[caption caption="Gula merah hasil sadapan dari lontar. Gula ini dikenal dengan gula lempeng bagi masyarakat di Pulau Timor (dok.pri)."][/caption]
Entah apa rasanya kecap tanpa gula merah, dawet ayu tanpa gula kelapa, atau kolak tanpa gula jawa. Lidah pasti akan merasa janggal karena ada rasa, aroma, dan warna yang hilang. Bagaimana jika peran gula merah digantikan gula pasir atau gula putih, inilah salah satu istimewanya gula dari hasil sadapan dari tumbuhan palem-paleman. Tetes demi tetes di tampang dalam bumbung, setiap pagi dan sore dengan lincah penyadap naik turun pohon yang menjulang tinggi. Sang istri dengan setia menanti cairan manis, yang kemudian akan dimasak menjadi gula yang legit dan nikmat.
Hampir semua keluarga Arecacea bisa disadap untuk diambil niranya. Kuncup bunga yang belum mekar akan ditoreh atau dilukai yang kemudian akan meneteskan cairan manis seperti madu. Kelapa (Cocos nucifera), Enau/Aren (Arenga pinnata), Lontar/Siwalan (Borassus flabellifer) adalah 3 spesies yang familiar disadap air niranya. Beragam daerah menyebut air nira dengan sebutan yang berbeda. di Jawa dikenal dengan istilah legen, yang berasal dari kata legi yang artinya manis. Di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua mengenal nira dengan sebutan saguer.
Penyebutan untuk gula hasil olahan untuk masing-masing daerah juga berbeda, seperti; gula jawa, gula merah, gula kelapa, gula lontar, gula lempeng dan lain sebagainya. Namun, yang familiar adalah dengan palm sugar atau gula merah, karena warnanya yang merah kecokelatan.
[caption caption="Seorang penyadap nira hendak memanjat pohon kelapa untuk mengambil tetesan nira dalam bumbung/wadah bambu. Aktivitas menyadap ini dilakukan saat pagi hari dan sore hari (dok.pri)."]
Gula merah memiliki citarasa yang khas. Dalam manisnya ada rasa gurih, seperti aromanya minyak. Rasa manisnya begitu legit tanpa menimbulkan rasa serak di krongkongan, begitu juga dengan aromonya yang menimbulkan sensasi sedap. Sampai saat ini belum banyak dijumpai sintetis dari gula pasir yang dibuat dari bahan kimia. Berbeda dengan dengan pemanis buatan seperti sakarin, yang dijadikan sebagai pengganti gula pasir atau gula tebu.
[caption caption="Setalah nira direbus hingga menjadi karamel, kemudidan dituang dalam cetakan bambu. (dok.pri)."]
Gula merah adalah produk dari perdagangan antar negara pada jaman dahulu. Awalnya bahan pemanis hanya berasal dari madu dan kurma yang dikenal di Timur Tengah. Bahan pemanis kemudian beralih ke tebu yang dikenal di India pada abak ke 5 sebelum masehi. Di Tiongkok pada tahun 599-649 saat kaisar Taizong dari dinas Tang mulai mengembangkan gula merah, lalu menyebar ke penjuru asia lewat jalur perdagangan.
Tanaman kelapa yang tersebar di pelosok nusantara menjadi potensi dalam produksi gula merah. Indonesia memiliki 3 spesies tumbuhan yang bisa disadap dan semuanya bisa tumbuh subur. Jika dicermati, gula merah memiliki potensi ekonomi yang menjajikan. Suatu saat saya melancong di Poso-Sulawesi tengah. Dalam sehari penyadap nira bisa menghasilan uang dari menjual gula merah 200-400 ribu rupiah dan menjadi keuntungan bersih. Di Nusa Tenggara 1 lempeng gula merah dihargai 1.000 rupiah, dalam sehari bisa 500 lempeng dihasilkan. Gula merah tidak mengenal waktu dan musim, setiap saat bisa disadap, sehingga tetap menjanjikan.
[caption caption="Gula merah akan dicetak sesuai dengan ukuran yang akan menentukan harganya. Beragam bentuk dna ukuran juga tergantung dari cetakan. Ada yang menggunakan tempurung kelapa, bambu, bahkan daun lontar yang dibuat melingkar (dok.pri)."]
Saya membayangkan, ada sebagian orang yang mengandalkan gula merah sebagai sumber kehidupan. Ada juga indutri yang tetap memanfaatkan gula merah sebagai bahan baku utama dan tidak tergantikan. Bagaimana bila suatu saat, gula merah bernasib sama dengan gula pasir yang sudah ada penggatinya yakni gula sintesis. Ada gula merah yang memiliki rasa, warna, dan aroma tetapi sintetik, apakah bisa yang pasti bisa dan tinggal tunggu saatnya saja.