[caption id="attachment_304229" align="alignnone" width="620" caption="Lagu Kereta Malam mengundang untuk datang ke Kucingan di ujung Polder Tawang (dok.pri)."][/caption] Di sebuah sudut Polder Tawang yang remang-remang tapi aroma tak karuan terdengar lantunan dangdut koplo dari pemutar cakram. Kereta malam, demikian jadul lagunya dan sepertinya cocok dengan perjalan malam ini. Saya memutuskan menghampiri warung yang memutar lagu yang kebetulan sedang berlirik "cuk kicak kicuk kicak kicuk". Cangkrukan jika di Jawa Timuran, Angkringan di Yogyakarta dan Kucingan di Jawa Tengah demikian orang memberi nama buat warung makan serba kumplit ini. Semua menu ada disini dengan porsi kecil-kecil sehingga menunya bisa sangat variatif. Tidak sedikit stigma miring tentang kualitas makanan ditempat ini, tapi itu mengalahkan perut yang mendendang dangdut koplo daripada kelaparan di Kereta Malam. Harga yang miring daripada harus berjudi di warung-warung dalam stasiun yang harganya kadang tak masuk akal. Sayup-sayup menikmati makanan sederhanan. denting piano mendendangkan lagu Gambang Semarang. Inilah ciri khas setiap stasiun kereta selalu punya lagu wajibnya masing-masing. Gambang semarang sudah berkumandang, artinya kereta saya sudah datang dan segera bergegas masuk dalam kereta. Jakarta 445Km jarak yang harus ditempuh bersama kereta Menoreh jurusan Semarang Tawang-Jakarta Pasar Senen. Hari ini saya datang untuk hajatan Kompasiana yang ketiga dan harus datang. Pukul 20.00 pelan-pelan lokomotif menarik gerbong-gerbong untuk menghantar menuju ibu kota yang diperkirakan sampai pukul 03.37. Belum genap 30 menit Menoreh berjalan harus berhenti lama di stasiun Poncol Semarang. Tidak tanggung-tanggung, hampir 1 jam lebih belum diberangkatkan. Kamis 21/11/13 hampir semua jadwal kereta mengalami keterlambatan, karena sedang uji coba rel ganda di sepenjang pantura. Sepertinya malam ini akan panjang dengan penuh penantian. Badan ini sudah lungkrah dan gelisah, kapan kereta malam ini berjalan. Kereta akhirnya berjalan, namun hampir setiap stasiun berhenti sekitar 30-60menit. [caption id="attachment_304230" align="alignnone" width="620" caption="Mentaripun datang namun kereta masih tertahan di Cirebon dan masih 3 jam-an lagi sampai ibu Kota (dok.pri)."]
[/caption] Pihak kereta api sepertinya menyadari kegelisahan penumpang. Para petuga membawa kardus berisi mie instan dalam gelas dan air mineral sebagai kompensasi keterlambatan kereta. Saya hanya bertanya dalam hati "
apa mie gelasnya suruh ngremus" (apa mie gelasnya suruh makan mentah), karena tidak ada air panas. Daripada berdebus ria makan mie mentah atau menebus air panas di restorasi, lebih baik ke alam mimpi walau dengan posisi tidur yang serba salah.
"sayang tak lama kantukku datang hingga tertidur nyenyak sekali wahai ketika aku terbangun rupanya haripun sudah pagi" potongan dari lagu kereta malam. Pukul 05.00 kereta masih di Stasiun Cirebon, artinya sekitar 3 jam lagi baru sampai ibu kota, itupun kalau lancar. Setelah 12 jam mengarungi jalan besi sampai juga di Ibu Kota yang disambut dengan padatnya lalu lintas kota. Singkatnya, pukul 10:00 saya ditelpon dari pihak panitia yang menanyakan posisi saya dimana. Jawaban sederhana "lagi cari pintu masuk, mohon bersabar", karena tidak familiar dengan mall Grand Indonesia maka hanya berputar-putar. Akhirnya sampai juga di
Kompasianival dan segera atur strategi untuk talk show. Bercerita bersama host dan narasumber lain, mBa Olyvia dan mas Daniel. Strategi mbagi jawaban agar merata dan semua kebagian. Lagi asyik ngobrol, MC mendekati mba Oliv dan menanyakan tentang tempat wisata favorit. "
Ini MC gimana, lha narasumber kok malah di kasih pertanyaan" sepertinya MC tidak tahu siapa yang ditanya dan tidak tahu siapa saja yang bakal manggung. 11.20 akhirnya talk show di mulai. Host mas Dzul mulai dengan pembukaan dan memperkenalkan kami satu persatu. kamera saya titipkan ke teman berharap di memotret saya pas manggung, tapi ternyata dia lupa akan tugasnya. Tak apalah yang penting talk show berjalan lancar dan tidak ada pertanyaan yang tidak bisa kami jawab "emange tets wawancara kerja". Namun sayang, jam segitu belum banyak yang hadir dan kurang dari separo yang memenuhi kursi. Tak apalah, kami sudah berikan yang terbaik dengan datang jauh-jauh dari halaman kampung menuju bundaran HI. [caption id="attachment_304232" align="alignnone" width="620" caption="Menikmati honor manggung sampil kopi darat di sudut yang kadang bikin kualat (dok.pri)."]
[/caption] Selesai acara, kami coba mengakrabkan diri. Sebelumnya saya, mba Oliv dan mas Daniel hanya bertegur sapa lewat papan tombol di ponsel atau komputer saja. Kali ini saling berhadapan sambil ditemani hidangan makanan yang harganya dipatok pada langit lapis 7, sebab kita cuma makan kelas awang-awang ala kucingan. [caption id="attachment_304243" align="alignnone" width="620" caption="Inilah yang ditunggu-tunggu, kapan lagi ketemu DKI2 (dok.pri)"]
[/caption] Usai beramah tamah ditempat yang tak lagi ramah, kita kembali ke TKP. Kontras dengan saat kita manggung, sebab kali ini wakil gubernur DKI yang bercuap-cuap. Benar saja DKI2 ini menyita perhatian khalayak umum. Bahasa yang tegas, lugas dan apa adanya menyihir semua yang hadir. Potret seorang pemimpin yang digandrungi publik karena membawa akan sebuah kebaikan walau dengan cara yang sedikit kejam dan arogan tetapi tetap menjunjung sisi kemanusiaan. [caption id="attachment_304233" align="alignnone" width="620" caption="DKI2 (kanan) bersama Om Isjet saat manggung (dok.pri)."]
[/caption] Usai semuanya itu mata mencari siapa saja yang kenal. Wajah-wajah asing tapi tak asing lewat tulisan yang ditayangkan. Oh itu pak Dokter, itu pak Guru gendut, oh Itu bapak pengelana, oh itu yang jago opini, oh itu TKI malaysia dan masih banyak lagi. Rasa segan dan sungkan kadang membawa kaki ini maju mundur untuk mengajak berkenalan ataupun saling bertegur sapa. Namun hilang dan sirna saat orang-orang hebat itu menghampiri dan mengajak bersalaman dan semuanya cair dan mengalir. [caption id="attachment_304234" align="alignnone" width="620" caption="Dagelan tukang foto jebolan pakem akademi, dari motret yang tidak serius hingga serius (Dok.pri)"]
[/caption] Kini kembali menanti orang tukang rusuh di anak perusahaan Kompasiana yang mengaku jadi fotografer. Om Didit, Harja Saputra, Romo Wito yang dipandu oleh admin Rob Januar dimulai juga. Obrolan yang kadang menurut saya mleset dari tema, bahkan mirip dagelan wayang. Memotret Indonesia, entah kok "mencelat" sampe undang-undang hak cipta, tidak bisa jongkok, hingga ngga motret kalo ngga dibayar. Bagi saya menarik, walau keluar dari pakem ya mereka ini memang jebolan pakem sebab biasa ngumpul di sekitar pakem (pakem=rumah sakit jiwa). Akhirnya orang-orang kampret pakem ini di paksa turun panggung oleh paitia, selain habis-habisin waktu juga menuh-menuhi tempat terlebih kroni-kroninya yang sudah ngapling warung di belakang panggung. Usai mereka manggung, dilanjutkan dengan obrolan dengan novelis hingga pemenang foto label minuman dalam kemasan yang dikemas model talk show dengan hadiah yang dikemas dalam wadah yang unik. [caption id="attachment_304235" align="alignnone" width="620" caption="Ketemu juga dengan orang-orang yang akrab lewat tulisan (dok.pri)."]
[/caption] Acara berlalu dam malam makin larut, bukanhya pada pulang malah makin banyak yang datang, sungguh dunia malam. Saatnya yang ditunggu yakni penganugrahan kompasianer. Detik-detik yang menegangkan malah saya lewatkan, karena saya bertemu dengan sosok idola saya yang memberikan inspirasi "saya harus ke papua". Arif Lukman Hakin, sepintas orangnya serius, memang benar serius ngaco-nya. Awal bertemu dengan bekliu saat di kontrakan lama www.multiply.com yang di usir masal. Dari situ saya mengenal dia yang berjuang mencerdaskan anak-anak di kawasan timur Indonesia, lalu sama-sama nulis buku tentang Erupsi Merapi dan setelah itu ilang pergi. Kompasianival memepertemukan kita. Waktu juga mengusir kita untuk pulang ke kandang masing-masing. Hampir 1 jam saya tersesat di Grand Indonesia untuk mencari pintu keluar dimana. GPS tidak ada sinyal, peta mall tidak terpahami, tanya sana-sini cuma di sentil "mas dari kampung ya..?". Berharap tahun depan Kompasianival ditempat yang lebih sehat agar bisa berbagi, berkekspresi dan berinteraksi. Terimakasih Kompasiana, saya tunggu undangan tahun depan, janji jangan di tempat kaya gini ya...? [caption id="attachment_304236" align="alignnone" width="620" caption="Sampai jumpa tahun depan, tapi jangan di sini ya...? janji lho..."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya