Mohon tunggu...
Babeh Tono
Babeh Tono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aku adalah pemerhati yang ingin menuangkan segala apa yang ada di pikiran dalam goresan tinta digital.. Semoga bermanfaat bagi dan untuk semua..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilematisme Penyandang Disabilitas Ibukota

27 Juli 2012   10:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai suatu Negara Kesatuan yang berdasar dengan konstitusional, persamaan hak untuk melakukan pembelaan negara, hak untuk kesamaan kedudukan di muka hukum, dan hak untuk penghidupan yang layak serta hak untuk berserikat, berkumpul, dan hak menyatakan pendapat telah jelas diatur dalam UUD 1945 baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk yang telah di-amandemen dalam pasal 27 sampai dengan pasal 29.

Namun pada prakteknya yang terjadi belakangan di negara ini adalah sebuah kebebasan yang sebenarnya terkadang masih menguntungkan beberapa pihak saja karena suatu alasan tertentu yaitu keuntungan materi. Sebagai contoh terkecil adalah keberadaan fasilitas sosial yang untuk selanjutnya disebut fasos dan juga fasilitas umum yang untuk selanjutnya disebut fasum.

Keberadaan fasos dan fasum dalam suatu wilayah, baik itu tingkat perkotaan maupun tingkat daerah menjadi suatu prasarana yang terpenting untuk keberlangsungan roda perekonomian dan roda sosial penduduk di suatu wilayah tersebut. Namun fakta yang terjadi di lapangan tidak sedikit pula fasos dan fasum yang masih jauh dari harapan, termasuk dalam hal ini dialami juga oleh kota yang notabene menjadi barometer kota-kota lain di Indonesia yaitu Jakarta.

Jakarta sebagai ibukota negara memang secara umum memiliki fasos dan fasum yang cukup memuaskan dan memiliki standar kualitas yang cukup unggul dibandingkan fasos dan fasum di beberapa daerah/kota lain di Indonesia. Tetapi tak sedikit pula dalam pembangunan fasos dan fasum tersebut secara umum kota Jakarta lebih sering pula melupakan keberadaan kaum disabilitas (penyandang cacat) sehingga dibalik keunggulan tersebut terkadang kaum yang kerap dianggap sebagai “sampah masyarakat” mengalami suatu pilihan yang dilematis untuk ikut berpartisipasi dan berinteraksi sosial di muka umum dikarenakan akses untuk mereka yang masih jauh dari harapan yang terjadi di Jakarta ini.

Ada beberapa contoh yang bisa dijadikan gambaran betapa seharusnya kota yang menjadi tolak ukur dan cerminan ke-bhineka-an Indonesia ini banyak melupakan kepentingan kaum disabilitas dalam membangun fasos dan fasum. Pertama, adalah akses transportasi umum yang mengedepankan kepentingan massal seperti busway Transjakarta. Di tiap shelter masih ada beberapa yang menggunakan anak tangga dibandingkan jalan lurus tanpa anak tangga untuk masuk menuju shelter tersebut. Keadaan ini sudah tentu sangat menyulitkan bagi penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Hal ini diperparah lagi dengan jarak antara pintu masuk busway dengan pintu shelter yang pada awalnya berdekatan malah dibuat berjauhan sehingga juga sangat menyulitkan bagi kaum disabilitas dan ibu hamil serta mungkin manulansia pengguna tongkat untuk memasuki busway tersebut. Padahal pernah terdapat kasus akibat jauhnya jarak tersebut ada penumpang yang ingin masuk kedalam busway terjatuh sebagai akibat pijakan yang kurang sempurna.

Fakta kedua yang terkadang membatasi kaum disabilitas berinteraksi sosial di Jakarta adalah akses jalan masuk ke beberapa gedung baik itu gedung pemerintahan ataupun gedung swasta yang juga masih menggunakan anak tangga bukan jalan lurus untuk masuk menuju ke lobi. Keterbatasan ini justru memberi kesan kurangnya pengaplikasian suatu aturan dari Pemprov DKI Jakarta yang pernah menyatakan bahwa, “Setidak-tidaknya gedung-gedung perkantoran di Jakarta memiliki akses masuk yang memudahkan bagi penyandang disabilitas.”.

Fakta ketiga yang juga harus menjadi perhatian kita semua adalah keberadaan pedestrian (trotoar) di beberapa jalan protokol yang masih belum mempertimbangkan keberadaan kaum disabilitas pengguna kursi roda dalam pembangunannya. Hal itu dapat terlihat dari pembuatan sekat-sekat jalan menggunakan tiang pancang pendek dengan jarak yang jauh dari cukup untuk kursi roda melewatinya (contoh: pedestrian di sekitar Jl. Kebon Sirih antara Kantor Garuda Indonesia sampai Gedung Lemhanas). Mungkin pembuatan sekat tersebut untuk meminimalisir pedagang asongan yang berdagang liar dipinggir ataupun diatas trotoar, tetapi apakah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengorbankan keselamatan jiwa dari kaum disabilitas pengguna kursi roda karena harus melewati jalan besar ketika ingin melakukan interaksi sosial?

Dan pada akhirnya beberapa fakta tadi betul-betul menggambarkan bahwa sebenarnya jika Jakarta ingin membangun fasos dan fasum yang bermutu tinggi sebaiknya harus berdasar pula pada kepentingan umum serta sosial bagi yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Terlebih lagi harus menjadi suatu kewajiban Pemprov DKI Jakarta dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan kaum disabilitas dalam pembangunannya. Karena bagaimanapun mereka memiliki kedudukan yang sama dan hak yang sama untuk berserikat, berkumpul dan melakukan interaksi sosial sebagaimana warga masyarakat yang lain.

Besar pula harapan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kiranya dapat menerapkan dan mengaplikasikan Perda Penyandang Disabilitas dengan maksimal. Sehingga pembangunan kota Jakarta dapat lebih terarah, jelas dan baik dengan tidak melupakan sisi kemanusiaan, kesamaan dan toleransi bersama antarwarga tanpa memandang status, kedudukan dan keberadaan fisik seseorang semata.

Sebagai suatu Negara Kesatuan yang berdasar dengan konstitusional, persamaan hak untuk melakukan pembelaan negara, hak untuk kesamaan kedudukan di muka hukum, dan hak untuk penghidupan yang layak serta hak untuk berserikat, berkumpul, dan hak menyatakan pendapat telah jelas diatur dalam UUD 1945 baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk yang telah di-amandemen dalam pasal 27 sampai dengan pasal 29.

Namun pada prakteknya yang terjadi belakangan di negara ini adalah sebuah kebebasan yang sebenarnya terkadang masih menguntungkan beberapa pihak saja karena suatu alasan tertentu yaitu keuntungan materi. Sebagai contoh terkecil adalah keberadaan fasilitas sosial yang untuk selanjutnya disebut fasos dan juga fasilitas umum yang untuk selanjutnya disebut fasum.

Keberadaan fasos dan fasum dalam suatu wilayah, baik itu tingkat perkotaan maupun tingkat daerah menjadi suatu prasarana yang terpenting untuk keberlangsungan roda perekonomian dan roda sosial penduduk di suatu wilayah tersebut. Namun fakta yang terjadi di lapangan tidak sedikit pula fasos dan fasum yang masih jauh dari harapan, termasuk dalam hal ini dialami juga oleh kota yang notabene menjadi barometer kota-kota lain di Indonesia yaitu Jakarta.

Jakarta sebagai ibukota negara memang secara umum memiliki fasos dan fasum yang cukup memuaskan dan memiliki standar kualitas yang cukup unggul dibandingkan fasos dan fasum di beberapa daerah/kota lain di Indonesia. Tetapi tak sedikit pula dalam pembangunan fasos dan fasum tersebut secara umum kota Jakarta lebih sering pula melupakan keberadaan kaum disabilitas (penyandang cacat) sehingga dibalik keunggulan tersebut terkadang kaum yang kerap dianggap sebagai “sampah masyarakat” mengalami suatu pilihan yang dilematis untuk ikut berpartisipasi dan berinteraksi sosial di muka umum dikarenakan akses untuk mereka yang masih jauh dari harapan yang terjadi di Jakarta ini.

Ada beberapa contoh yang bisa dijadikan gambaran betapa seharusnya kota yang menjadi tolak ukur dan cerminan ke-bhineka-an Indonesia ini banyak melupakan kepentingan kaum disabilitas dalam membangun fasos dan fasum. Pertama, adalah akses transportasi umum yang mengedepankan kepentingan massal seperti busway Transjakarta. Di tiap shelter masih ada beberapa yang menggunakan anak tangga dibandingkan jalan lurus (trap track) tanpa anak tangga untuk masuk menuju shelter tersebut. Keadaan ini sudah tentu sangat menyulitkan bagi penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Hal ini diperparah lagi dengan jarak antara pintu masuk busway dengan pintu shelter yang pada awalnya berdekatan malah dibuat berjauhan sehingga juga sangat menyulitkan bagi kaum disabilitas dan ibu hamil serta mungkin manulansia pengguna tongkat untuk memasuki busway tersebut. Padahal pernah terdapat kasus akibat jauhnya jarak tersebut ada penumpang yang ingin masuk kedalam busway terjatuh sebagai akibat pijakan yang kurang sempurna.

Fakta kedua yang terkadang membatasi kaum disabilitas berinteraksi sosial di Jakarta adalah akses jalan masuk ke beberapa gedung baik itu gedung pemerintahan ataupun gedung swasta, beberapa mal besar, beberapa puskesmas dan juga gedung sekolah serta gedung kampus dari beberapa universitas yang juga masih menggunakan anak tangga bukan jalan lurus (trap track) untuk masuk menuju ke lobi maupun menuju ke lantai-lantai diatasnya. Keterbatasan ini justru memberi kesan kurangnya pengaplikasian suatu aturan dari Pemprov DKI Jakarta yang pernah menyatakan bahwa, “Setidak-tidaknya gedung-gedung perkantoran di Jakarta memiliki akses masuk yang memudahkan bagi penyandang disabilitas.”.

Fakta ketiga yang juga harus menjadi perhatian kita semua adalah keberadaan pedestrian (trotoar) di beberapa jalan protokol yang masih belum mempertimbangkan keberadaan kaum disabilitas pengguna kursi roda dalam pembangunannya. Hal itu dapat terlihat dari pembuatan sekat-sekat jalan menggunakan tiang pancang pendek dengan jarak yang jauh dari cukup untuk kursi roda melewatinya (contoh: pedestrian di sekitar Jl. Kebon Sirih antara Kantor Garuda Indonesia sampai Gedung Lemhanas). Mungkin pembuatan sekat tersebut untuk meminimalisir pedagang asongan yang berdagang liar dipinggir ataupun diatas trotoar, tetapi apakah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengorbankan keselamatan jiwa dari kaum disabilitas pengguna kursi roda karena harus melewati jalan besar ketika ingin melakukan interaksi sosial?

Dan pada akhirnya beberapa fakta tadi betul-betul menggambarkan bahwa sebenarnya jika Jakarta ingin membangun fasos dan fasum yang bermutu tinggi sebaiknya harus berdasar pula pada kepentingan umum serta sosial bagi yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Terlebih lagi harus menjadi suatu kewajiban Pemprov DKI Jakarta dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan kaum disabilitas dalam pembangunannya. Karena bagaimanapun mereka memiliki kedudukan yang sama dan hak yang sama untuk berserikat, berkumpul dan melakukan interaksi sosial sebagaimana warga masyarakat yang lain.

Besar pula harapan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kiranya dapat menerapkan dan mengaplikasikan Perda Penyandang Disabilitas dengan maksimal. Sehingga pembangunan kota Jakarta dapat lebih terarah, jelas dan baik dengan tidak melupakan sisi kemanusiaan, kesamaan dan toleransi bersama antarwarga tanpa memandang status, kedudukan dan keberadaan fisik seseorang semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun