Letih dengan pertikaian masa lalu, membuat diri merasa kehilangan. Tak ada gunanya mengoreksi masa lalu, berziarah-lah ke masa depan. Kepergiannya tanda pengabdian, itu alasan mengapa diri dimaafkan.
Jangan pernah mengartikannya sebagai pramuria. Dirilah yang menentukan kiprah selanjutnya. Saat mengambil yang berharga, diri dipanggil musuh, saat memberi mahkota, dipanggil kawan. Jadi, diri adalah penjaga, penuh kemurahan dan kehangatan. Begitulah diri mendapatkan kehormatannya kembali di saat kesempatan lain mati.
Kepincut sebagai makhluk sosial, kadang diri tidak tahan dengan kesepian. Jaman berkata, kerumunan bertabiat saling balas membantu. Semacam multivitamin yang membuat diri jadi kebal dari serangan.
Di hadapan diri, pengorbanan bersinar terang menyinari kemenangan. Takdir menjaganya dari kutukan dan rintihan. Diri tidak membiarkan dirinya terbawa suka duka yang berlarut.
Saat ini bukanlah hari untuk menangis. Pelajaran satu-satunya yang selalu menemani perjalanan diri adalah semangat untuk tidak patah. Semangat yang berprofesi sebagai pengembara bukan pengembala.
Semangat yang tidak jatuh dari langit, namun semangat yang datang menyelinap untuk keluar dari lubang kepura-puraan. Telinga boleh berbohong, namun mata tidak boleh berkhianat.
Tak diragukan lagi, yang dibutuhkan diri adalah perempuan licik dan lelaki pemberani, agar semangat kokoh dan tegak, songsong masa depan gemilang. Ingat, tujuan jatuh untuk belajar bangun, berhentilah jatuh cinta, bangunlah cinta. Karena jatuh itu sakit. Ini yang buat tidur diri nyenyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H