[caption id="attachment_228682" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi / Admin (kompas.com)"][/caption]
Macet. Satu kata yang rasanya sudah jamak dan termaklumi di ibukota kita tercinta Jakarta. Rasanya tiada hari tanpa jeda lalu-lintas ibukota seperti tak mau lepas dari jerat kemacetan. Ibarat benang kusut masalah tersebut rasanya tidak mau pergi dari Jakarta.
Kemacetan ibukota selalu rutin terjadi kapan saja seperti tidak mengenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, dan terlebih lagi apabila ibukota habis diguyur hujan selalu saja potensi kemacetan tersebut kerap terjadi. Sebagai contoh yang bisa digambarkan adalah kondisi kemacetan di Jl. Raya Pulogebang hingga jalur areal Pondok Kopi. Di daerah tersebut yang biasanya kepadatan baru mulai terjadi antara sekitar pukul 06.15 atau 06.30, namun pada kenyataannya kali ini kepadatan tersebut sudah terjadi sejak pukul 05.30.
Sebenarnya apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi? Pertama, kemacetan bisa saja terjadi karena angka laju pertumbuhan produksi kendaraan bermotor yang lebih tinggi daripada laju pertumbuhan jalan. Kini pertumbuhan laju kendaraan bermotor di Jakarta dan beberapa kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang & Bekasi bisa mencapai 60%-70% per tahunnya. Bandingkan dan coba bayangkan dengan kondisi laju pertumbuhan jalan di ibukota yang sejauh ini masih mencapai kurang dari 2% per tahunnya.
Memang benar konsekuensi kota Jakarta yang notabene sebagai pusat pemerintahan dan pusat segala kegiatan dari pendidikan hingga perekonomian pasti akan berdampak pula dengan keberadaan kondisi lalu-lintasnya yang kian hari kian padat, namun apakah solusi untuk mengurangi macet itu adalah harus dengan menekan laju pertumbuhan produksi mobil atau motor? Menurut penulis tidak seperti itu karena segala urusan yang terkait dengan kebijakan tersebut berada dibawah wewenang pemerintah pusat dalam hal ini bisa tertuang dalam suatu Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan atau Peraturan Menteri yang terkait.
Ada kebijakan menarik yang pernah diambil oleh gubernur Jakarta sebelumnya di era Fauzi Bowo yaitu melarang kendaraan bermuatan berat (truk) untuk melintasi atau masuk kedalam jalur tol lingkar dalam kota. Cara tersebut masih cukup efektif hingga kini khususnya bagi para pengguna mobil pribadi yang kerap kali memang mengharuskan melewati jalan tol tersebut.
Tetapi adakah solusi bagi para pengguna kendaraan pribadi yang tidak melewati tol? Ada 2 cara yang menurut penulis masih cukup relevan diterapkan, yaitu:
ØPenerapan Electric Road Pricing (ERP)
Electric Road Pricing (ERP) merupakan suatu ide berupa penerapan sistem berbayar (seperti tol) bagi kendaraan pribadi yang melalui jalan-jalan protokol ibukota. Ide ini pertama kali diajukan oleh gubernur Fauzi Bowo yang saat itu menilai bahwa keberadaan jalur-jalur protokol setidaknya tidak boleh mengalami kepadatan yang signifikan dan bila perlu bebas hambatan.
Jadi teknik ERP ialah pengguna kendaraan sebelum masuk ke jalur protokol diwajibkan membayar sejumlah uang layaknya pengguna kendaraan tersebut membayar seperti di loket tol.
Sudah benar adanya keberadaan ERP ini harus segera diterapkan segera di jalur-jalur protokol ibukota. Namun perlu juga diingat bahwa bukan hanya warga Jakarta saja yang mencari nafkah di ibukota ini. Terdapat pula penduduk diluar Jakarta yang setiap harinya hilir mudik ke ibukota untuk mencari nafkah.
Maka dari itu ada baiknya Pemprov DKI mencoba untuk mengupayakan penerapan ERP ini di tiap-tiap perbatasan ibukota agar meminimalisir terjadinya penumpukan kendaraan di tengah kota.
ØPenyediaan Free Parking Service (FPS)
Adapun cara yang kedua ialah Free Parking Service (FPS). FPS merupakan suatu solusi penyediaan lahan parkir yang cukup memadai dan diperuntukan bagi pengguna kendaraan bermotor.
Keberadaan FPS adalah hal terpenting yang harus coba dikaji oleh Pemprov DKI Jakarta sebelum merencanakan pembangunan transportasi massal yang terintegerasi. Karena apalah gunanya transportasi massal yang canggih namun tetap tidak memperhatikan hal yang sekecil ini.
Dan FPS yang dibangun ada baiknya disediakan pada tiap-tiap terminal baik itu terminal-terminal utama di tengah kota maupun di terminal-terminal penghubung diuar kota. Selain itu juga harus disediakan pula pada tiap-tiap stasiun-stasiun kereta api penghubung antarkota ke pusat-pusat kota.
Bila sudah seperti ini maka timbul efek kedua yaitu,masih kurangnya kuantitas & kualitas moda transportasi di Jakarta. Ini sudah jelas sekali dikarenakan suatu kota besar yang berskala internasional wajib menyediakan fasilitas terbaik, tercanggih, aman & nyaman dalam hal penyediaan transportasi massal yang terintegerasi.
Dan Jakarta sebagai salah satu kota yang berskala internasional tersebut rasanya sudah wajib untuk memiliki angkutan transportasi yang sifatnya massal, modern, canggih, aman, dan nyaman. Ada 3 opsi jenis angkutan umum massal yang menurut penulis bisa dijadikan acuan untuk diterapkan di kota Jakarta ini. Kesemua angkutan ini semuanya sudah terdapat di Jakarta, hanya saja dikaji dengan cara memberi masukan dan saran agar lebih baik kedepannya.
1.Transjakarta
Lagi-lagi kita patut berterimakasih kepada gubernur Sutiyoso yang sudah merintis suatu grand design berupa pembangunan suatu transportasi massal yaitu Transjakarta. Beliau berhasil merintis pembangunan Transjakarta sebanyak 10 koridor dari 15 koridor yang direncanakan. Dan sebagai kelanjutan dari rencana proyek tersebut, pada era gubernur Fauzi Bowo, beliau berhasil menambah 3 koridor hingga jumlah saat ini Jakarta telah memiliki 13 koridor Transjakarta.
Namun pada prakteknya masih belom mampu mengatasi kemacetan atau bahkan mengurai sedikit dari kemacetan tersebut. Ada 4 faktor utama yang menyebabkan Transjakarta masih belum mampu untuk menyelesaikan masalah kemacetan ibukota, antara lain:
ØMasih terbatasnya jumlah armada bus sehingga rentang waktu pemberhentian dari satu bus ke bus yang lainnya masih sangat lama;
ØKurangnya faktor pemeliharaan dari masing-masing bus sehingga masih sering terjadi peristiwa mogok dari bus Transjakarta itu sendiri;
ØKurangnya fasilitas pendukung yang aman dan nyaman baik itu yang terdapat di shelter maupun yang terdapat di terminal pemberhentian terakhir dari Transjakarta;
ØMasih belum memiliki kejelasan yang pasti bagaimana fungsi angkutan-angkutan umum diluar Transjakarta sehingga selalu terjadi penumpukan yang padat pada jalur-jalur yang bersinggungan antara Transjakarta dengan angkutan umum diluar Transjakarta.
Dan apa efeknya terhadap kondisi lalu lintas ibukota? Efeknya yaitu:
ØBanyak penumpang yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang menggunakan Transjakarta dengan alasan waktu tunggu;
ØBanyak penumpang yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang menggunakan Transjakarta dengan alasan keamanan dan kenyamanan;
ØBanyak penumpang yang lebih memilih menggunakan kendaraan umum diluar Transjakarta ketimbang menggunakan Transjakarta dengan alasan langsung sampai ke tempat tujuan.
Kalau sudah seperti ini siapa yang mau disalahkan? Sudah jelas perusahaan yang mengelola Transjakarta perlu bertanggungjawab namun tetap mensinergikan kesamaan arah dan tujuannya dengan pemerintah terkait dalam hal ini Pemda DKI. Ada beberapa solusi yang menurut penulis cukup efektif apabila Pemda DKI ingin coba memperbaiki kinerja pengelolaan Transjakarta, yaitu:
ØDiperlukan penambahan armada bus Transjakarta agar jarak waktu tunggu dari satu bus ke bus yang berikutnya tidak terlalu lama;
ØMembuat fasilitas pendukung bagi penumpang yang membawa kendaraan pribadi di tiap shelter dan terminal pemberhentian terakhir Transjakarta seperti Free Parking Services (FPS);
ØMembuat fasilitas pendukung bagi penumpang disabilitas, ibu hamil, dan manula berupa jalur kemudahan di setiap shelter ataupun terminal pemberhentian terakhir Transjakarta seperti menyediakan jalur lurus (trap track) agar penumpang disabilitas, ibu hamil, dan manula nyaman ketika akan menaiki Transjakarta;
ØMembuat regulasi yang jelas tentang tugas dan fungsi bagi kendaraan umum diluar Transjakarta seperti pembaharuan rute ijin trayek dan pembahuruan ijin pemberhentian untuk menaikan atau menurunkan penumpang;
ØJika angkutan pengumpan (feeder) Transjakarta masih diperlukan, maka ada baiknya juga perlu ditambahkan armada untuk bus feeder tersebut dengan tetap memperhatikan tugas dan fungsinya sesuai rute.
2.Mass Rapid Transit (MRT)
Proyek ini merupakan kelanjutan dari mega proyek ibukota setelah Transjakarta. Berupa suatu layanan angkutan umum berbasis railway yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah ratusan dan bahkan mungkin ribuan.
Sampai saat ini memang masih dalam tahap pembahasan dalam perkembangannya. Namun kiranya sebelum proyek ini benar-benar dilaksanakan, ada baiknya Pemda DKI Jakarta memperhatikan hal-hal berikut, antara lain:
ØMembuat fasilitas pendukung bagi penumpang yang membawa kendaraan pribadi di tiap stasiun pemberhentian terakhir MRT seperti Free Parking Services (FPS);
ØMembuat fasilitas pendukung bagi penumpang disabilitas, ibu hamil, dan manula berupa jalur kemudahan di setiap stasiun MRT seperti menyediakan jalur lurus (trap track) agar penumpang disabilitas, ibu hamil, dan manula nyaman ketika akan menaiki Transjakarta;
ØMensinkronisasikan rentang antarwaktu antara jadwal MRT dengan Transjakarta atau feeder Transjakarta dan atau angkutan umum lainnya agar tidak terjadi penumpukan penumpang yang signifikan di stasiun;
ØMenyediakan fasilitas pendukung berupa feeder shelter (halte) yang diperuntukan bagi feeder Transjakarta dan atau angkutan umum lainnya pada setiap stasiun MRT;
3.Feeder Public Transport (FPT)
Pada poin ini yang dimaksud dengan FPT adalah jenis transportasi yang sebenarnya sudah sering kita lihat sehari-hari di ibukota, hanya saja FPT disini sendiri fungsinya hanya sebagai angkutan penghubung dari wilayah-wilayah yang tak terjangkau Transjakarta menuju terminal yang dimana terminal tersebut menjadi tempat pemberhentian terakhir Transjakarta.
Jadi dengan kata lain FPT merupakan jenis angkutan yang sudah ada di ibukota hanya saja diperpendek ruang (rute) jalannya. Apa saja yang tergolong dalam FPT? Yang tergolong FPT adalah angkutan-angkutan dengan daya angkut kecil/sedang seperti Mikrolet, KWK/Koasi, Kopaja & Metro Mini.
Angkutan seperti itu sudah lazim kita lihat di ibukota, hanya saja angkutan tersebut kerap menjadi penyebab utama dari kemacetan ibukota. Lalu apa yang akan membedakan apabila FPT ini diterapkan?
Semua terletak pada sistem regulasi yang harus diperbaharui apabila Jakarta ingin membangun sebuah FPT.
ØFPT Berbasis Computerize
FPT Berbasis Computerize merupakan hasil dari peremajaan angkutan umum kecil/sedang yang bukan saja meremajakan eksterior saja (mesin,dll) namun meremajakan pula bagian interior dalamnya.
Adapun bagian interior yang harus diremajakan apabila ingin membuat suatu FPT Berbasis Computerize adalah:
1.Melakukan pemasangan Global Positioning Satelite (GPS) pada seluruh angkutan FPT;
2.Melakukan pemasangan sensor pada setiap halte-halte kecil dan pada seluruh angkutan FPT.
ØFPT Berbasis Services
Bila FPT Berbasis Computerize lebih bersifat perbaikan dari sisi fisik, maka FPT Berbasis Services ini lebih bersifat perbaikan dari sisi non-fisik. Mengapa diperlukan? Jawabannya ialah agar memberi rasa aman & nyaman kepada semua pengguna angkutan FPT.
Dan poin penting yang harus ada dalam perbaikan FPT Berbasis Services adalah:
1.Semua pengemudi FPT wajib menggunakan seragam sesuai jenis FPT yang dikemudikannya;
2.Seluruh angkutan FPT wajib menempelkan Surat Ijin Trayek, KIR, dll. Yang terkait dengan kelengkapan surat untuk beroperasi;
3.Seluruh angkutan FPT juga diwajibkan menempelkan suatu tanda khusus (stiker, kartu atau apapun) yang berisikan dari wilayah operasi mana angkutan FPT tersebut berasal;
4.Semua pengemudi FPT wajib mengembangkan budaya “4S (senyum, sapa, salam, dan santun) kepada seluruh penumpang angkutan FPT.
Kiranya seperti itulah beberapa solusi untuk meminimalisir kemacetan di Jakarta apabila ditinjau dari 2 sisi yaitu dari sisi pengaturan pola kendaraan pribadi dan dari sisi transportasi umum di ibukota. Kesemua solusi tersebut memang adakalanya terlihat rumit dan kompleks, namun adakalanya sebenarnya solusi tersebut sederhana dan sudah biasa terlihat di sekitar kita.
Sekarang tinggal bagaimana sikap dari Pemda DKI Jakarta apakah mau menerapkan pola tersebut atau tidak? Karena penulis yakin sebenarnya pola perbaikan yang sudah penulis jelaskan diatas sudah tersedia semua blueprint-nya. Pemda DKI sebagai pembuat keputusan harus berani membuat suatu aturan yang mengarah kepada poin-poin perbaikan tadi agar setidaknya mampu meminimalisir masalah utama ibukota secara terorganisir dan terpola.
Dan kita sebagai masyarakat juga harus mendukung segala bentuk upaya perbaikan yang dilakukan oleh Pemda DKI demi kenyamanan kita semua dalam beraktifitas. Karena bila keduanya sudah saling mensinergikan dan mengurangi ego kepentingan masing-masing individu, bukan tidak mungkin semua masalah dalam hal ini kemacetan dapat teratasi dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H