Agustus 2003, atau sekitar 13 tahun yang lalu langkah saya terseok-seok manakala sendirian menembus Bukit Penyesalan lalu balik kanan ganti arah lewat Bukit Penderitaan. Dua pilihan jalur sebelum para pendaki Gunung Rinjani untuk menuju Plawangan Sembalun. Saat itu yang terpikir dalam benak saya adalah bagaimana menggapai puncak setinggi 3726 mdpl.Â
Setelah 3 hari berjalan akhirnya sampai juga di puncak dan hanya bertemu dengan beberapa pendaki. Kamera SLR dengan lensa 35mm dan film isi 36 mengabadikan momen indah tersebut. Sangat kontras dengan 5-8 Mei 2016 kemarin, tercatat 1800 pendaki yang ingin menuju ke puncak.
5 tahun lagi, dunia pendakian gunung menggeliat dan menggunung. Banyak yang mengatakan 'pendaki karbitan atau pendaki prematur'. Memang tidak ada aturan atau hukum, untuk naik gunung harus ikut organisasi kepincatalaman di SMA atau Kampus, sebab semua orang berhak naik gunung. Menjadi pembeda yang jelas, mereka yang tergabung dengan organisasi yang baik akan memiliki pengetahuan yang cukup seputar kegiatan alam bebas, berbeda mereka yang 'waton'/asal naik tanpa memiliki bekal dan pengalaman yang cukup.
Fenomena inilah yang acapkali muncul, sehingga mereka yang pernah merasakan jaman-jaman sengsara naik gunung menjadi manusia asing dan aneh saat ditengah-tengah komunitas pendaki model baru ini.
Dulu dengan kamera film isi 36 klise, benar-benar memilih momen untuk di abadikan dan itu pun dengan perjudian di meja studio saat dicuci cetak. Saat ini, sinyal ponsel sudah menembus hingga ke puncak gunung dan saat itu hasil foto dari ponsel langsung bisa di unggah media sosial untuk mengabarkan pada khalayak ramai. Sebuah perkembangan yang pesat dalam dunia pendakian.
Beberapa kali dalam pendakian saya menjumpai kecelakaan di gunung, dari mereka yang menderita penyakit ketinggian (AMS/Acute Mountain Sickness), terjatuh, tersesat, hingga meninggal dunia. Rerata para korban adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan seputar kegiatan alam bebas, begitu juga dengan pengalaman.
Baru saja saya tersadar, pendakian di Gunung Rinjani kemarin juga menemukan hal serupa yakni ketidaksiapan para pendaki. Malam saat menginap di Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani di Sembalun saya mendengar ada kecelakaan gunung. Ada seorang pendaki yang terjatuh saat turun dari puncak, mengalami perdarahan dan harus dievakuasi malam itu juga. Kisah lain saat hendak turun, ada rombongan berisi 8 orang yang tersesat karena memilih jalur yang salah. Tidak terbayangkan jika perjalanan itu dilanjutkan, padahal saat itu hujan lebat.
Kisah tragis saat berjalan turun adalah adanya korban meninggal di kolam air panas Segara Anak. Sangat di sayangkan, korban meninggal gegara mandi di kolam lalu terseret arus, kemungkinan adalah arus sungai jenis hidraulik seperti mesin cuci. Korban pun ditemukan dalam keadaan tanpa nyawa lagi. Lebih menyedihkan saat itu korban dan rombongan tidak mengantongi ijin dari Taman Nasional alias ilegal. Sebuah permenungan tentang karut marutnya dunia pendakian.
Saat ini mendaki gunung bukan lagi bagian dari salah satu tujuan mencari dunia kehidupan, tetapi merambah dalam hedonisme. Saya teringat sebuah kisah di kitab suci, yakni saat Nabi Musa menerima wahyu dari Tuhan yang mengaruskan dirinya naik ke puncak gunung. Saat ini ke puncak gunung tujuannya mencari pengakuan saya pernah berdiri di sini dan mendapat kepuasaan yang berujung kebahagiaan.
Kembali pada pendaki itu sendiri, apa tujuan ke sini, koreksi bersama untuk para pengiat alam bebas. Terimakasih Rinjani sudah boleh mengunjungi, tanpa harus menyentuh puncakmu dan saya sudah sangat puas sampai di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H