Ku Powani siko yondo m’pamona
Pamona todo tenjani n’tentena
Siko na pangkeni tau rata
Lese na mpo palindo ndaya
Ku kagum engkau jembatan pamona
Jembatan Tentena yang tetap ada di Tentena
Engkau akan menjadi warisan di masa depan
Indah di lubuk sanubari
Tidak sengaja saya mendengarkan tembang tersebut saat malam hari bersantai di pantai penghibur Poso. Merdu terdengar lagu yang mengisahkan jembatan Legendaris di Tentena. Jembatan yang konon paling romantis karena menjadi penghubung antara Tentena utara dan selatan. Jembatan yang penuh sejarah dan kini masih kokoh berdiri. Banyak jembatan yang melintasi sungai poso, tetapi Pamona tetaplah punya arti lebih bagi masyarakat Tentena.
Pisang goreng yang menemani saya malam itu tak sanggup lagi untuk dikunyah dan telan. Namun, lantunan lagu tentang Pamoma tertelan dalam pikiran saya dan berpikir bagaimana untuk menikmati jengkal demi jengkal jembatan legendaris tersebut. Malam berlalu dan impian menuju jembatan Pamona masuk dalam urutan teratas.
Jembatan Pamona merupakan jembatan yang terbuat dari kayu besi dan hitam. Memiliki panjang 203m membelah Sungai Poso yang menjadi muara Danau Poso. Dengan lebar 3,5m dilengkapi dengan kanopi di atasnya yang melindungi kala hujan dan panas terik tiba. Jembatan hasil swadaya masyarakat ini menjadi jembatan satu-satunya yang menghubungkan warga Tentena dari seberang sungai.
Jalan berliku dan berkabut membuat kendaraan harus ekstra hati-hati. Untuk jarak 57Km membutuhkan waktu sekitar 1,5-2 jam perjalanan mengingat kontur jalannya yang tidak bisa membuat kendaraan berjalan cepat. Sisi kanan jalan adalah lembah yang indah dengan halimun tipis yang masih menyelimuti, sedangkan punggungan bukit sudah di belah menjadi tumpahan aspal jalan penghubung menuju Sulawesi Selatan.
Sampai juga di Tentena sebuah kecamatan yang terletak diketinggian 600an m dpl. Tentena nama yang tak asing bagi masyarakat Sulawesi Tengah, karena di tempat inilah terdapat danau Poso yang indah, perbukitan yang cantik, serta pesona lansekap yang memukau di samping hawa dinginnya yang menyejukan. Sebuah kota kecamatan yang cukup ramai di daerah yang serba terisolir. Gereja dengan kubah-kubahnya yang tinggi begitu mencolok dibanding bangunan-bangunan rumah yang nampak sederhana.
Sesaat saya terdiam sambil menikmati rintik hujan dan samar-samar jembatan kayu itu terlihat. Anggun, cantik, dan memesona begitu saya menggambarkan jembatan ini. Entah mengapa begitu emosi melihat jembatan ini dan benar-benar memikat hati untuk berlama-lama di sini. Apa daya tubuh ini mulai basah oleh rinai hujan di pagi hari.