Pernah suatu hari mengantar seorang teman, yang kebetulan warga negara asing untuk mengurus administrasi imigrasi dengan naik angkutan umum. Sepintas minibus yang kami hentikan nampak kosong, ternyata begitu naik penumpang berjubel tidak karuan didalam lorong bus. Kamipun akhirnya hanya bisa berdiri dipintu saling berhimpitan. Sesaat setelah minubus berjalan lalu berhenti untuk menaikan penumpang. Karena minibus sudah penuh, akhirnya penumpang dan kru bus bergelantungan di pintu. Jauh disana ada perempatan dan polisi yang berjaga, dan kru bus yang bergelantungan menyuruh kami untuk masuk ke lorong bis. Jangankan masuk, berdiri dipintu saja sangat susah, dan dengan kata yang kasar kru bus memaksa kami agar mendesak kedalam, karena kru bus takut berurusan dengan polisi.
Kata-kata yang dilontarkan kru bus memang kasar, wajarlah kehidupan jalanan telah membentuk sebuah karakter demikian. Namun prilaku terhadap penumpang sungguh kurang ajar, seolah kami barang yang bisa dijejal begitu saja. Akhirnya teman saya emosi juga, dan terjadi perdebatan kecil tentang kondisi kami yang serba terjepit. Akhirnya kami diturunkan paksa, dipinggir jalan karena tidak mau menurut kehendak kru bus. Begitu kami turun, yang terjadi tidak jauh berbeda, masih saja penumpang bergelantungan. Teman saya marah sejadi-jadinya menyikapi keadaan tersebut. ''Dinegara saya, kendaraan yang sudah penuh tidak boleh menaikan orang, dan jika ada yang berdiri dipintu itu langsung dihentikan petugas dan sopir kena hukuman'' begitu kira-kira yang dia lontarkan, saya hanya bisa menjawan ''inilah Indonesia, kalo ban belum meletus seberapapun penungpang harus diangkut''.
Potret transportasi dalam negeri yang begitu memalukan dan memprihatinkan. Semua orang butuh transportasi, berapapun dibayar, namun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Alih-alih dapat angkutan yang aman, nyaman, tepat waktu, tetapi nyawa kadang harus dipertaruhkan pada sebatang besi di ''handle'' pintu. Mau tidak mau itu menu transportasi yang harus disantap setiap hari bagi mereka yang biasa memanfaatkan jasa angkutan umum. Prinsip mereka cukup sederhana ''yang penting terangkut'' urusan sampai atau tidak, selamat atau cilaka hanya Tuhan dan sopir yang tahu, yang penting baca ''Bismilah'' dan bayar ongkos.
Transjakarta, yang digadang-gadang menjadi angkutan masal yang murah meriah dan tepat waktu, saat ini kewalahan dengan masa. Panjangnya antrean penumpang di halte-halte menjadi bukti, bahwa tidak terjadinya keseimbangan. Mereka yang antre adalah orang yang butuh dan berani membayar, tetapi penyedia layanan yang seharusnya diuntungkan dengan antusiasme masyarakat seolah tidak bisa memenuhi hukum permintaan dan penawaran. Angkutan yang aman, nyaman, tepat waktu kini seolah seperti kotak sabun bermesin yang terombang-ambing lautan manusia yang mengantre.
Berpindah kejalanan besi sejajar, disaat KRL dioperasi oleh petugas karena banyaknya penumpang yang duduk diatas gerbong kereta. Siapakah mereka yang duduk diatas gerbong?. Mereka sama halnya dengan penumpang lain, namun dengan hak yang terenggut haknya akibat tidak tersedianya sarana buat mereka. Mereka juga bukan penumpang gelap, karena merkan membeli karcis, mereka adalah yang tersisih bukan karena kehabisan tempat duduk, tetapi tempat berdiri. Operasi seolah hanyalah seremonial sesaat yang biasa mereka hadapi. Semprotan cat atau cairan berwarna tidak lah membuat mereka gentar. Jangankan operasi atau semprotan cat, korban jiwa tersengat listrik atau jatuh bebas pun dianggap sudah biasa dan tidak membuat efek jera.
Dimana departemen perhubungan dalam upaya mengangkut mereka dengan aman, nyaman dan tepat waktu?. Apakah hanya dengan memungut sekian perak setiap ada kendaraan umum masuk terminal, atau rute-rute tertentu sudah bisa mengatasi keruwetan transportasi?. Cara-cara preventif dengan operasi atau penerbitan bukanlah solusi, sebab selesai seremoni tersebut pasti akan terulang. Sekarang bukaan saatnya mencegah, sebab ibarat penyakit, transportasi masal sudah parah kondisinya dan harus segera diobati. Penambahan armada pada jam-jam sibuk sepertinya bisa sedikit menjadi solusi. Memberikan gerbong tambahan, walau hanya untuk meletakan kedua telapak kaki dan tangan yang menggenggam besi pegangan setidaknya sudah mengurangi resiko tersengat setrum dan jatuh bebas.
Memang mustahil sepertinya mengikuti sistim tranposrtasi milik negara teman saya, namun setidaknya jangan parah-parah amat. Kiranya tidak ada lagi penumpang yang dianggap barang yang dijejal-jejalkan paksa atau harus akrobatik dipintu bus dengan kecepapatan 60km/jam dan saling kejar-kejaran. Tidak ada lagi yang antre naik bus, layaknya antre sembako atau BLT. Angka mereka yang kesetrum dan jatuh bebas dari atas gerbong juga diharapkan nihil. Mereka berani bayar, dengan harapan aman, nyaman dan sampai tujuan dengan selamat, haruskan diberi tantangan adu nyali, taruhan nyawa dalam ketidaknyamanan.
salam
DhaVe
kk, 100511, 14.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H