Memulai tahun baru sebagai dosen ilmu ekonomi, kiranya kata waspada kerap diucap di pelbagai forum, bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. Ada optimis, ada pesimis, keduanya punya kedudukan yang sama.
Optimis karena nahkodanya memberi makan bergizi gratis, agar otak generasi bertumbuh. Pesimis karena dibatasi secuil anggaran. Pilih melanjutkan infrastruktur atau pilih mengisi perut warga. Optimis karena pasar uang akan rukun dengan pasar barang. Pesimis karena nilai uang berbanding terbalik dengan harga barang. Dulu beli gula sekilo lima ribu, kini lima belas ribu, misalnya. Tetap saja dapur rumah enggan mengepul di pagi hari.
Apakah cara kerja ekonomi selama ini sesat dan cacat? Terlalu dini menjawabnya. Mari balik sejenak ke hal-hal mendasar. Pertama, apa kegiatan dasar manusia? Kerja, terus apa yang mendamaikannya? Pembagian kerja. dengan cara ini ekonomi di tata, afeknya ekonomi bekerja dengan cara yang sulit, produksi barang ugal-ugalan, harga terjungkal. Status kepemilikan enggan diatur dan dibatasi, misal nomor KTP mesti sama dengan nomor sertifikat tanah, rekening bank, nomor plat kendaraan, dan nomor pajak, agar mudah dipantau, alias tidak korup. Â
 Kedua, ekonomi berawal dari kata oikos dan nomos, rumah dan administrasi. Etimologinya persis dengan ekologi, jadi keduanya tentang rumah kita (Demiz Dutto, 2025, Medium). Faktanya penuh kontradiksi, alam rusak, material numpuk, kaya miskin jadi takaran. Sesatnya, konsumen otaknya rasional, memiliki akses lengkap, padahal tidak. Cacatnya, pasar dianggap dewa, sanggup mengobati dirinya sendiri. Saat barang mahal, konsumen mencari barang yang lebih murah, dengan harga dan biaya sebagai substitusi yang baik, katanya begitu.
Seandainya, definisi ilmu ekonomi tentang mengelola bumi, mungkin dapat mengubah kurikulum dunia pendidikan agar perilaku selaras dengan lingkungan, orientasinya kebahagiaan dan kesejahteraan emosional. Dengan begitu environmental ethic menjadi the new kinds of justice. Bukankah dunia mengarah ke situ, bukankah obrolan dan grammar dunia ramai mendiskusikannya di setiap cafe dan forum global. Â Â
Saya jadi ingat buku Etika Jawa, Romo Magnis Suseno, ada tiga syarat bahagia, akrab dengan manusia, lingkungan, dan alam gaib. Di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana sebagai tiga penyebab kemakmuran. Pemahaman saya jadi nambah, bahwa ekonomi sebagai tata kelola bumi telah lama mengendap dan bersemayam di rahim kultur. Mengabaikannya, sama saja dengan membunuh kultur sendiri. Dengan cara ini, ketidakpastian dalam berekonomi diredam dan dikurangi, kata teralienasi menjauh, mendekap ke ibu pertiwi, mengakar, dan membumi.
Narasi di atas, saya kemas dalam buku Tasbih dan Bandit edisi kedua, Cerita Doktor Dharma di Atap Bali. Mudah-mudahan bisa menambah khasanah berpikir, dan dibantah, karena pengetahuan yang bagus adalah pengetahuan yang terbantahkan dengan pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H