"Saya ingin menjadi pilot angkatan udara" kata seorang anak saat pak Kun bertanya tentang cita-citanya, saat berkunjung di Komunitas Kagem-Yogyakarta. Selepas itu, saya iseng menanyakan mengapa memiliki cita-cita yang begitu spesifik 'pilot angkatan udara'. Jawaban sederhana, karena dia sering melihat pesawat tempur latihan dan melintas di atas rumahnya, sehingga kesan itulah yang muncul saat ditanya cita-citanya.
Mungkin saya satu dari sekian anak-anak yang tidak memiliki cita-cita. Alasan sederhana, mengapa tidak punya cita-cita karena tidak ada citra yang bisa saya dapatkan sehingga menjadi keinginan. Awal tahun 80-an ayah saya memutuskan ikut program trasnmigrasi dari Jawa menuju Kalimantan Tengah. Di tempat yang baru bisa dikatakan jauh dari yang namanya peradaban, kanan, kiri, belakang rumah hutan lebat, depannya sungai Lamandau yan lebar.
Dalam benak nyaris tidak terbesit yang namanya cita-cita, bahkan ibu mendongeng tentang insinyur, dokter, pagawai, pilot, tentara, polisi nyaris tidak ada dalam lintasan pikiran dan semuanya gelap. Anak-anak seumuran saya mungkin juga bernasib demikian-tidak punya cita-cita. Namun, setelah saya dipaksa ayah untuk merantau dan sekolah di Jawa barulah mengerti apa yang menjadi dongeng ibu dan tetap masih belum punya cita-cita selain menjadi Kotaro Minami dan Satria Baja Hitam.
Hingga selepas SMU, masih tetap belum memiliki cita-cita. Kuliah mengambil Ilmu Komunikasi siapa tahu bisa menjadi juru kamera petualangan di tolak mentah-mentah oleh keluarga, dan di sarankan masuk hukum atau ekonomi yang lebih mudah, tetapi malah jurusan biologi yang dilingkari dan jelas-jelas anak IPS waktu SMU. Kuliah di ilmu hayat membuat bayangan cita-cita semakin gelap, dan kembali-tidak punya cita-cita.
Yang membuat saya tenang selama masa tidak punya cita-cita adalah tak sekalipun ayah saya menanyakan cita-cita "kamu mau jadi apa?". Dia tidak peduli saya mau jadi apa, tetapi dia akan bertanggung jawab penuh terhadap biaya pendidikan saya. Saya sangat bersyukur memiliki ayah yang tidak pernah menanyakan IPK saya berapa, padahal pernah 1,9 dan hingga lulus cuma 2 koma sekian. Dia tidak pernah marah saat saya tidak lulus mata kuliah, tetapi dia tetap mendorong "berusaha dan saya bertanggung jawab terhadap kuliahmu". Yang membuat saya tenang dan senang kuliah adalah sudah 7 tahun belum juga lulus, tetapi ayah tetap dengan gayanya-tidak punya cita-cita.
Perlahan saya mulai menyadari untuk mencari cita-cita apa yang cocok buat saya. Menjadi kameramen program petualangan, fotografer pernikahan, MLM makanan kesehatan, usaha pulsa, bubar semua, QC mikrobiologi dan semuanya tidak membuat saya betah dalam rangka meraih cita-cita dan sudah teraih. Marahkah ayah saya, dia cuma berkata "silahkan kalau mau S2 saya setuju". 2 tahun berkutat dengan thesis akhirnya selesai juga. Minggu pagi ponsel saya bergetar ternyata ayah menelepon dan dia cuma berpesan "kalau bisa jadilah guru", "masak ayahnya guru anaknya guru, dosen lah.." canda saya  dan itu tertawa terakhir ayah saya untuk selamanya.
Tanah merah yang masih basah dengan nisan salib membesitkan tanda tanya tentang sosok ayah. Ibu lantas bercerita "lihat hamparan sawit-sawit itu, yang di seberang sana untuk membelikan pistol adikmu yang jadi brimob. Sawit yang petak sana itu untuk S1 kamu, lihat koprasi itu ATM ayahmu saat kamu minta komputer". "Stop" saya tidak berani lagi mendengarkan rentetan laporan keuangan dari ibu saya.
Ayah saya memang tidak memiliki cita-cita, tetapi dia memiliki usaha untuk anaknya berproses mencari cita-cita dengan caranya sendiri. Entah sudah berepa petak lahan yang dia potong dan jual. Entah berapa kali dia masuk ATM yang bernama koperasi untuk berhutang atau gali lobang tutup lubang. Jangankan cita-cita, rumah yang ditempati sayah saya selama 20 tahun nyaris tidak berubah demi menyekolahkan 3 anaknya di jawa yang berangkat tanpa berbekal cita-cita.
Ayah tidak pernah membebani anak-anaknya dengan cita-cita, terserah mau apa. Untuk sekelas kepala sekolah, ayah bukan orang yang kurang pergaulan bahkan berteman baik dengan pejabat daerah yang selalu menawarkan posisi jabatan PNS untuk ketiga anaknya, tetapi keputusan ditangan anak-anaknya. Memang benar ayah saya tidak memiliki cita-cita, karena cita-cita adalah sebuah proses perjalanan karir yang dilandasi niat, tekat dan semangat apapun risikonya. Dia tidak peduli lahan hektaran tinggal meteran yang penting anak-anaknya tetap berproses. Ayah yang tidak memiliki cita-cita "tapi bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan, bagaimana pun caranya , sampai akhirnya hayat mungkin" demi untuk Mewujudkan Cita-cita Anak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H