Mohon tunggu...
Dharwis Yacob
Dharwis Yacob Mohon Tunggu... Lainnya - CV Dharwis

S1 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Pernah Kuliah selama 1 tahun di Universitas Leiden-Belanda, S2 Pasca Sarjana Universitas Nasional Jurusan Ilmu Politik, Bekerja sebagai Arsiparis di Arsip Nasional Republik Indonesia dan Pegiat Budaya Tahun 2016

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenal Tirto Adhi Soerjo (1880-1918): Tokoh Kebangkitan Nasional dan Pelopor Politik Arsip

4 September 2014   05:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:40 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat Tirto Adhi Soerjo. Tirto Adhi Soerjo menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto Adhi Soerjo juga mendirikan Sarikat Dagang Islam dan pemrakarsa Sarikat Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto Adhi Soerjo diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto Adhi Soerjo mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.

Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880 dalam lingkungan keluarga bangsawan. Beliau adalah cucu R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro yang dianugerahkan penghargaan bintang Ridder Nederlandsche Leeuw yang merupakan bintang penghargaan tertinggi Kerajaan Belanda. Dari garis ibu, ia adalah keturunan Mangkunegara I dan berada di derajat ke-4 dari Keraton Surakarta sekaligus keturunan ke-4 dari R.M.AA. Tjokronegoro, Bupati Blora. Ayah Tirto adalah R. Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero adalah pegawai Kantor Pajak. Tirto Adhi Soerjo adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara. Setelah orang tuanya meninggal, Tirto Adhi Soerjo kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah Tirto Adhi Soerjo diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam diri Tirto Adhi Soerjo.

Setelah lulus dari Europeesch Lagere School (ELS) Tirto melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia. Namun, sekolahnya di STOVIA tidak dilanjutkan dan ia memutuskan untuk keluar pada tahun 1900. Nampaknya, beliau lebih memilih menjadi jurnalis serta menekuni bidang itu secara serius. Oleh karena kepandaiannya dalam dunia tulis-menulis, maka pada 2 April 1902, Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin oleh F. Wiggers dan pada 13 Mei 1902, ia berhasil naik pangkat menjadi pemimpin redaksi. Namun, jabatan tersebut hanya dipegangnya selama satu tahun karena berselisih paham dengan F. Wiggers. Kemudian, ia memutuskan untukpindah ke Bandung pada tahun 1903.

Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Terbitlah Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi.
Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906. Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor, kemudian bersama beberapa priyayi di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekitar 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Sarikat Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih dari Soenda Berita yang tak mau bicara politik. Maka pada tanggal 1 Januari 1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priyayi.

Karena dinilai terlalu vokal, beliau sering dibuang ke beberapa tempat seperti ke Lampung dan Ambon. Sejak pembuangannya ke Ambon, Tirto Adhi Soerjo tak mampu berbuat apa-apa dalam perkembangan kegiatan-kegiatan di Jawa. Medan Prijaji telah diberangus, dan Sarekat Islam jatuh ke tangan H.O.S. Tjokroaminoto, dan beberapa usaha yang dirintisnya telah diambil alih. Tirto Adhi Soerjo telah berakhir. Sebenarnya hanya 6 bulan Tirto Adhi Soerjo menjalani masa pembuangan, dan semua yang telah dirintis dan dibesarkannya selama bertahun-tahun kandas. Tak bisa ditolak bahwa sikapnya yang tidak mampu membatasi diri juga turut menyebabkan usahanya hancur. Tirto Adhi Soerjo kembali ke Jawa dalam keadaan tak memiliki apa-apa. Akhirnya pada tanggal 7 Desember 1918, Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia di Batavia. Seorang sahabatnya, R. Goenawan menjelaskan bahwa beliau menderita disentri.

Tirto Adhi Soerjo dan Tokoh Kebangkitan Nasional

Apabila anda mempelajari sejarah pergerakan nasional, pastilah akan teringat dengan Boedi Oetomo atau Sarekat Islam, atau tokoh-tokoh pergerakan seperti Tiga Serangkai yang terdiri dari Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dan tokoh-tokoh lain seperti Soekarno dan Hatta. Tetapi, kenalkah dengan sosok seorang Tirto Adhi Soerjo? Tokoh ini memang tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum, karena perannya dalam pembentukan kesadaran awal kebangsaan selama ini tidak banyak dibahas dalam pelajaran-pelajaran sekolah dan hanya terbatas pada sejarah awal pendirian SDI saja. Padahal, banyak pemikiran-pemikirannya yang telah ia curahkan dalam tulisan yang telah banyak memberikan pencerahan terhadap tokoh-tokoh pergerakan lainnya.

Tirto Adhi Soerjo atau biasa disingkat TAS merupakan salah satu tokoh pergerakan yang sangat penting perannya dalam kesadaran awal kebangsaan Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, ia dengan berani menyatakan kritik-kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dinilai merugikan rakyat. Ia merupakan seorang tokoh Bumiputera terdidik yang mempelopori pergerakan dengan menggunakan surat kabar. Ia juga merupakan sosok Bumiputera yang menjadikan surat kabar sebagai sarana perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Beliau juga sering menekankan pentingnya organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan bangsanya. Karena kritik pedasnya terhadap pemerintah Hindia Belanda dan beberapa kasus ketidakadilan yang ia ungkapkan dalam surat kabar, ia sempat beberapa kali ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, seluruh kerja kerasnya ternyata telah dilupakan oleh bangsanya sendiri.

Banyak pro dan kontra mengenai gerakan pertama kali yang berlingkup nasional yaitu antara adalah Sarekat Islam dan Boedi Oetomo. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumber yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto Adhi Soerjo adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumber yang sama.

Pada tanggal 27 Maret 1909, di rumah Tirto Adhi Soerjo di Bogor terjadi pertemuan untuk pembentukan sebuah organisasi baru. Berdirilah Sarikat Dagang Islamiah di Bogor. Berbeda dengan Sarikat Prijaji yang menggaet para pegawai dan pekerja pemerintahan dari golongan pribumi (dan ternyata tidak efektif), Tirto Adhi Soerjo menjadikan perdagangan dan Islam sebagai sarana untuk menyatukan rakyat Hindia Belanda dalam organisasinya.

Pendirian Sarikat Dagang Islamiah bertujuan untuk melindungi pedagang Jawa dari pedagang besar Cina. Tirto Adhi Soerjo bertindak sebagai penanggung jawab. Sarikat Dagang Islamiyah berusaha memboikot pedagang Cina agar tidak mendominasi perdagangan di wilayah Jawa. Akhirnya Sarikat Dagang Islamiah berdiri pada 5 April 1909. Kantor pusatnya berada di gedung sewaan di daerah Tanjakan Empang, Bogor. Secara administratif SDI hanya mendapatkan ijin dari Kepala Negeri Bogor. Namun begitu kegiatan organisasi tetap berjalan dan bahkan SDI mengangkat C. J. Feith, Asisten Residen Bogor, sebagai pelindung.

Tirto Adhi Soerjo sendiri sering berkeliling untuk mempropagandakan SDI. Dan dari perjalanannya ini beliau mengenal seorang pedagang batik asal Solo bernama Haji Samanhoedi. Haji Samanhoedi kemudian memimpin SDI AfdeelingSolo sebagai cabang SDI Bogor. Sejak saat itu, Haji Samanhoedi menjadi orang kepercayaan Tirto Adhi Soerjo. Ketika pada 1912, Tirto Adhi Soerjo menghadapi perkara perdata karena utang-utangnya hingga akhirnya dijatuhi hukuman buang ke Ambon selama 6 bulan, Haji Samanhoedi mendapatkan mandat untuk menggantikannya mengurus SDI.

SDI kemudian menjadi Sarekat Islam adalah prakarsa Tirto Adhi Soerjo. Sarekat Islam berdasarkan anggaran dasar presiden, sekretaris, penningmeester (bendahara), dan komisaris. Tirto Adhi Soerjo ditunjuksebagai adviseur (penasihat). Untuk anggota Sarekat Islam tinggal di Lawean sedangkan Tirto Adhi Soerjo adalah satu-satunya anggota Sarekat Islam yang tinggal di Bogor.Kegiatan utama Sarekat Islam adalah sebagai organisasi yang berdiri diantara rakyat dan pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda pun siap menampung keluhan-keluhan yang diajukan Sarekat Islam.

Sarekat Islam ini terlibat dalam kehidupansosial, ekonomi maupun keagamaan masyarakat Jawa. Sarekat Islam kemudian menyebarkan pengaruhnya secara cepat pada kaum miskin di kota-kota dan tidak pula di daerah pedalaman. Pengikut Sarekat Islam terdiri dari orang-orang yang dipersatukan oleh agama dan profesi.

Dari tahun 1912 sampai dengan tahun 1919, anggota Sarekat Islam berkembang pesat hingga berjumlah 2 juta orang walaupun secara organisasi yang aktif hanya setengahnya. Sarekat Islam menjadi lambang solidaritas kelompok yang dipersatukan dengankepentingan tertentu terutama kepada orang-orang Cina.

Pada perkembangan selanjutnya Haji Samanhoedi mengajak serta seorang cendekiawan muslim yang taat dari Surabaya, H.O.S.Tjokroaminoto. Tjokroaminoto mengusulkan agar organisasi jangan dibatasi pada para pedagang saja. Bersama-sama Tjokroaminoto, Haji Samanhoedi berusaha melanjutkan kelangsungan organisasi “peninggalan” Tirto Adhi Soerjo ini. Selanjutnya mereka berusaha agar Sarekat Islam mendapatkan status badan hukum dari Gubernemen. Namun usaha memperolah pengakuan hukum tersebut gagal setelah keluarnya surat penolakan dari Gubernur Jendral Idenburg tertanggal 30 Juni 1913. Dalam surat tersebut Gubernur Jendral tidak mengakui Sarekat Islam sebagai perkumpulan yang mencakup seluruh Hindia Belanda, tetapi Gubernur Jendral mengakui setiap afdeelingnya sebagai sebuah badan hukum. Jadi Sarekat Islam sebuah organisasi lokal di setiap daerah-daerah. Sampai tahun 1914, telah terdapat 56 Afdeeling Sarekat Islam di seluruh Hindia Belanda yang diakui sebagai badan hukum.

Tirto Adhi Soerjo dan Pelopor Politik Arsip

Politik arsip merupakan konsep yang pertama kali diungkapkan secara implisit pada Novel Rumah Kaca karangan Pramoedya Ananta Toeryang terbit pada tahun 1988.Dalam novelnya tersebut terdapat tokoh Minke (dalam kehidupan nyata adalah Tirto Adhi Soerjo) yang ditangkap dan ditahan lewat operasi pengarsipan yang rapi.Kegiatan pengarsipan ini menjadi salah kegiatan politik yang paling menakutkan bagi aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia di berbagai organisasi. Arsip menjadi alat deteksi untuk merekam segala kegiatan aktivis pergerakan kemerdekaan.

Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan publik untuk keseluruhan masyarakat. Objek dari politik adalah kebijaksanaan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya. Pengertian kebijaksanaan ini adalah merupakan proses membangunsecara terarah melaui penggunaan kekuasaan. Kekuasaan ini merujukkepada kemampuan seseorangatau kelompok manusia untuk mempengaruhitingkah laku seseorang agar sesuai dengan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan. Konsep kekuasaan merupakan inti politik karena politik sebagai semua kegiatan yang berkaitan dengan memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.Sedangkan arsip merupakan first-hand knowledge karena hasil yang diciptakan oleh arsip tanpa adanyakepentingan pribadi meskipun subyektivitaspribadi penciptanya tetap ada. Arsip diciptakan dengan ketelitian yang baik karena kesalahan danpemalsuan akan merugikan kepentingan di masa yang akan datang. Arsip pun juga biasanya tersusun secara lengkap dan terpelihara karenadiciptakanoleh organisasi-organisasi seperti pemerintah.Arsip itu dibuat untuk kepentingan praktis pemerintah itu sendiri sehingga subyektitas berkadar kecil dan tanpa kepentingan pribadi.

Peristiwa yang mencuatkan nama Tirto Adhi Soerjo sebagai pelopor politik arsip adalah Skandal Donner. Skandal ini melibatkan nama Asisten Residen Madiun J.J. Donner yang pada saat itu berupaya menurunkan Bupati Madiun, Raden Adipati Brotodiningrat. Untuk melancarkan usahanya Donner bersekongkol dengan Patih dan Kepala Jaksa Madiun, Mangoen Atmodjo dan Adipoetro. Donner lantas mengirimi surat kepada Gubernur Jenderal melaui Algemene Secretarie (mirip seperti Sekretariat Negara sekarang) yang memberitahukan bahwa Brotodiningrat sebagai orang yang bertanggungjawab di dalam berbagai kerusuhan di Madiun.

