Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gotong Royong di Puncak Gunung Andong

18 Juli 2016   09:29 Diperbarui: 18 Juli 2016   12:04 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era modern yang masyarakatnya ada yang semakin individualis, serba digital dan virtual saat ini sangat susah menemukan interaksi sosial yang layaknya homo homini socius. Banyak yang sibuk dengan gawainya masing-masing atau setidaknya dengan komunitasnya. Namun yang menarik adalah, masyarakat kita bisa dibilang reaktif. Reaktif untuk masalah kebersamaan, gotong royong jangan ditanya untuk orang-orang seantero nusantara. Contoh dari tindakan masyaralat adalah saat seorang ibu penjual makanan yang barusan kena razia satpol PP, tetiba dikeroyok netizen yang memberikan sumbangan hingga terkumpul lebih dari 100 juta rupiah. Sedemikian reaktifnya tanpa perlu melihat siapa yang dibantu, yang penting kebersamaan. Apakah demikian sifat bangsa ini, mari kita lihat di kaki Gunung Andong, Magelang-Jawa Tengah.

Sang Surya baru saja meninggalkan peraduaannya. Sinarnya yang hangat perlahan menyapu tetesan halimun yang perlahan-lahan mulai sirna. Pagi yang hangat di Dusun Sawit, Desa Girirejao, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Penduduk yang terdiri sekitar 6 RT sudah bersiap untuk mendaki gunung Andong setinggi 1726 meter dari permukaan air laut. Tua, muda, lelaki, perempuan, bahkan anak-anak mereka juga diajak ikut serta. Tanpa sarapan mereka bersiap, benar saja karena hari ini mereka masih menjalankan ibadah puasa.

Jalur pendakian Gunung Andong dari Dusun Sawit (1328 m dpl) menuju Makam Joko Pekik di ketinggian 1700 an m dpl (dok.pri).
Jalur pendakian Gunung Andong dari Dusun Sawit (1328 m dpl) menuju Makam Joko Pekik di ketinggian 1700 an m dpl (dok.pri).
Berawal dari bantuan pemerintah yang mengucurkan dana untuk perbaikan Makam Joko Pekik di puncak barat Gunung Andong. Tidak ada yang memastikan siapa sosok yang dimakamkan di puncak gunung tersebut. Ada sebagian masyarakat yang mengatakan dia adalah murid dari Sunan Geseng yang menyebarkan agama Islam di sekitar Gunung Andong. Ada juga yang mengatakan Joko Pekik  adalah seorang pertapa sakti. Tidak ada yang tahu pasti, yang pasti masyarakat juga tidak mempermasalahkan siapa dia. Namun yang menarik, tanpa harus tahu siapa Joko Pekik, tetapi masyarakat di kaki Gunung Andong 'guyub"/bersama-sama membangun petilasan/makamnya yang ada di puncak gunung.

Bagi pendaki gunung, Gunung Andong bukanlah gunung yang tinggi. Bagi mereka yang terlatih, waktu tempuh menuju puncak sekitar 1 - 1,5 jam. Catatan bagi para pendaki, mereka membawa ransel yang nyaman dan tidak begitu berat, mereka membawa makanan dan minuman yang cukup, mereka melengkapi diri selayaknya pendaki gunung. Namun bagi warga sekitar, bekal mereka hanyalah saat sahur tadi untuk modal tenaga, sisanya adalah kesungguhan dan keiklasan.

Berkarung-karung pasir yang akan dibawa menuju puncak gunung oleh Masyarakat dengan cara gotong-royong (dok.pri).
Berkarung-karung pasir yang akan dibawa menuju puncak gunung oleh Masyarakat dengan cara gotong-royong (dok.pri).
Pasir sebanyak 3 rit atau 3 bak truk besar harus diangkut dari kaki gunung menuju puncak gunung melewati jalur pendakian. Masing-masing warga membawa sebuah karung beras yang kemudian akan diisi pasir. Rerata berat pasir yang diwadah karung antara 15-25 kg. Bagitu juga dengan semen yang satu sak semen seberat 40kg. Model membawa pasir atau semen menuju makam Joko Pekik dengan cara disunggi, yakni meletakkan beban di atas kepala. Jika dijadikan proyek pasti akan memakan biaya yang cukup besar, tetapi ini dijadikan aksi kerja bakti gotong royong.

Sekitar 250 warga, pagi ini siap mendaki gunung bersama-sama untuk mebawa pasir dan semen. Tidak ada paksaan, tetapi semua berdasar kesadaran bersama atau mungkin ada sangsi sosial. Orang Jawa akan merasa aneh dirinya jika tidak ikut terlibat, sehingga ada rasa "rikuh pekewuh" sungkan atau tidak enak. Perlahan-lahan mereka mendaki sesuai dengan kekuatan dan kecepatannya masing-masing, dan menarik lagi para pendaki yang menggendong ransel juga didahului oleh para warga.

img-6566-578c3e915f23bd0f052f9eeb.jpg
img-6566-578c3e915f23bd0f052f9eeb.jpg
Sangat menarik dilihat dari sisi antropologi berkaitan dengan budaya. Fenomena ini tak beda jauh dengan sikap reaktif, tetapi warga gunung Andong tak hanya reaktif, tetapi memiliki kesadaran akan sebuah partisipasi. Mereka tidak kenal dan paham siapa Joko Pekik, yang mereka paham dan tahu adalah warga diminta membawa pasir dan semen menuju puncak gunung. Lupakan mereka dibayar berapa atau mendapat apa, yang pasti itu tidak ada, yang pasti mereka turun gunung mendapat rumput dan kayu bakar. Saya menyadari bahwa inilah karakter asli bangsa ini, bahwa kebersamaan itu masih ada tanpa menunggu sebuah kejadian baru ada reaksi setelah ada stimulasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun