Setiap dapur punya tragedinya sendiri. Tidak ada yang lebih dibenci dapur selain mendapatkan garamnya yang hilang, breakfast, jauh dari kata berkecukupan. Dikatakan tragedi, tatkala dapur tidak mengepul. Ikan, kol, telor, dan tempe enggan bertegur sapa dengan merica, ketumbar, dan jahe. Pisau, kompor, dan wajan menampakkan wajah buram.
Sekarang pukul delapan pagi pada hari Senin. Aku pusing, malas beranjak dari ranjang, perut kosong. Tidak begitu yakin mengenakan seragam sekolah. Ini menyedihkan dan pahit, dan aku baru mengetahui, orang tua-ku berantem kemarin, gaji papa dipotong setengah, ada sesuatu yang salah di hari Minggu.
Penyesalan melampaui ambisiku. Seingatku, dapur itu tempat percobaan tentang apa pun, kecuali cinta. Karena cinta, sumber segala definisi. Dapur bukan potongan-potongan peristiwa, dia klise keadaan, yang tidak terhalang oleh kejujuran.
Aku merenung, kemiskinan di ujung lidah. Aku miskin karena berpikir miskin, ataukah apa. Aku galau, dan kembali memanggil Google. Aku search, ternyata kemiskinan bisa diproduksi oleh culture, tatkala upaya dan usaha dibelenggu. Miskin karena struktur juga ada, tatkala jerih payah di ekploitasi miring. Aku menghela nafas, bibir kubuat mekar sedikit, ternyata miskin itu pilihan, yang sanggup memberantakkan semuanya. Aku tergelitik dengan padangan teologi, kemiskinan berujung pada kebahagiaan.
Sejenak aku lega, begitu banyak reputasi dapur sebagai aset yang paling berharga. Tanpanya, rumah hanya bongkahan batu dan semen. Dapur sebagai tempat pembantaian, tatkala benar-benar kesepian. Dianggap sains, tatkala terhibur cinta dan gairah. Pendeknya, dapur berselimutkan misteri.
Aku mencoba meletakkan optimisme dan pesimisme dapur pada kedudukannya yang sama, itu yang aku dapat di bangku sekolah sebagai calon master, imajinasiku. Pikiran dapur baik sebagai kawan, buruk sebagai lawan, aku enyahkan. Ini terjadi karena baik memproduksi buruknya sendiri. begitu juga sebaliknya, buruk memproduksi baiknya sendiri.
Dengan cara itu, aku ke kamar mandi, siap-siap tampil cantik, walaupun perut kosong. Rambut kukepang jadi dua, pupur aku oleh ke pipi, seragam merah putih dikenakan, sepatu hitam kaos kaki kukenakan. Dada kubusungkan ke depan. Aku sadar, di depan ada "hope". Kehangatan namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H