Di lain pihak, Tirto Adhi Soerjo mengumpulkan data tentang ketidakbenaran tindakan J.J. Donner termasuk mengumpulkan arsip-arsip yang berkaitan denganlaporan tersebut termasuk dimasukkan ke dalam tulisannya di Pemberita Betawi bawah rubrik Dreyfusiana dengan mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di pengadilan yang menggunakan arsip Algemene Secretarie. Tulisan yang menggemparkan dan membawa namanya dikenal sebagai wartawan muda pribumi yang berani menentang pemerintah kolonial. Tirto Adhi Soerjo memberikan saran agar pemerintah mengadakan penyelidikan atas kasus tersebut. Meskipun Tirto Adhi Soerjo telah menuliskan banyak artikel di koran-koran yang memberitahukan bahwa laporan J.J. Donner adalahtidak benar.

Selain itu, artikel-artikel Tirto Adhi Soerjo tetap mengungkapkan ketidakadilan atas pencopotan Bupati Madiun. Dan akhirnya Algemene Secretarie memerintahkan Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasihat Urusan Pribumi) C. Snouck Hurgronje untuk melakukan penyelidikan terhadap laporan-laporan J.J. Donner pada Gubernur Jenderal. C. Snouck Hurgronje dalam suratnya pada tanggal 29 Desember 1902kepada Gubernur Jenderal Willem Roseboom mendapatkan kesimpulan bahwa tuduhan J.J. Donner pada Raden Adipati Brotodiningrat adalah kesimpulan yang salah. Raden Adipati Brotodiningrat dianggap sebagai korban salah tafsir. Namun, surat Snouck Hurgronje ini menjadi sia-sia karena Raden Adipati Brotodiningrat telah sampai di pembuangannya di Padang.

Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh kebangkitan nasionaldan pelopor politik arsip yang handal. Hancurnya Sarekat Prijaji tidak membuat Tirto berhenti untuk memajukan bangsanya. Dia tetap melakukan usahanya untuk membangkitkan kesadaran bangsanya yaitu kesadaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Pada tahun 1907, TirtoAdhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji (MP). Medan Prijaji inilah yang kemudian dijadikan Tirto sebagai alat untuk memajukan bangsanya. Keluhan-keluhan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat bangsanya disuarakan lewat Medan Prijaji.Usaha Tirto AdhiSoerjo membangkitkan kesadaran bangsanya lewat alat yang lebih modern dapat dilihat sebagai kesadaran maju bagi bangkitnya gerakan pembebasan.Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi.Tidak puas dengan usahanya memajukan bangsanya lewat media jurnalistik, pada tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo mendirikan organisasi pergerakan yang sepanjang sejarah Indonesia sangat terkenal yaitu Sarikat Dagang Islamiah (SDI). Sarikat Dagang Islamiah berdiri sebagai antitesis dari Sarekat Prijaji dan Boedi Oetomo yang tidak bisa merangkul semua golongan yang ada di Hindia Belanda.Dan Tirto Adhi Soerjo pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan di Hindia Belanda. Tirto Adhi Soerjolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.Selain itu pula, Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh pelopor politik arsip yang berkembang di Pemerintah Kolonial Belanda. Kekuatan arsip mampu mengalahkan kekuasaan seseorang. Tirto AdhiSoerjo mengungkapkan bahwa kekuatan arsip dalam menjawab segala persoalan di masyarakat terutama perlawanan dalam ketidakbenaran suatu peristiwa terutama yang terjadi pada pemerintahan masalah kolonial.Arsip mampu mengalahkan konflik yang tidak berdasar karena arsip sebagai bukti yang obyektifmenjadi pelopor penggunaan arsip dalam tulisan-tulisannya bahkan menjadi bukti-bukti kuat dalam tulisannya.Maka dapat dikatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh kebangkitan nasional dan pelopor politik arsip yang layak diteladani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun