Dari puncak Gunung Kerinci saya menyaksikan sebuah danau yang luas di tengah-tengah gunung. Danau yang sangat luas, seperti mangkuk raksasa yang bagian tepinya berbentuk tidak beraturan. Kabut tipis perlahan-lahan hilang dan membuat danau tersebut semakin jelas. Konon masyarakat menyebutnya dengan danau gunung tujuh. Di sebut dengan gunung-tujuh karena ada 7 puncak gunung yang mengelilingi danau tersebut. Dengan ketinggian danau 1950 mdpl, sehingga gunung tujuh dijadikan danau tertinggi dan terluas di Asia Tenggara.
Kaki ini masih menahan lelah dan sakit usai turun dari puncak Gunung Kerinci. Di Kersik Tuo, sebuah desa yang dikelilingi perkebunan teh saya beristirahat sesaat. Kondisi kami sangat lelah dan harus segera pulih untuk melanjutkan pendakian ke Gunung Tujuh. Kami punya waktu 12 jam untuk istirahat, sebelum besok berangkat menuju Desa Pelompek, Di Kecamatan Kayu Aro, Jambi,
Kabut tipis di atas daun-daun teh perkebunan kayu aro menyambut pagi. Bebek goreng yang menjadi makanan khas di sana menjadi menu sarapan pagi kami. Perlengkapan pendakian yang semalam berserakan sudah rapi kembali di dalam ransel. Kini saatnya kami harus segera bergegas menuju Pelompek.
Sore pukul 16.00 kami memulai pendakian. Jadwal kami, sampai di tepi danau adalah pukul 18.00. Perjalanan menuju tepi danau diawali dengan melewati ladang pertanian. 1 jam kemudian perjalanan akan berlanjut memasuki kawasan hutan hujan tropis. Suara primata terdengar dengan jelas dan menjadi indikator, hutan ini masih dalam kondisi baik.
Kami naik sampan kecil yang hanya cukup untuk 3 penumpang. Ransel kami di tata di bagian ujung perahi dan kami naik di tengahnya. Dalam gelap malam kami melintasi tengah danau yang sedalam 144 m. Kabut tebal datang dan menghalangi pandangan nakhoda sampan. Kami hanya berpatokan pada arah dan naluri kami saja.
Malam semakin gelap, dan kami semakin tidak tenang di dalam tenda. Ada suara-suara aneh yang berlari mengelilingi tenda. Kadang suara tersebut mendekat, kadang menjauh. Kadang ada langkah-langkah kaki dan suara mendesis. Malam ini kami ingin segera keluar dari waktu yang benar-benar membuat kami takut. Mungkin, malam itu hanya saya yang berani keluar untuk memeriksa sekeliling, tetapi tidak ada apa-apa.
Akhirnya, ketakutan kami sudah selesai. Kami bisa menyambut pagi, suara burung yang merdu, kabut yang romantis, dan cahaya matahari yang hangat. Pagi ini kami kembali bergairah untuk kembali menjelajahi Gunung Tujuh. Hutan yang lebat, alam liar, dan pesona keindahan tidak bisa kami ucapkan dengan kata-kata, tetapi bisa kami buktikan dengan lensa.