Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Srikandi-srikandi Pejuang Kesehatan

24 Juli 2015   15:50 Diperbarui: 24 Juli 2015   15:50 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selembar kertas putih, dengan tinta merah bertuliskan "Cuti Bersama 16-21 Juli 2015" nampak kontras dengan kedatangan 9 ibu-ibu yang pagi itu sudah siap di teras Puskesmas. "Tidak libur, Bu?" tanya saya. "Tidak mas, kami ini orang penting yang harus mensosialisasikan kesehatan pada warga," jawab salah satu ibu. Mereka adalah anggota kader kesehatan Puskesmas Tangkura, Kec. Poso Pesisir Selatan, Kab Poso, Sulawesi Tengah.

Sungguh beruntungnya saya dan tim mendapat 9 srikandi kesehatan dari Poso. Mereka nampak antusias mendengarkan arahan dari tim peneliti bagaimana nanti proses pengambilan contoh dari warga Tangkura. Angka demi angka mereka baca dan cermati untuk memahami tata kerja penelitian. Sampai detail mereka menanyakan jika tidak mengerti, bahkan ada yang berinisiatif melakukan simulasi. Dalam diri, saya merasa malu melihat kegairahan ibu-ibu ini.

Kembali saya tersadar, sekarang berdiri di tanah yang penuh gengsi. Secara sederhana, jika seseorang ditunjuk oleh pejabat pemerintahan maka penunjukan itu adalah sebuah kehormatan dan kepercayaan. Warga yang ditunjukan seolah langsung terangkat derajat sosial, kepakaran bahkan gengsi jika ikut terbawa. Saya tak membayangkan jika ini terjadi di kota-kota besar -anda, saya tunjuk menjadi kader kesehatan di komplek kita- yang pasti jari telunjuk akan saling menuding sama lain. Jika pun tertunjuk mungkin itu adalah tugas pertama dan terakhirnya, sisanya mangkir. Asumsi saya langsung menghakimi demikian, dan semoga itu tidak benar.

Siang itu kami langsung bergerak masuk ke perkampungan-perkampungan di sisi selatan Kabupaten Poso. Kader kesehatan nampak sumringan dengan map kuning berisi lembaran-lembaran angket yang akan mereka isi. Dengan pensil di tangan kanan dan lembaran kertas di pangkuan, mereka langsung mewawancari sasaran yakni warga yang terindikasi penyakit. Saya yang berada di sisi Kader Kesehatan hanya duduk terbengong sembari melihat kepiawaian utusan menteri kesehatan tersebut.

Dengan luwes kader ini menerjemahkan 20 lembar angket menjadi bahasa lokal yang tak saya pahami. Nomor demi nomor mereka isi hasil dari wawancara dengan bahasa lokal. Tidak terbayangkan jika saya terjun sendiri dan yang pasti tidak akan jadi. Tidak hanya masalah kendala budaya dan bahasa, tetapi untuk urusan ini adalah kendalah afeksi, yakni simpati, dan empati. Kader kesatan tak sebatas urusan kesehatan semata tetapi menjangkau juga fungsi sosial kemasyarakatan.

Mereka begitu menyatu dengan penduduk lokal hingga satu persatu pertanyaan dari angket bisa diisi dengan lancar. Mereka sebenarnya menjadi garda terdepan dalam urusan kesehatan. Saya tak mengerti bagimana berbicara dengan lansia yang sudah pikun dengan pendengaran dan penglihatan yang sudah berkurang. Namun kader-kader ini dengan sabar walau kadang berteriak, bukan karena marah tetapi biar lansia ini mendengar. Tugas saya hanya mengambil contoh DNA yang terkesannya susah dan hanya bisa dilakukan oleh ahlinya saja. Padahal ambil contoh DNA tak lebih dari kita mencomot contoh buah di pasar lalu mencicipinya secara gratis.

Selain membantu mengiisikan angket penelitian kami, mereka juga sekaligus mendata informasi kekinian kesehatan warga. Buku tebal bersampul batik menjadi data kesehatan warga yang tak ada nilainya sebab semua rekam medik ada di situ walau sifatnya masih sederhana. Sepertinya tidak ada yang luput dari pantauan mereka perihal kesehatan warga, jangankan menteri kesehatan, kepala Puskesmas saja tak sedetail mereka.

Biasanya jam kerja seseorang hingga pukul 16.00 terlebih kader yang dibayar dengan ucapan terim kasih dan ketulusan. Arloji saya menunjukan angka 17.00 namun sayup-sayup terdengar mereka yang masih mewawancarai warga. Suara besar dan mantap khas orang Sulawesi masih membahana walau sang surya sudah mulai hilang. Langkah saya yang sudah gontai tetapi kaki ini tetap masih kokoh berdiri saat melihat ibu-ibu pilihan ini masih bersemangat. Akhirnya 18.30 saya minta berhenti dan diteruskan esok pagi. Mungkin di tempat lain, kader Kesehatan hanya panggung sandiwara dan sebatas cerita, tetapi di sini saya melihat realita. Mereka bukan boneka kesehatan yang menjadi penghias struktur organisasi Puskesmas, tetapi perpanjangan dari dokter yang langsung bersentuhan dengan warga atas nama kepercayaan, kebanggaan dan pengabdian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun