Mohon tunggu...
Cerita Doktor Dharma
Cerita Doktor Dharma Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIE Satya Dharma Singaraja, Bali

Ada benci dan cinta, siapa menang? Yang sering engkau beri makan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Erosi Ku

24 Januari 2025   06:30 Diperbarui: 22 Januari 2025   07:56 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudah memaafkan sulit melupakan, momok bagi pencinta peristiwa. Melawan dan menerimanya menuntun diri untuk belajar dan tidak patah dalam mengarumi penderitaan. Makin lama sepak terjangnya makin disegani. Begitulah urusan cinta dijalani, diraih, dan dinobatkan menjadi hero suka duka. Hingga kini, tampuk kejayaannya terus diburu, muda maupun tua.

Jelang masa depan, takaran muda tua bukan lagi umur melainkan otot. Mengapa? Karena otot terlatih dan tertampilkan untuk menjadi ceria dan kuat. Alias, otot kulun nuun untuk diremajakan. Sedangkan umur terlatih menjadi bijak yang tertampilkan menua.

Diri sadar, bila tak berdamai dengan masa lalu, maka masa depan hampa, tak berkarakter. Dalam waktu singkat, keunggulan ditonjolkan. Yang dirilis hanya hari untuk mendapatkan terangnya matahari.  

Di kalangan pendeta, kesatria, pedagang, dan buruh, suka duka senantiasa disayembarakan. Saat tetamu datang dan berlomba, kasak-kusuk moral dan material segera meluluhlantakkan terang dan memproduksi gelapnya. Siapa pun yang menjelajahi dan mengenakan kalung ini, dipastikan senang karena diberkahi dewa.

Berkah

Di dunia fantasi, masa depan diformulasikan sebagai fungsi dari cinta dan rumah. Mengapa? Karena setiap diri dipastikan pulang. Jadi, masa depan adalah rumah, dan rumah tempat bersemayamnya cinta. Tatkala mencari cinta, pulanglah, temui dan dekap, niscaya kepercayaan yang digeletakkan berbuah. Bisa manis, bisa pahit.

Karena suka duka tak bisa dinegosiasikan, maka diri adalah prajurit yang senantiasa diperintah dan mengabdi pada kepentingan tuannya, memilih maut daripada hinaan.

Dulu diri berjibaku dan tumbuh di lapangan, kini keduanya bekerja dibelakang meja, menunggu perintah bukan memerintah. Bila pekerjaan selesai, yang menunggu hanya hotel dan bandara.

Hari-hari pun sibuk menjelang pensiun, suka duka berikrar. Milikilah tangan besi bila berurusan dengannya. Jangan pernah mau menjadi gembalanya. Bukan saatnya untuk berkabung, apalagi menutup pengetahuan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun