Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumput Negeriku Lebih Hijau, Tetapi Buah Negeri Tetangga Lebih Manis

8 Januari 2014   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314539" align="alignnone" width="640" caption="Di pasar buah Phuket, mungkin yang dijajakan adalah "][/caption] Mendengar kata "bangkok" otak saya langsung mengarah pada bebuahan dan unggas "jambu bangkok dan ayam bangkok". Ada apa dengan jambu bangkok dibandingkan dengan jambu klutuk. Anak kecil juga tahu dan bisa memilih mengapa jambu bangkok lebih manis, lebih besar, dan bijinya sedikit berbeda dengan jambu klutuk yang sepat dan biji semua, kecuali mereka yang lagi diare. Bagitu juga dengan mereka pecinta ayam jantan, maka ayam bangkok adalah pilihannya. Bangkok adalah nama yang disematkan pada produk unggul di bidang pertanian dan peternakan. Mengambil nama ibu kota Thailand, dan di Indonesia kata bangkok sudah sangat familiar dengan produk unggulan. Lantas mengapa bangkok identik dengan produk yang bagus dan menjadi pilihan, bagaimana dengan nama Jakarta, Surabaya, atau Medan..? Suatu saat saya berkesempatan berjalan-jalan disebuah toko buah di Phuket-Thailand. Saya ingin membuktikan apakah benar yang berlabel bangkok itu memang benar-benar mumpuni.  Saya berjalan pelan melihat satu persatu bebuahan yang di jajakan. Mata ini kadang seolah tak percaya melihat buah-buah segar berukuran jumbo, aroma yang tajam dan warna-warni yang segar. Tanpa banyak berpikir, "pasti ini bangkok semua". [caption id="attachment_314540" align="alignnone" width="640" caption="Mencoba mencicipi barang dagangan (dok.pri)."]

13891488601899620663
13891488601899620663
[/caption] Seorang penjual menawarkan saya untuk mencicip jambu biji. Dengan pisau yang tajam dia memotongkan sedikit bagian dari jambu biji tersebut. Sekilas daging buah berwarna hijau keputihan dan begitu masuk mulut rasanya manis sekali. Ada seorang pengunjung yang menyeletuk usai mencicip "pasti jambunya sudah direndam di air gula" katanya. Langkah kaki saya berhenti pada penjual durian. Mungkin saya yang kurang suka terhadap durian baik rasa dan aroma, maka cukup melihat dari dekat sambil menahan nafas kuat-kuat. Durian berukuran besar, daging buah yang tebal dengan tekstur empuk dan lembut dan biji yang mungil. Aroma yang kuat akhirnya terhirup juga, bagi pecinta durian inilah buah dari surga. [caption id="attachment_314541" align="alignnone" width="640" caption="Hampir tiap penjual memberikan sepotong buah untuk dicicip. Dari ujung sampai ujung, perut ini kenyang juga hanya dengan mencicip beraneka macam buah dan itu gratis (dok.pri)."]
13891489221515428627
13891489221515428627
[/caption] Beberepa bebuahan yang sempat saya amati dan coba nikmati walau secuil sungguh memikat hati. Semangka berukuran besar yang nyaris tidak ada biji. Kelenkeng yang manis dengan ukuran hampir sebesar bola ping pong. Salak yang manis dengan bentuk yang unik, karena memanjang mirip pisang. Pepaya yang empuk, manis dan agak renyah. Nanas yang masih mentah tapi rasanya manis sekali dan tidak gatal, berbeda dengan nanas di desa saya yang asam dan gatal. Langkah saya berlanjut dari kios ke kios, walau hanya sekedar melihat dan mencicip rasanya sudah kenyang tanpa harus membeli. Memang benar apa kata pepatah "rumput tetangga lebih hijau, begitu juga dengan buah-buahnya yang lebih besar, empuk, aroma yang kuat, segar". Itulah sebuah kenyataan nyata negeri tetangga dengan produk unggulnya. [caption id="attachment_314542" align="alignnone" width="640" caption="Buah semanggka ukuran jumbo yang nyaris tidak ada biji. Warna merah dan yang pasti manis. (dok.pri)"]
13891490101952812225
13891490101952812225
[/caption] Konon pada tahun 60-70an, Thailand banyak belajar banyak dari Indonesia tentang produk pertanian dan peternakan. Banyak bibit yang di datangkan dari Indonesia dan dikembangkan di Thailand. Pada masa itu Indonesia gencar-gencarnya melakukan revolusi hijau hingga pembukaan sawah sejuta hektar. Pada masa itu Indonesia sudah bisa swasembada beras bahkan melimpah ruah. Masa keterpurukan itupun datang, Indonesia dan Thailand barter pesawat denga beras ketan. Hingga saat ini Indonesia masih bergantung pada negara-negara tetangga dalam urusan beras. Hebatnya Thailand sudah menjadi negara penyuplai beras-beras ke penjuru dunia, "memang negara tetangga lebih hijau". Dalam perjalanan menuju taman nasional Phang Nga saya mencoba merenung sambil melihat tepi jalanan yang menghijau. Di tepi-tepi jalan saya menemui para penjaja buah yang menawarkan dagangannya. Namun mata saya terjebak pada sebuah perkebunan karet. Di kampung saya juga ada perkebunan karet dan tidak kalah dengan Thailand. Pohon karet di kampung saya tumbuh subur dan tanah-tanah di sekelilingnya bersih dari rerumputan, kalaupun ada itu sengaja di tanam sebagai tanaman penutup berupa kacang-kacangan. Di Thailand tanaman karet banyak yang dipangkas dahan-dahan bagian bawahnya, sehingga terlihat ceking. Di Sela-sela pohon berbaris rapi dan ranum tanaman nanas, berbeda di tempat saya yang ditanami kacang-kacangan, "memang rumput di negeri sendiri lebih hijau dan tidak enak dimakan". Tumpang sari dengan tanaman semusim, dan hasilnya luar biasa. Nanas berukuran jumbo, rasa yang manis dan air yang banyak, "memang nanas tetangga lebih manis". [caption id="attachment_314544" align="alignnone" width="640" caption="Hasil pertanian yang dipadukan dengan peternakan dan perikanan (dok.pri)."]
13891491491930037983
13891491491930037983
[/caption] Akhirnya saya tiba di sebuah rumah makan. Adat di keluarga saya mengajarkan sebelum menuangkan lauk pauk dan sayur dalam piring harus 3 kali menyuap nasi putih terlebih dahulu. Kebiasaan itu saya lakukan dengan 3 kali suapan ukuran kecil sebagai formalitas. Nah saat itu juga saya melakukan suapan yang pertama dengan nasi sebesar ujung kelingkung, suapan kedua sebesar jempol dan suapan ketiga satu sendok penuh. Nasinya terasa manis, gurih, enak dan berbeda dengan nasi di rumah saya, "memang nasi tetangga lebih enak". Entah mengapa tiba-tiba rasa primodial itu hilang dan berubah menyanjung negara tetangga akan urusan mulut ini. Lantas saya mencoba membuka obrolan untuk mencari tahu mengapa bangkok ini lebih dari segala-galanya. Sebuah jawaban ilmiah saya dapatkan, bahwa di negeri gajah putih sektor pertanian benar-benar di galakan. Hasil tambang mereka tak sekaya negara-negara tetangganya, yang ada adalah tanah-tanah yang harus di tanami, bayangkan Indonesia tanahnya kurang luas apa..?. [caption id="attachment_314546" align="alignnone" width="640" caption="Salak yang unik dan rasanya tak beda jauh dengan salak pondoh-sleman (dok.pri)."]
13891492457425129
13891492457425129
[/caption] "Saat negeri kita swasembada beras, ya sudah cukup dan berhenti" kata seorang teman. Benar juga, sepertinya bangsa kita lebih cepat berpuas diri. "Berbeda dengan Thailand yang terus melakukan pemuliaan tanaman dan inovasi. Mereka terus dipacu oleh pemerintah untuk menciptakan produk-produk unggul dengan imbalan yang besar. Sektor pertanian adalah andalan sehingga kebutuhan dana, pupuk dan benih semuda bisa di atasi oleh pemerintah". Saya hanya bisa termenung saja mendengar kata-kata yang membandingkan dengan negara tetangga. Benar juga, petani di Indonesia tak beda dengan buruh yang dipermainkan oleh kaum kapitalis. Petani yang tidak memiliki posisi tawar dan nilai jual. Pupuk dan benih yang bisa di permainkan, harga produk yang bisa di otak-atik dan petani hanya bisa pasrah. Petani juga bukan profesi yang bergengsi bahkan terkesan dengan gambaran kesengsaraan, kemelaratan dan kebodohan. Di negeri sebelah para petani ke ladang naik mobil berkabin ganda untuk menganggkut pupuk dan mesin pompa dan pulangnya mengangkut buah-buah yang siap dijual. [caption id="attachment_314547" align="alignnone" width="640" caption="Benar, nanas thailand lebih manis dari pada nanas di kampung yang asam dan gatal (dok.pri)."]
13891493712046235894
13891493712046235894
[/caption] Memang tak ada habisnya mencecapi manisnya di negeri tetangga. Pepatah mengatakan "lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang" dan sepertinya enggan rasanya tertimpuk batu. Sebuah permenungan untuk mengembalikan status negara agraris dan swasembada pangan, dan sepertinya harus belajar dari negara tetangga, "memang rumput negeri sendiri lebih hijau, tapi kadang buah negeri tetangga lebih manis" .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun