Mohon tunggu...
Adi Darmawan
Adi Darmawan Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah bahasa Inggris, peminat bahasa-bahasa, hidrologi, dan geografi

Dengan belajar bahasa asing, sudut pandang bangsa lain dapat dipahami. Dengan belajar hidrologi, keseimbangan dan ketidakpastian alam dihayati. Dengan belajar geografi, perbedaan di muka bumi disyukuri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buya Syakur dalam Silang Kepentingan: Melepas Kepergian Sang Mursyid Sufi Rasional

25 Januari 2024   23:16 Diperbarui: 26 Januari 2024   08:33 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam acara Muktamar Sufi Internasional bersama Syekh Yusri Rusydi, seorang mursyid tarekat dan dokter bedah dari Al-Azhar, Mesir

Rabu 17 Januari 2024 yang baru lalu, mata saya dibuat berkaca-kaca oleh berita meninggalnya pimpinan pesantren dan penceramah agama Islam terkenal, KH Abdul Syakur Yasin, MA, yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Syakur. Walaupun kenyataan bahwa ia sudah berusia 75 tahun dan mengidap penyakit, tetap saja terbersit pikiran dalam hati saya, "Mengapa selalu orang baik yang dipanggil lebih cepat?", tetapi cepat saya sadar bahwa Allah pasti punya rencana yang lebih baik daripada dugaan awal.

Terkait dengan keterkenalan kiai haji asal Indramayu ini, orang-orang yang kenal nama Buya Syakur dapat dibagi ke dalam dua golongan besar. Pertama, adalah mereka yang pernah mendengarkan ceramahnya baik luring maupun daring, langsung maupun tunda. Golongan kedua adalah mereka yang mendengar nama Buya Syakur dari pihak lain yang sifatnya menjelekkan kiai tersebut dan tidak pernah mendengarkan ceramahnya kecuali cuplikan saja. Golongan pertama biasanya cocok dengan isi dan gaya penyampaian dan diskusi Buya Syakur, sedangkan golongan kedua umumnya tidak ambil pusing untuk mau menyimak kata-katanya. Jadi, ada pencinta dan ada pembenci.

Selain dua golongan besar tersebut, ada dua golongan kecil yang juga berseberangan. Ketiga, ialah mereka yang menyempatkan diri datang ke Pesantren Cadangpinggan tempat pengabdiannya dan beruntung dapat bercakap-cakap dengan kiai yang sibuk ini, lalu menjadi sahabatnya, bahkan berkolaborasi dengannya. Sama dengan golongan ketiga, golongan keempat adalah orang-orang yang menyempatkan diri juga, tapi bedanya mereka menyempatkan diri untuk mencari-cari cacat pribadi Buya Syakur. Cacat pribadinya gagal ditemukan, mereka mengritik penafsiran dan pernyataan Buya Syakur dan menyimpulkan bahwa kiai ini beraliran liberal, sesat, maupun batal keislamannya, tanpa memandang bahwa kiai ini adalah ketua Bahtsul Masal -- yaitu lembaga kiai-kiai yang bertugas membahas masalah-masalah yang timbul di masyarakat -- Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Indramayu, Jawa Barat.

Memangnya apa sih yang diajarkan KH Abdul Syakur Yasin itu?

"Ajaran Islam Belum Sempurna"

Saya mulai dari kontroversinya. Yang paling mengemuka adalah pernyataan Buya Syakur bahwa ajaran Islam belum sempurna. Sekilas dengar, pernyataan ini terasa bertentangan dengan ayat terkenal dari Al-Qurn yakni ayat yang diturunkan terakhir (Q 5:3), "Al-yawma akmaltu lakum dnakum" ("Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu"). "Bagaimana mau dikatakan sempurna," begitu kira-kiranya penjelasan Buya Syakur, "sedangkan di dalam Al-Qurn dan hadits Nabi tidak ada larangan perbudakan? Tapi apakah kamu mau menghidupkan lagi perbudakan? Kamu mau melanggar hak asasi manusia?"

Buya lantas mengingatkan bahwa Arab Saudi saja baru mulai tahun 1960-an melarang perbudakan di wilayahnya, itupun akibat desakan Amerika Serikat sebagai syarat bantuan memodernisasi militernya. Artinya pada abad 20, di Tanah Suci, perbudakan masih ada, sekalipun hampir 14 abad sebelumnya Al-Qurn sudah menegaskan kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang lebih baik, yaitu membebaskan budak (Q 90:11-13), dan pembebasan budak ini menjadi sanksi bagi pelanggar-pelanggar hukum tertentu. Tapi berhubung orang Islamnya sendiri sudah keenakan punya budak, dan kitab suci dan hadits pun bicara mengenai budak, maka meskipun Arab Saudi sudah resmi melarang perbudakan, namun praktek ikatan kerja yang membelenggu pekerja bagaikan budak pun masih ada. Itu salah satu sebabnya Buya Syakur menyatakan bahwa ajaran Islam belum sempurna. Belum sempurna, karena Nabi Muhammad keburu meninggal dunia sebelum perbudakan itu sempat dilarang. Mengapa tidak langsung saja dilarang, mengapa harus menempuh jalan jauh membebaskan budak sebagai hukuman segala? Jawabannya adalah jika pembebasan seluruh budak dilakukan seketika, akan timbul masalah sosial-ekonomi yang terlalu besar di masyarakat Arab abad 7 itu: para majikan harus mengeluarkan biaya gaji yang sebelumnya tidak ada, akibatnya mereka hanya dapat mempekerjakan sedikit jumlah pekerja dibandingkan dengan jumlah budak sebelumnya; akibatnya banyak para mantan budak akan kesulitan mencari pekerjaan baru, mau pulang kampung tapi tidak punya uang, dst. Karena itulah pembebasan budak dilakukan bertahap, seperti halnya larangan minuman keras pun diturunkan bertahap: mulai dari pernyataan Allah bahwa di dalam minuman keras itu ada manfaat dan dosa tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya (Q 2:219), meningkat menjadi larangan Allah untuk melakukan shalat ketika mabuk (Q 4:43), dan diakhiri dengan perintah Allah untuk menjauhi minuman keras (Q 5:90-91). Nah, larangan minum minuman keras yang dampak sosial-ekonomi negatifnya minim pun itu dilakukan bertahap, apalagi perbudakan yang dampaknya lebih besar seperti telah ditunjukkan di atas! Tapi, sekali lagi, umat Islam sudah telanjur merasa untung dengan dilegalkannya perbudakan, maka lembaga perbudakan di dunia Islam lebih lambat dibubarkan daripada di dunia Kristen (Barat). Hanya ulama yang pandai, rasional, dan kontekstual sekaligus halus perasaan sufinya seperti Buya Syakur ini yang berani mengoreksi penafsiran agamanya sendiri.

"Saya Tak Akan Pulang Sebelum..."

Abdul Syakur Yasin lahir pada tanggal 2 Februari 1948 di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebagai anak keluarga kiai, Syakur remaja disekolahkan di Pondok Pesantren Babakan di Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, yang sudah berdiri sejak tahun 1715. Di sinilah Syakur muda tekun belajar agama Islam, bahasa Arab, dan mungkin juga tasawuf. Sebagai lulusan pesantren, Abdul Syakur bertekad melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Timur Tengah, maka ia berjuang untuk mendapatkan rekomendasi dari tokoh-tokoh ternama untuk bisa kuliah di sana. Dengan setengah keras kepala ("Saya tidak akan pulang sebelum mendapat surat rekomendasi."), Syakur berhasil mendapat rekomendasi dari tokoh nasional Nahdlatul Ulama yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Subhan ZE. Maka pada tahun 1971 pemuda Syakur melenggang ke Iraq dan berkuliah di sana. Namun di tahun berikutnya ia pindah kuliah ke negara tetangga di sebelah barat Iraq, yaitu Suria (Syria), hingga 1974. Lanjut kuliah makin ke barat lagi, yaitu Libya, di Jurusan Adabiyat (Sastra) (S2), lulus tahun 1978. Gaspol, tahun itu juga dia memulai kuliah di Universit de Tunis, Facult des Lettres et des Humanits (Kulliyatul Adab wa 'Ulum al-Insaniyah, Fakultas Sastra dan Humaniora) (al-marhalah al-tsalitsah, S3). Pilihannya ke Tunisia juga ditunjang adanya lowongan kerja sebagai staf di KBRI yang baru dibuka di sana, meskipun tantangannya lebih berat dibandingkan di negara-negara Arab lainnya karena ada mata kuliah yang diberikan bukan dalam bahasa Arab, melainkan bahasa Prancis, bahasa bekas penjajahnya.

Dalam ceramahnya di depan Pengurus Cabang Istimewa NU Tunisia secara daring beberapa tahun yang lalu, Buya Syakur menceritakan betapa suasana Tunisia ini membuatnya betah. Mengapa? Karena dibandingkan negara-negara Arab yang telah dikunjunginya seperti Iraq, Arab Saudi, Suria, Mesir, dan Libya, hanya Tunisialah yang tradisinya mirip NU, dengan tahlilnya dan maulid Nabinya. Di samping itu, konstitusi Tunisia menyebutkan bahwa segala hukumnya bersumber dari Al-Qurn dan Hadits, tapi melarang poligami, menyokong kesetaraan gender, sehingga Tunisia dianggap negara sekuler oleh negara-negara Islam lainnya. Jalannya sejarah di antara negara-negara yang mengalami Rabi'ul 'Arabi (Arab Spring) tahun 2011, hanya Tunisialah yang mulus transisinya, sedangkan negara-negara Arab Spring lainnya masih kacau hingga sekarang.

Di jenjang ini, Abdul Syakur Yasin menulis disertasi berjudul Al-Mafahim al-Balaghiyah 'anda 'Abd al-Qadir al-Jurjani (Terminologi Retorika menurut Abdul Qodir Al-Jurjani) di bawah bimbingan Prof. Abdus Salam al-Musaddi. Pendidikannya yang lebih ke Sastra Arab dibandingkan ke Agama Islam ini berperan penting dalam caranya mempelajari dan mengajarkan kitab-kitab agama Islam di masa depan, yaitu dengan pendidikan linguistik: bahwa kata-kata berbeda di dalam Al-Qurn yang sering dianggap sinonim, ternyata punya arti dan maksud yang berbeda.

Di sela-sela masa studinya di Tunisia, Abdul Syakur mengikuti minatnya belajar seni penulisan dialog teater di Inggris hingga lulus. (Ada yang bilang ia kuliah di Oxford, tapi dalam salah satu video ceramahnya, Buya Syakur mengatakan bahwa ia lama di London, jadi bukan Oxford.) Kembali ke Tunisia, Syakur tidak bisa melanjutkan disertasinya, antara lain karena Profesor al-Musaddi, dosen pembimbingnya, diangkat menjadi Duta Besar Tunisia untuk Liga Arab, kemudian untuk Arab Saudi, setelah sebelumnya bertugas sebagai Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah. Maka di tahun 1991, 13 tahun setelah mulai kuliah di Tunisia, Syakur bertolak ke Indonesia untuk pulang selamanya, setelah 20 tahun berkelana di Timur Tengah dan Eropa, dengan gelar akademis tertinggi Master of Arts.

"Saya tidak rela kemesraan saya dengan Allah dirusak..."

Sekembalinya ke Indonesia, Abdul Syakur bermukim di Jakarta. Dia menjadi kawan dari Munawir Sjadzali, MA, Menteri Agama saat itu. Pak Munawir yang pernah menjabat sebagai duta besar di beberapa negara Arab ini biasa mengajak Abdul Syakur ke rumahnya bila ada tamu dari negara-negara Arab bertandang, agar percakapan berlangsung dengan lebih menarik. Mereka saling cocok. Betapa tidak, di masa mudanya, Munawir telah menyesalkan kenyataan bahwa, "Masih banyak orang Islam yang ingin memindahkan begitu saja Mekkah ke Indonesia", suatu pernyataan menarik karena keluar dari pikiran seorang komandan Markas Perang Hizbullah-Sabilillah Jawa Tengah pada masa Perang Kemerdekaan itu. Sang menteri senior dan sang calon kiai ini banyak membahas masalah aktualisasi ajaran Islam, termasuk perlunya revisi terjemahan Al-Qurn, penafsiran kembali hukum Islam, dan perkara-perkara serius lainnya.

Dua tahun di Jakarta, Abdul Syakur memutuskan untuk menetap di desanya dengan didorong keinginannya untuk memajukan pola pikir masyarakat. Dia menyadari besarnya ketimpangan kemajuan antara Ibukota dengan Kecamatan Kertasemaya tempat kelahirannya, bukan hanya ditinjau dari pembangunan fisiknya, melainkan terutama sumberdaya manusianya. Meskipun desa kelahirannya ini adalah ibukota kecamatan dan dilalui jalan raya Pantura dan rel kereta api antara Jakarta dan Cirebon dan jaraknya hanya 10 kilometer dari kota terdekat, Jatibarang, 25 km dari kota Indramayu, bahkan hanya 3 jam perjalanan kereta api dari Jakarta, tetapi pola pikir masyarakatnya masih belum banyak tersentuh kemajuan. Ia tergerak untuk membangun daerahnya sesuai kemampuannya sebagai muballigh, penceramah agama. Tantangan yang diterimanya berat. Ketika ia berceramah dalam bahasa Indonesia, hadirin minta dalam bahasa Jawa Indramayu saja. Dia berceramah dengan tema-tema moderen, jama'ahnya tidak suka, inginnya menerangkan halal-haram, surga-neraka, pahala dan dosa, dan sebagainya. Akhirnya, KH Syakur membuka penampungan yang merawat orang-orang gila agar tidak berkeliaran di jalanan. (Di Jalan Raya Pantai Utara Jawa Barat ini kita bisa melihat orang-orang gila ini menyusuri jalan. Konon, mereka ini berasal dari kota lain (Jakarta?) dan dibuang oleh pihak tertentu ke persawahan tepi jalan di Indramayu.) Di antara orang-orang gila ini, ada yang menjadi sembuh setelah dirawat oleh Buya Syakur. Ia kemudian membawa anggota keluarganya (tidak gila) ke tempat Buya Syakur untuk menjadi santri. Itulah santri pertama Kiai Haji Abdul Syakur Yasin.

Pesantren Cadangpinggan didirikan yayasannya pada tahun 2000. Nama Cadangpinggan diambil dari nama desa di mana tapak pesantren itu berada, walaupun kemudian di tahun 2002 Desa Cadangpinggan dimekarkan sehingga mulai saat itu pesantren ini termasuk Desa Gedangan. (Lokasinya sangat dekat dengan desa kelahiran Buya Syakur itu sendiri, namun sejak pemekaran kecamatan, desa ini masuk Kecamatan Sukagumiwang, bukan lagi Kertasemaya.)

Seiring zaman, Pesantren Cadangpinggan makin terkenal, pimpinannya diundang berceramah dan memberikan tausiah di seantero daerah bekas Keresidenan Cirebon, juga ke daerah-daerah lain di Jawa Barat dan Jakarta. Ceramah Buya Syakur rutin disiarkan oleh stasiun radio setempat dengan jangkauan sepanjang Jalur Pantura Jawa Barat. Ia menjadi sahabat Bupati Indramayu kala itu, Irianto "Yance" Syafi'uddin.

Dengan memantapkan diri untuk berkhidmat bagi daerah Indramayu, Buya Syakur sangat menyadari masalah-masalah kronis di kabupatennya. Pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka perceraian, dan pelacuran, masih menjadi kenyataan di Kabupaten Indramayu. Sebagai seorang kiai, Buya Syakur menemukan adanya ajaran-ajaran dalam khazanah fiqih Islam yang justru turut menjadi faktor terjadinya sebagian masalah sosial tersebut. Contoh: kitab-kitab kuning, yaitu kitab-kitab penafsiran ajaran Islam karya ulama klasik dari ratusan bahkan seribu tahun yang lalu, tidak menetapkan batas usia minimal seorang anak -- khususnya anak perempuan -- boleh dinikahi. Masih bayi pun boleh dinikahkan, dan boleh "dipakai" kalau anak perempuan itu gemuk. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Penyayang mengizinkan pedofilia dan merampas hak perempuan untuk menentukan masa depannya sendiri? "Saya tidak rela kemesraan saya dengan Allah dirusak oleh ajaran yang memperlakukan perempuan seperti bukan manusia." KDRT pun berdasarkan salah satu penafsiran dibolehkan. Penafsirnya lupa bahwa kata dharaba-yadhribu dalam bahasa Arab itu tidak selalu berarti memukul. Angka perceraian pun jadi tinggi gara-gara masih banyak kiai atau ustadz yang mendukung sahnya perceraian cukup dengan lisan suami saja, padahal Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 mengharuskan pengadilan agama untuk memutuskan bercerai atau tidaknya suatu pasutri, setelah upaya rujuk gagal. Pendeknya, pemikiran Buya Syakur dalam masalah-masalah yang menyangkut perempuan itu selalu membela kaum perempuan, termasuk masalah pembagian warisan, di mana ia menganggap jatah waris anak laki-laki itu dua kali lipat jatah waris anak perempuan sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan sosiologis Indonesia zaman sekarang. Menurut Buya, di Arab pada zaman Nabi, perempuan tinggal di rumah dan tidak bekerja di maupun belanja ke pasar. Tugas mereka adalah mengasuh anak. Pekerjaan dilakukan oleh laki-laki, atau budak. Karena itu wajarlah perempuan perbandingan jatah waris perempuan hanya setengah dari laki-laki (pada masa sebelumnya, perempuan tidak mendapat hak waris). Tapi kenyataan di Indonesia adalah perempuan belanja ke pasar, bekerja di mana saja, bahkan sampai ke luar negeri, sehingga jatah waris yang sama banyaknya akan lebih adil, apalagi biasanya anak perempuan kebagian tugas mengasuh adik-adiknya, sementara anak laki-laki dibebaskan bermain di luar.

Buya Syakur mengajarkan bahwa fiqih hanyalah dugaan, sehingga bisa salah, apalagi bila diterapkan di zaman dan tempat yang konteksnya berbeda.

"Terlalu sulit bagiku untuk menyalahkan siapapun"

Jelas bahwa seorang pimpinan pesantren yang mempunyai pandangan progresif kontekstual seperti itu tidak terlalu disukai oleh ustadz-ustadz lain yang berpandangan puritan tekstual. Setelah nama KH Abdul Syakur Yasin, MA muncul sebagai suatu kanal di YouTube, bukan hanya penggemar Buya Syakur yang bertambah, melainkan juga pembencinya. (Sebenarnya pengajian Buya Syakur ditayangkan di YouTube pada awalnya bukan atas gagasannya sendiri, namun atas bujukan beberapa sahabatnya, "Sayang kalau hanya kami-kami saja yang tahu.")

Motto Buya Syakur yang bunyinya, "Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan, dan tidak menggurui siapapun. Terlalu sulit bagiku untuk menyalahkan siapapun. Akan tetapi apabila ada orang yang ingin mengisi raportku, tentu aku sangat gembira sekali, dan, kujamin, aku tidak akan sakit hati sedikitpun", terbukti benar dipraktikkannya baik di panggung maupun di kesehariannya. Kita tidak pernah menyaksikannya marah, bicara dengan keras pun tidak pernah. Paling pol, seperti kata seorang sahabatnya, psikolog YF "Hans" La Kahija, Buya kalau sedang marah hanya menghela napas panjang. Cukuplah kesaksiannya menjadi bukti bahwa apa yang dikatakan Buya Syakur dalam motonya itu memang benar dari hatinya dan dilaksanakan sepenuhnya. Lihat saja sikap dan ekspresi para pembawa acara siarannya di YouTube baik Pak Taswirul Afkar (Kepala MTs Pesantren Cadangpinggan), Pak Tato Nuryanto (dosen di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon), maupun Bu Ani Rozani; mereka semua santai saja duduk di depan kamera tidak jauh dari tempat duduk Buya Syakur tanpa kelihatan takut. Bahkan dalam video-video ceramah Buya Syakur yang disiarkan oleh kanal-kanal YouTube tidak resmi, seperti TVABAH, di mana ceramahnya banyak diselipi penjelasan Buya Syakur dalam bahasa Indramayu, di video-video itu sering terdengar jama'ah menceletuk, dan Buya pun menanggapi celetukan itu seperti layaknya percakapan antarteman saja, diiringi derai tawa dari kedua pihak. Saya rasa, bekal tasawuf yang dimiliki Buya Syakur telah mendekatkan jarak batin antara kiai dan jama'ahnya. Pendekatan cinta kepada Allah. Kalau sekedar syari'ah (baca: fiqih) saja yang disampaikan, sekedar boleh tidak boleh, maka yang timbul adalah rasa takut kepada Allah. Kedua-duanya perlu. Perlu berharap kepada Allah, sekaligus takut kepada-Nya. Tapi semuanya itu terlingkupi oleh cinta kepada Allah. Dapat uang, alhamdu lillah. Tidak dapat uang, alhamdu lillah. Uangnya hilang, alhamdu lillah juga, karena sedemikian cinta-Nya kepada Allah, pokoknya apapun kehendak Allah tetap disyukuri. Maka Buya Syakur pun mengritik sesama da'i yang memasang tarif ceramah sebagai sekedar profesi, bukan karena perintah Allah. Sedangkan dia seperti tidak percaya bahwa Allah pasti memberinya rezeki, bagaimana mungkin dia menyadarkan orang lain bahwa Allah Maha Pemberi Rizqi?

Dalam acara Muktamar Sufi Internasional bersama Syekh Yusri Rusydi, seorang mursyid tarekat dan dokter bedah dari Al-Azhar, Mesir
Dalam acara Muktamar Sufi Internasional bersama Syekh Yusri Rusydi, seorang mursyid tarekat dan dokter bedah dari Al-Azhar, Mesir

Maka ganjil sekali pendapat sebagian orang, baik ulama maupun awam, bahwa Buya Syakur itu liberal, sekuler, atau pluralis, atau yang dengan nyinyir disingkat menjadi "sepilis". Dalam suatu ceramahnya, Buya Syakur menyatakan bahwa dia berpikiran dinamis, bukan liberal, karena liberal itu berarti "tidak berbatas", padahal dia menyatakan yang salah itu tetap salah, bukan dicari pembenarannya. Akan tetapi, bila ayat suci atau hadits yang muncul 14 abad yang lalu itu diterapkan begitu saja di masa kini, itu sama saja dengan mengingkari kedinamisan peradaban yang sudah makin maju. Mengenai sekulerisme, Buya sering menerangkan sejarah jatuhnya ribuan korban nyawa ulama Ahlis Sunnah Wal Jama'ah di masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun, khalifah Bani Abbasiyah anak dari Khalifah Harun Al-Rasyid, di mana khalifah yang sedang berkuasa ini beraliran Mu'tazilah dan karenanya mencoba membasmi aliran Ahlis Sunnah. Di satu sisi, Khalifah Al-Ma'mun ini memajukan ilmu dan teknologi, tapi di sisi lain ia juga membunuh banyak ulama Islam yang berbeda pandangan teologinya darinya. Buya Syakur mengingatkan betapa berbahayanya jika satu aliran agama Islam dijadikan ideologi hukum (karena tertindasnya orang Islam yang alirannya berbeda daripada aliran yang diakui negara), sekaligus mengingatkan betapa mustahilnya jika semua aliran agama Islam dijadikan sumber hukum.

Singkatnya, ketika ada yang mengritik ucapannya, ia selalu berkomentar agar orang itu datang ke pesantrennya supaya bisa berdiskusi sehingga jelas duduk perkaranya, bukan malah berpolemik di dunia maya. Nyatanya, mereka tidak ada yang datang. Bagi mereka memang lebih baik tidak datang, daripada kalah dalil, lalu ditinggal pengikutnya. Sedangkan Buya Syakur tetap berlanjut mendidik umat mengaktualkan ajaran Islam, agar di masa depan -- seiring makin majunya pola pikir manusia -- agama ini tidak ditinggal pemeluknya, sebagaimana telah ia saksikan sendiri bahwa agama Kristiani telah banyak ditinggal pemeluknya di Eropa. Tampak ada silang kepentingan di sini, yang timbul dari perbedaan wawasan.

Sekarang, dengan telah berpulangnya Allah yarham Buya Syakur, kita nantikan apakah pesantren yang ditinggalkannya mampu terus melestarikan pola pikir dan pola laku yang telah dirintisnya, dan apakah pengikutnya di seantero Tanah Air, Malaysia, dan negara-negara lain mampu menggemakan semangat ajarannya seiring bergulirnya zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun