Mohon tunggu...
J Wicaksono
J Wicaksono Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Kesehatan ingin belajar menulis

Saya suka menulis dan membaca berbagai artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Perjuangan Prajurit Jalasena (TNI AL), bagian 4

31 Januari 2025   22:04 Diperbarui: 31 Januari 2025   22:04 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RI Matjan Tutul (Arsip Nasional)

Soedomo masih tetap berupaya agar Komodor I Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Papua dengan memakai perahu karet.

Atas pertimbangan tersebut, maka Soedomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Soedomo tahu, keinginan Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi Irian. "Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Papua. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah dari Papua untuk di serahkan kepada Bung Karno."

Dikuntit Neptune Belanda. Dengan haluan 000 derajat 15 Januari 1962, ketiga MTB tersebut dengan serentak meninggalkan RI Multatuli. Setiap kapal membawa 30 anak buah kapal dan sekitar 40 infiltran, putra daerah yang akan didaratkan di Irian untuk memulai perang gerilya. Para infiltran beristirahat di geladak, di sela-sela perahu karet. Inilah alasan utama mengapa Soedomo lebih dulu menerbangkan mereka ke dekat perbatasan dengan pesawat udara, tidak ikut berlayar dengan MTB. Karena secara teknis memang tidak mungkin, kapal-kapal torpedo tersebut mengangkut pasukan sebanyak itu, berlayar sejauh 2.000 mil laut.

Komodor Josaphat Soedarso (Arsip Nasional)
Komodor Josaphat Soedarso (Arsip Nasional)

Soedomo menengok ke belakang. Nampak matahari mulai tenggelam di batas cakrawala, sehingga pemandangan sekeliling semakin lama semakin suram. Dari geladak RI Multatuli, yang terlihat hanya bayangan tiga kapal melaju dengan cepat, seakan-akan timbul tenggelam di antara gelombang laut Arafuru. "Laut sekeliling kami hitam pekat, malam itu bulan tak muncul di langit, mata kami semua memandang tajam ke arah radar," kata Sidhoparomo. MTB tersebut berada paling belakang, satu-satunya kapal yang tetap boleh menyalakan radar, karena bertugas sebagai Kapal Jaga Operasi (KJO). Sewaktu Jam menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat, Soedomo lewat radio walkytalky mengarahkan haluan konvoi untuk menuju 059 derajat. Inilah arah paling singkat untuk mencapai Vlakke Hoek (sekarang bagian Kabupaten Asmat) yang terletak di pantai sebelah timur Sungai Aiduna.

Iring-iringan ke tiga MTB di Laut Arafuru ini agaknya tidak merasa bahwa sejak pukul 20.25, mereka sebenarnya telah terdeteksi dari udara oleh Letnan H. Mockar Danoe yang sedang berpatroli dengan pesawat Neptune."Jarak pada saat itu lebih kurang sekitar 60 mil dari Vlakke Hoek," kata Mockar Danoe, keturunan Indonesia yang menjadi warga negara Belanda dan masuk dalam dinas militer Koninklijke Marine (KM), Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Mereka langsung mengirim tanda bahaya dini kepada Hr. Ms. Evertsen, Hr. Ms. Kontenaer dan Hr. Ms. Utrecht yang juga sedang berpatroli di perairan setempat. Pukul 21.45 pesawat Neptune tersebut mulai mengambil posisi siap menyerang. Untuk menerangi sasaran, mereka lebih dulu menembakkan flare (roket suar).

Beruntung bagi ketiga MTB kita, flare tesebut tidak menyala sehingga roket tidak jadi di tembakkan. Pada saat itulah RI Matjan Kumbang sebagai kapal jaga melaporkan kepada Rl Harimau yang berada paling depan, mengenai adanya sebuah pesawat terbang yang melintas di atas konvoi. Secara bersamaan dilaporkan pula bahwa radar RI Matjan Kumbang telah mendeteksinya 2 echo pada baringan 070 derajat, dalam jarak sekitar 9 mil. "Saya segera mengambil teropong, saya telusuri cakrawala sesuai informasi dari Matjan Kumbang. Memang benar mulai terlihat siluet kapal perang Belanda di arah lambung kanan dan satu lagi di lambung kiri, Dengan gampang bisa kita kenali jenisnya, yang di lambung kanan adalah sebuah fregat dan sebuah kapal perusak (destroyer) kelas Holland, melihat cerobong muka yang bagian atasnya ada lekuk ke belakang. Dan di lambung kiri ada satu fregat lagi," kata Soedomo.

Terlihatnya tiga kapal musuh tersebut langsung diinformasikannya kepada Kolonel Moersjid, yang berada di RI Harimau. Mereka kemudian tahu, kapal tersebut masing-masing adalah Hr. Ms. Evertsen, Hr. Ms. Kontenaer dan kapal ketiga Hr. Ms.Utrecht, "Saya berkesimpulan, keberadaan kapal kita telah diketahui oleh musuh. Misi ini tak bisa dilanjutkan, harus dibatalkan. Tak pernah ada perintah operasi untuk menyerang Kapal Belanda, apalagi karena kita tidak punya senjata utama torpedo...". Persenjataan tidak seimbang, fregat dan destroyer Belanda memiliki meriam 4,7 inci (12 cm) sebagai senjata utama, sedangkan KCT kita hanya memiliki senjata 40 mm dan 12,7 mm untuk menangkis serangan udara. Bersambung ..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun