan demikian yang terletak di Desa Sukajaya Lempasing Kecamatan Padang Cermin. Seperti pantai-pantai pada umumnya. Di pantai ini kondisi air tidak begitu jernih. Visibility/kejernihan sekitar 2-3 meter manakala saya mencoba menyelam bebas. Terumbu karang sepertinua sama sekali tidak ada, setelah saya mencoba menjelajahi dari ujung hingga ujung dengan kano.

Tidak adanya terumbu karang, kemungkinan kondisi perairan bisa juga aktivitas manusia. Banyaknya perahu wisata yang bersandar, sampah pengunjung yang tidak diurus dengan benar, bisa menjadi salah satu faktor menimnya terumbu karang di sana. Mungkin, untuk sebuah pantai sudah sangat bagus, tetapi dari sisi kekayaan fauna laut sangat minim.

Pulau Tangkil

Beranjak saya menyebrang di Pulau Tangkil yang berjarak sekitar 15 menit menggunakan perahu penyebrangan. Bagi wisatawan biasanya akan segera menuju lokasi wisata di sisi utara pulau atau pintu gerbangnya, tetapi saya memilih memutar. Pulau seluas sekitar 12 hektar ini kondisi peraoirannya berbeda dengan Mutun, terumbu karangnya masih cukup baik meskipun banyak yang rusak.

Kondisi pantai Pulau Tangkil yang bersih (dok.pri).
Kondisi pantai Pulau Tangkil yang bersih (dok.pri).
Karang keras dan lunak masih mengisi perairan terutama sisi barat dan selatan. Visibility perairan cukup baik, sekitar 5-8 m sewaktu saya mencoba mengintip di bawah laut. Flora dan fuana sangat beragam di Pulau ini. Sebagian besar pulau ini belum dikelola dan masih tampak alami, sehingga flora masih terjaga dengan baik.

Pulau Tangkil (dok.pri).
Pulau Tangkil (dok.pri).
Di sisi Selatan perahu yang saya tumpangi merapat di pantai yang sama sekali tidak ada pengunjung. Beberapa nelayan terlihat memancing di ujung-ujung pantai sembari berpijak di bebatuan. Pasir pantai Pulau Tangkil jauh lebih lembut dibanding dengan di Mutun. Yang membuat saya tertarik dengan pulau ini adalah sepanjang pantai dapat dengan mudah ditemukan cangkang-cangkang kerang seperti; kepala kambing (Cassis cornuta), kerang terompet (Charonia tritonis), kerang kerucut/lola/susu bundar (Trochus niloticus). Beberapa repihan karang bercabang (Acropora sp) juga banyak yang terdampar. Temuan-temuan kerangka hewan laut di sini bisa menjadi indikator banyaknya hewan laut di sekitar.

Perdagangan hewan dilindungi

Kekaguman saya akan Pulau Tangkil sejenak sirna begitu melihat sebuah kios di tepi pantai yang menjual oleh-oleh. Di sebuah etalase tampak fauna laut yang dilindungi, dijual. Akar bahar, kerang kepala kambing dijual bebas. Mungkin ketidaktahuan informasi akan perlindungan fauna laut ini yang menjadi alasan mengapa menjual barang terlarang tersebut.

Gelang dari akar bahar, salah satu fauna laut yang dilindungi (dok.pri).
Gelang dari akar bahar, salah satu fauna laut yang dilindungi (dok.pri).
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, sudah jelas menyatakan perlindungan pada flora dan fauna tertentu. "Mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi juga melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 40 ayat 2 jo pasal 21 Undang-Undang No 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistem. Mungkin akan sangat bijak "stop membeli flora dan fauna dilindungi". Mekanisme pasar mungkin akan menjadi sangsi yang efektif saat tidak ada yang membeli dan tidak laku maka tidak akan menjual lagi. Informasi dan edukasi pada masyarakat sepertinya harus disegerakan, sebab berwisata tidak hanya menikmati tetapi harus juga menjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun