Mohon tunggu...
Cerita Doktor Dharma
Cerita Doktor Dharma Mohon Tunggu... Dosen - Ada benci dan cinta, siapa menang? Sering engkau beri makan

Setiap orang punya bukunya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malu Kata Uang

10 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:23 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pukul empat lewat tiga puluh menit, emak Budi ke pasar tradisional, beli sayur, tempe, tahu, ikan, bumbu, jajan, dan gula. Nafas tersengal, harga merangkak. Uang terlipat pucat di bawah selempang hijaunya, nunduk malu, karena pasar menunda keinginannya beli baju buat si kecil.

                        

Ternyata, nilai uang berbanding terbalik dengan barang, benar adanya. Mari ambil contoh, dulu beli gula sekilo, empat ribu, kini sepuluh ribu. Gulanya tetap sekilo, nilai uangnya terjungkal. Tanda dapur sulit mengepul, perut mengempes. Fakta hidup mengeras. Ajaib, betapa dahsyatnya dampak kenaikan harga terhadap guncangan rumah tangga.

Bila difungsikan, formulanya berbunyi, jumlah uang tidak sama dengan jumlah barang, ini yang menerangkan harga naik. Naik, karena hasrat berbelanja tidak diiringi dengan jumlah uang di kantong. Tabungan terkuras, utang menggali lubang barunya.

Pertanyaannya, apa alasan, emak-emak harus pegang uang? Jadi ingat semester satu di bangku kuliah dulu. Untuk transaksi, jaga-jaga dan spekulasi. Karena pendapatan tergerus kenaikan harga, transaksi mesti irit, jaga-jaga ditunda dulu, spekulan menjamur. Contoh, gaji sejuta, kenaikan harga sepuluh persen, jadi uang yang di bawa pulang sembilan ratus ribu, sisanya di makan rayap harga, inflasi namanya.

Terus, pilih pegang uang apa barang? Bagi si kaya, pilih barang, emas misalnya. Bagi si miskin pilih uang, perut keroncongan. Ini menjelaskan, kebutuhan dan keinginan itu beda. Contoh lagi, bagi si kaya, beras adalah keinginan, bisa beli yang lain, roti (substitusi beras). Bagi si miskin, beras adalah kebutuhan. Namun, tatkala sakit flu, si kaya dan si miskin beli obat yang sama, harganya pun sama. Niscaya, kesenjangan menganga, liuk penari (budaya) menipi, alias sepi.

Agar budayawan berkarya, dan penari mau menghibur lagi, kegiatan dasar mesti digiatkan, apa itu? Mikronya, kerja, makronya ekonomi. Bila tangan kanan (ekonomi) meriah, tangan kiri penari pasti tampil elok. Jangan dibalik, nanti kacau, malu kata uang. Biarkan narasi budaya lewat kritikannya menghiasi hiruk pikuk pasar, lewat lukisan, lewat lagu, dan lainnya. Dengannya, distribusi pendapatan berkeadilan menerjang, akumulasi memproduksi kemakmuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun