Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kearifan Lokal Warisan Mahakarya Nenek Moyang

17 Oktober 2012   07:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:45 5302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_218396" align="alignnone" width="600" caption="Replika manusia purba yang sudah punah, dari mereka kita kenal akan mahakarya masa silam (dok.pri)"][/caption] Herber Spencer mengatakan "Survival of The Fittest" dan berkaitan dengan konsep evolusi yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Siapa yang bisa menyesuaikan diri, maka dialah yang bertahan hidup. Konsep yang sederhana, namun terpakai sepanjang masa. Fosil-fosil hewan dan manusia purba yang telah punah menjadi bukti, bahwa mereka tidak lolos dari seleksi alam. Nusantara yang luas dan terpisah oleh lautan serta tersebar dalam gugusan pulau-pulau memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Dari kacamata antropologi, terdapat beberapa kesamaan  diatara kita yang tinggal di tanah Nusantara. Para antropolog menempatkan sebagain besar dari kita adalah ras Mongoloid dan sebagian dari ras Australoid. Perbedaan dua ras tersebut hanyalah masalah geografis dan asal muasalnya saja, namun secara budaya tak beda jauh berbeda. Sebutan adat ketimuran layak disandang kita yang tinggal di Asia, khususnya Indonesia karena letak geografis dan budaya yang khas. Masing-masing perbedaan budaya dan geografis akan menciptakan peradabannya sendiri dan lahirlah sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal adalah budaya luhur yang diciptakan nenek moyang lewat sebuah pengalaman yang akhirnya menjadi sebuah pola-pola tertentu dan kaidah. Walaupan kearifan lokal bukanlah sebuah ilmu pengetahuan, namun menjadi sumber ilmu pengetahuan modern dengan diciptakan teori dan dalil-dalil yang dapat dirumuskan dan dihitung secara logika. Kekayaan kearifan lokal Nusantara ibarat 1001 kisah yang tak selesai diceritakan dalam 1 malam. Perlu usaha dan kerja keras untuk mengulik kekayaan lokal tanah air ini. Entah berapa banyak ilmu-ilmu peninggalan nenek moyang yang masih bertahan hingga saat ini, setidaknya harus diapresiasi sebagai sebuah pengetahuan. [caption id="attachment_218397" align="alignnone" width="600" caption="Benda-benda angkasa digunakan Nenek Moyang kita untuk mengatur irama kehidupan (dok.pri)"]

13504592991986322382
13504592991986322382
[/caption] Alunan merdu lagu campur sari Nyidam Sari yang Dalam liriknya "Seneksen lintange luku, semono janji prasetyaning ati" yang artinya disaksikan bintang luku, itulah janji kesetian hati. Berbicara Lintang Luku, ada sebuah kearifan lokal yang berkaitan dengan khasanah Nusantara. Dari sebuah tempang mengalir makna filosofi kehidupan berkaitan dengan hubungannya dengan alam. Langit malam di bulan September, muncul rasi Orion atau Lintang luku. Rasi Orion memiliki arti paling penting bagi masyarakat Jawa karena menjadi penanda dimulainya masa bercocok tanam. Dalam perhitangan Jawa yang dikenal dengan pranata mangsa yakni satu tahun dibagi menjadi 12. Munculnya bintang Luku yang jatuh pada bulan Agustus hingga September, adalah saat yang dinanti oleh petani dan nelayan. Jaman dulu, pada masa ini tunas tanaman mulai tumbuh dan  petani sedang panen palawija. Tanda-tanda alam yang menunjukkan pada pranata mangsa ke tiga ditandai suhu udara amat panas,  namun pada malam hari suhu udara dingin, artiya musim tanam padi  segera dimulai. [caption id="attachment_218398" align="alignnone" width="600" caption="Pranata mangsa digunakan untuk mengatur masa tanam berdasar pergerakan bintang.(dok.pri)"]
13504594411316531899
13504594411316531899
[/caption] Pranata Mangsa yang kini masih dipakai, acapkali tidak sesuai dengan kondisi alam sekarang. Inilah pentingnya pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan modern harus dikolaborasikan agar semua disesuaikan dengan kaadaan sekarang. Alam yang mengalami pergeseran akibat perubahan iklim mengakibatkan perbedaan yang drastis, sehingga kearifan lokal nenek moyang bisa menjadi refrensi untuk beberapa ilmu pengetahuan modern. Pergeseran pranatan setidaknya menjadi sebuah kekayaan bahwa jaman dulu nenek moyang kita sudah memiliki perhitungan yang rumit dengan membaca tanda-tanda alam. Di Nusantara ini masih banyak lagi wujud-wujud budaya peninggalan nenek moyang yang saat ini masih dipakai sebagai norma-norma kehidupan. Di Bali, semua petani tunduk pada Subak yang mengatur distribusi air untuk irigasi. Di Lamalera, Nusa Tengagra Timur budaya berburu paus juga memiliki aturan yang harus ditaati karena harus memperhatikan musim. Di Raja Ampat, Papua Barat ada sebuah tempat yang memegang teguh hukum adat dan agama untuk tidak berburu ikan dilokasi dan musim tertentu. [caption id="attachment_218400" align="alignnone" width="600" caption="Wedang Wuh, minuman tradisional dari Yogyakarta dengan perpaduan rempah-rempah yang diwariskan turun temurun (dok.pri)."]
13504595371187938255
13504595371187938255
[/caption] Pengetahuan masyarakat lokal dalam ranah etnozoobotany juga menjadi mahakarya tak ternilai. Masyarakat lokal sudah bisa menemukan obat-obatan tradisional dari tumbuhan dan hewan. Pengetahuan etnozoobotany yang kita kenal sebagai jamu menjadi refrensi dalam industri farmasi dan kecantikan. Back to nature menjadi slogan untuk kembali ke alam dengan memakai semua yang bernuansa tradisional. Betapa hebatnya nenek moyang kita dalam meramu dan meracik bahan-bahan hingga menjadi sebuah mahakarya. Budaya lokal seperti Pranata Mangsa di Jawa dan Subak di Bali adalah sebuah mahakarya masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi rambu-rambu. Bukan perkara yang mudah, untuk membuat sebuah makarya tersebut, karena memerlukan pengetahuan, perhitungan yang rumit hingga mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Tantangan selanjutnya adalah, bagaiamana mahakarya tersebut diwariskan turun-temurun generasi ke generasi. Dari Sabang sampai Merauku, dari Alor hingga Talaud dengan ribuan pulau, ratusan suku pasti memiliki caranya sendiri-sendiri dalam menghadapi alam. Nenek moyang kita adalah mereka yang terseleksi secara evolusi, yakni kemampuan bertahan hidup dengan beradaptasi dengan alamnya. Lewat kebudayaan, mereka bertahan hidup dan terus mempertahankannya hingga saat ini. Cara nenek moyang kita bertahan hidup dengan menghadapi perubahan alam adalah sebuah kebudayaan yang secara turun-temurun diwariskan. Kita adalah generasi yang tinggal menikmati mahakarya-mahakarya dari pendahulu kita dan tentunya harus mengapresiasinya. [caption id="attachment_218401" align="alignnone" width="600" caption="Siapakah kita mengawal warisan mahakarya nenek moyang untuk generasi selanjutnya..? Laku Bisu mengelilingi Benteng kraton Yogyakarta adalah salah satunya. (dok.pri)"]
13504597031124230654
13504597031124230654
[/caption] Sebuah tantangan bagi kita agar warisan mahakarya tersebut tidak hilang ditelan jaman. Hilangnya kebudayaan, maka hilang juga kehidupan kita. Siapa lagi yang akan mewarisi mahakarya nenek moyang kita, apakah harus menunggu bangsa asing mempelajari dulu baru kita tergerak..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun