Jalur menuju puncak RInjani yang penuh dengan tendak pendaki. Ada yang mengatakan sekitar 600 tenda dangan sekitar 1800 pendaki yang tercatat. Lampu nampak menghiasi jalur puncak dimana pendaki sedang antre untuk naik ke puncak, padahal masih pukul 1 dini hari (dok.pri).
Kisah menarik lagi adalah saat ada pendaki yang terpeleset jatuh di bibir jurang, tepat di belakang saya. Bukannya korban tersebut segera mencari pegangan, tetapi tangannya masih kuat menggengam ponsel yang baru saja digunakan untuk swafoto. Dalam benak saya, eksistensi jauh lebih berharga dari sebuah nyawa.
Saat ini mendaki gunung bukan lagi bagian dari salah satu tujuan mencari dunia kehidupan, tetapi merambah dalam hedonisme. Saya teringat sebuah kisah di kitab suci, yakni saat Nabi Musa menerima wahyu dari Tuhan yang mengaruskan dirinya naik ke puncak gunung. Saat ini ke puncak gunung tujuannya mencari pengakuan saya pernah berdiri di sini dan mendapat kepuasaan yang berujung kebahagiaan.
Pemadangan langit kalam malam di Gunung RInjani (dok.pri).
Mendaki gunung bukan hanya bagaimana mencapai puncak gunung, tetapi juga bagaimana turun kembali dengan selamat. Pukul 1 malam, melihat rombongan mereka yang hendak
summit attack memanjang hampir 3 Km. "
Kembalilah masuk dalam tenda, buatlah teh hangat, nikmati gemintang yang berkerlapan di langit sembari menanti bintang jatuh, sembari mendengarkan desahan nafas-nafas pencari foto selfie".Â
Kembali pada pendaki itu sendiri, apa tujuan ke sini, koreksi bersama untuk para pengiat alam bebas. Terimakasih Rinjani sudah boleh mengunjungi, tanpa harus menyentuh puncakmu dan saya sudah sangat puas sampai di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya