Sebelum Senin yang Baik, Ada Minggu yang Buruk

Di hari khusus favoritnya, candu utang yang berusia lawas, gemar mengenakan piyama. Saat itu hari minggu, candu sangat gembira. Di antara piyamanya, ada hasrat konsumsi yang tebal. Terus memanggil, riuh, bergemuruh, dan meledak, pesan barang sana-sini, nikmati euforia. Karena kecanduan, sekali dalam seminggu, piyamanya dicuci di binatu dekat bandara internasional.

Candu mondar-mandir, mencuci bunga utang, baunya wangi. Katanya, utang bagus untuk tebar pesona, tidak jahat asal bijak mengelola. Sedikit demi sedikit, tuan Fahrenheit memainkan tingkahnya. Senin yang awalnya cerah, kini mendung.

Mimpi makin gelap, gelisah. Beberapa saat kemudian, saya mendengar gerak-gerik keadaan yang hampir rusak, mengeluarkan suara parau, berderak saat tidur. Patahannya berefek panjang, saya percaya ia membelok ke arah kesadaran yang bijak.

Untuk sesaat, kekecewaan menyelinap dan mengendap, lantas berlalu, terobati oleh kepantasan. Itu narasi yang sudah dinanti lama, tapi malu menampilkan dirinya. Setiap kali keadaan berbisik, ada sesuatu yang salah di hari Minggu. Mestinya holy, malah hell.

Saat candu mendekat, mulut berkata stop, walaupun pikiran jengkel. Ini latihan untuk melatih speaker keegoan. Ambilah sapu, mulainya menyapu kamarmu. Tidak mudah, perlu dicoba. Tatkala si buruk tiba, ucapkan silahkan lewat, jangan ditahan di pikiran, silahkan lewat. Lembut dan keras namun tidak kasar.

Untuk dapat berfungsi, tidak cukup hanya menunggu dan melihat saja, do it. Begitu cara kerjanya. Minggu punya sisi baik dan buruknya, begitu juga Senin. Minggu menentukan Senin. Lantas Senin menentukan Minggu selanjutnya. Pendeknya, Minggu adalah jembatan Senin. Interaksi di antara keduanya melekat, bagaikan lem super rekat, merias kesederhanaan, memoles kesalehan.

Terima kasih Minggu, terima kasih Senin. Kebaikan Senin tidak ada hubungannya dengan keburukan Minggu. Keduanya keadaan, keduanya kesadaran, keduanya adalah satu.