Saya tidak tahu apakah tulisan saya kali ini termasuk up to date atau tidak, dan saya juga tidak yakin apakah judulnya juga sudah sesuai atau belum. Biarkan sajalah, siapa tahu berguna. Dan semoga saja para pembaca bisa mengambil pelajaran dari artikel saya ini. Tapi ya kalau hanya dijadikan bahan bacaan juga tidak apa-apa. Jadi begini. Beberapa waktu belakangan ini, saya sering mendengar keluhan yang dilontarkan oleh beberapa teman dekat. Keluhan mereka rata-rata sama: mengeluh tentang pekerjaannya yang bergaji kecil, ternyata pekerjaan tersebut bukan di bidang yang dikuasainya, sampai stres dan frustrasi sendiri karena target yang ditentukan oleh perusahaan. Dan kebanyakan dari mereka ujung-ujungnya pasti selalu mengeluh bahwa mereka seperti diperah, ingin resign, dan mencari pekerjaan baru yang lebih 'layak'. Kata 'layak' yang mereka ucapkan itu kemudian mengusik saya. Apakah tolok ukur yang bisa dikategorikan sebagai 'layak'? Gaji yang diperoleh setiap bulannya? Fasilitas? Suasana kerja? Teman-teman sekerja yang berada di frekuensi yang sama? Jarak yang terbentang antara tempat tinggal dan tempat bekerja? Atau malah bidang pekerjaan yang lebih sesuai dan manusiawi? Ketika saya tanyakan perihal tolok ukur itu, jawaban mereka pun rata-rata serupa: jumlah gaji yang diterima setiap bulannya dan bidang pekerjaan yang seimbang alias tidak 'kerja rodi'. Mendengar itu, saya hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi gaji dan kerja rodi yang dipermasalahkan. Entah sudah berapa kali saya mendengar keluhan tentang pekerjaan yang hanya berkisar di kedua hal tersebut. Sebenarnya wajar-wajar saja sih kalau mereka berkata seperti itu, realistis, dan memang kita juga harus berpikiran ke sana. Hanya saja, yang sedikit mengganjal adalah, fakta bahwa teman-teman saya yang mengeluh itu adalah para fresh graduate yang belum punya pengalaman sama sekali. Dan mereka adalah korban dari pendidikan koplak yang seperti lingkaran setan: SMA masuk IPA karena gengsi orangtua, kuliah mangkir ke jurusan SOSIAL supaya bisa masuk perguruan tinggi dengan mudahnya, dan melamar pekerjaan ke perusahaan MANA SAJA asalkan mereka bisa diterima bekerja dengan cepat (mengingat mencari kerja itu susahnya minta ampun di masa sekarang ini.) Memang, kita bisa saja belajar sesuatu yang baru di dunia kerja, seperti ilmu bidang pendukung kerja dan kemampuan yang juga mendukung pekerjaan tersebut. Misalnya saja, seorang lulusan sastra tapi bekerja di bank, yang harus belajar akuntansi serta ekonomi makro dan mikro. Yaaa, belajar itu tidak sulit sih. Tapi, bukankah itu mubazir namanya? Karena ilmu yang dipelajari di masa kuliah bisa saja menjadi sesuatu yang sia-sia karena tidak bisa diaplikasikan langsung di dunia kerja? Kalau menurut saya, itu mubazir. Kenapa? Ya buat apa capai-capai kuliah empat sampai lima tahun, tapi akhirnya ilmu itu jadi tidak terpakai? Bukankah itu hanya membuang-buang uang dan waktu namanya? Dan kalau dipaksakan, rata-rata hasil akhirnya ya seperti itu: bidang baru yang tidak sesuai yang membuat kita harus belajar lagi dari awal, sementara target dari perusahaan terus menumpuk (dan kita juga masih keteteran mempelajari bidang baru tersebut, belum kalau otak sempat nge-hang terus korslet akibat bingung mana yang mau dipelajari lebih dulu), kemudian karena banyak target yang tidak tercapai lalu jadi stres dan frustrasi, dan akhirnya terus mengeluh dan resign muncul sebagai jawaban pamungkas. Negara Ketiga, Keseimbangan Antara Gaji dan Kuantitas Kerja Kemudian, beralih ke masalah gaji. Kebanyakan dari teman saya ini rata-rata mengeluhkan tidak seimbangnya gaji dengan jumlah pekerjaan yang harus mereka lakukan di kantor. Istilahnya, walau sudah kerja rodi, tapi gaji yang diperloleh tidak seberapa. Tidak sebanding dengan living cost, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, saya hanya bisa menghela napas. Terkait hal ini, saya bilang wajar-wajar saja kalau keadaannya seperti itu. Mengapa? Itu karena Indonesia ini masih termasuk negara berkembang. Bahkan banyak media asing yang menyebutkan bahwa Indonesia masih termasuk third world country, alias negara miskin. Karena predikat tersebut, maka sebagai akibanya, tenaga kerja asal Indonesia itu nilainya masih 'sangat murah' di antara negara-negara lain. Sebagai perbandingan saja, tenaga guru di Amerika dengan tenaga guru di Indonesia, bedanya sangat jaaaauh sekali. Bahkan bisa dibilang jomplang. Kenapa? Ya karena mereka itu negara maju, dan kita ini masih negara berkembang (Atau miskin? Pilih saja salah satu). Lalu bagaimana dengan jumlah pekerjaan yang tidak manusiawi dan sering kali dianggap sebagai kerja rodi pasca modernisme? Terkait hal ini, saya hanya bisa bilang: itu risiko pekerjaan bung. Kalau yang namanya merintis karier dari bawah, ya pasti harus menghadapi situasi yang seperti itu. Kerja rodi, berkejar-kejaran dengan target yang terkadang juga tidak manusiawi, menyesuaikan dengan bidang baru (dan sambil dikejar-kejar target), dan lain sebagainya. Kalau mau yang enak, ya itu nanti kalau sudah memegang jabatan tinggi dalam perusahaan. Utopia Para Fresh Graduate Satu hal yang bikin saya lebih heran lagi adalah, apakah mereka sadar, kalau mereka itu baru fresh graduate? Lulusan baru yang notabene selalu diidentikkan sebagai orang yang masih hijau dan minim pengalaman di dunia kerja? Lagi pula, apakah mereka sadar, dengan keadaan bahwa para pencari kerja itu rata-rata pada banyak yang salah jurusan seperti yang sudah saya kemukakan di atas? Sarjana sosial, masuk ke perusahaan yang bidang pekerjaan di sekitaran angka-angka? Dengan spesifikasi dan asumsi seperti itu, saya bisa bilang wajar saja kalau perusahaan menerapkan gaji yang dianggap 'tidak layak' oleh mereka. Dan karena mencari pekerjaan itu sulit, mereka biasanya mau tak mau menerima pekerjaan tersebut. Lantas ketika menghadapi kenyataan di dunia kerja, mengeluh dan ingin resign lagi. Duh! Situasinya akan lain kalau si pencari kerja sudah punya pengalaman kerja minimal satu tahun (biasanya bisa diperoleh dengan cara magang), rajin ikut organisasi, punya keahlian tertentu yang spesifik dan tidak dimiliki oleh orang lain, dan punya jaringan koneksi ke para profesional yang bisa membantu untuk memperlancar pekerjaan. Kalau begitu situasinya, maka secara otomatis nilai jual dan bargaining position pun akan naik. Lha ini? Pengalaman tidak ada, baru juga lulus, tidak punya bekal apa-apa, mau langsung enak dan gaji besar? Saya cuma bisa tepuk jidat. Utopia itu bukan di dunia nyata Bung! Lantas lingkaran setannya di mana? Ya kalau dapat pekerjaan baru, tapi hanya mengincar besaran gaji dan keseimbangan kerja, ujung-ujungnya saya yakin pasti tidak akan jauh berbeda karena tidak akan ada perusahaan yang bisa menyeimbangkan kedua hal tersebut. Yang ada juga kita yang menyeimbangkan sendiri. Lalu bagaimana kalau ada yang bisa bilang, teman saya kerja di perusahaan asing, rekan kerjanya bule, gajinya besar, kerjanya tidak rodi, hidupnya enak, dan lain sebagainya lagi? Terkait hal itu, saya cuma bisa bilang: Sampeyan punya spesifikasi buat kerja di perusahaan asing tidak? Punya kemampuan yang mumpuni untuk bersaing di bursa kerja internasional tidak? Bisa memenuhi minimal nilai TOEFL 625 yang diperoleh tanpa harus sewa joki tidak? Bisa bahasa asing aktif di lapangan tidak? Dan lagi pula, apakah yakin teman Anda itu jujur pada Anda? Karena yang saya yakin adalah: setiap pekerjaan punya risikonya masing-masing. Yakin kalau mereka itu benar-benar jujur, dan tidak hanya menyampaikan yang enak-enaknya saja pada Anda? Hehehe. Ironis ya? Ketika Konsistensi Membuahkan Hasil Ada dua macam pekerjaan di dunia ini: pekerjaan yang baik, dan pekerjaan yang buruk. Dan sadar atau tidak, kita sendirilah yang membuat suatu pekerjaan itu menjadi pekerjaan yang baik, atau malah pekerjaan yang buruk. Percaya? Percaya saja, karena saya telah membuktikannya sendiri. Terus terang, saya sebenarnya juga korban dari pendidikan koplak. Dulu ketika saya SMA, seharusnya saya masuk jurusan sosial karena saya sadar diri bahwa saya tidak mampu untuk bergelut secara total di bidang eksakta. Kemampuan IPA yang saya miliki pun hanya di bidang Biologi dan Kimia, yang notabene lebih manusiawi daripada Matematika dan Fisika. Saya tidak bilang kalau Matematika dan Fisika itu buruk. Tidak ada ilmu yang buruk. Tapi saya memang tidak suka bidang itu. Lagi pula minat terbesar saya justru di bidang Bahasa karena saya sering menulis blog atau sekadar catatan di Microsoft Word. Tapi, karena kasihan dengan mendiang kedua orangtua, akhirnya saya membulatkan tekad untuk masuk jurusan ilmu alam, dan akhirnya bisa ditebak. Satu tahun terakhir di SMA itu bagaikan mimpi buruk. Angka nol sering kali bertengger di lembar kertas ulangan Matematika, dan angka empat juga sering bertengger di lembar kertas ulangan Fisika. Hanya di Kimia dan Biologi saja saya bisa bertahan, walau hanya dengan sekadar angka tujuh dan delapan. Akhirnya, ketika ujian datang, saya hanya bisa mengandalkan kesetiakawanan yang saya barter dengan kemampuan saya di bidang ilmu Bahasa yang masuk ke dalam kurikulum, yaitu Bahasa Inggris (yang selalu dapat nilai minimal 8,5) Selepas SMA, saya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Saya memilih untuk masuk kuliah di jurusan Sastra Inggris, dan bertekad untuk total di bidang itu. Ketika saya kuliah, saya mengembangkan sayap, menguasai keterampilan penerjemahan, membuka relasi-relasi baru dengan penerjemah-penerjemah senior, dan ikut terjun langsung praktik di dunia penerjemahan. Walau dapat uang yang nominalnya tidak seberapa, tidak masalah. Karena relasi dan hubungan baik itu lebih bernilai dari sekadar nominal uang yang diterima. Ketika bekerja, saya pun bertekad kembali untuk tidak melakukan kesalahan yang sama ketika saya SMA dulu. Walau ada banyak perusahaan bonafide yang membuka lowongan, tapi saya bertekad dalam hati tidak ingin mencari pekerjaan yang bukan bidang saya. Namun, tekad saya itu baru terjawab hampir genap satu tahun semenjak saya lulus kuliah. Dan selama menunggu itu, saya kembali melebarkan sayap di bidang penerjemahan, sambil iseng-iseng menyebar lamaran ke perusahaan internasional. Memang betul, saya juga termakan godaan itu. Pada waktu itu saya melamar ke maskapai penerbangan nasional di Indonesia, bank yang bermarkas besar di Jepang, perusahaan food manufacture yang bermarkas besar di Swiss, perusahaan rokok yang bermarkas di Surabaya, bank terbesar di Indonesia (dari hasil merger empat bank utama pas krisis moneter 1998), dan lebih banyak lagi. Tapi entah mengapa, peruntungan saya berhenti sampai tahap interview (Bahkan yang di bank Jepang itu saya sudah wawancara langsung sama user-nya, yang asli orang Jepang, dan bicaranya kumur-kumur.) Tapi, ya memang sepertinya rezeki saya bukan di situ. Akhirnya saya sadar, dan kembali ke selera asal. Bidang bahasa, dan segera memasukkan lamaran ke salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia, yang dimiliki oleh Pak Jakob Oetama. Walhasil, sudah hampir satu tahun saya menuntut ilmu sambil dibayar di salah satu anak perusahaannya. Saya dekat dengan buku-buku bagus, tidak mangkir dari bidang bahasa, dan saya menyukainya. Belakangan ini saya sering berpikir (setelah mendengar sekian banyak keluhan dari teman-teman saya itu), apa jadinya kalau saya mangkir dari bidang yang saya cintai? Akankah nasib saya menjadi seperti mereka, yang belum tiga bulan sudah mengeluh ingin resign? Entahlah, saya tidak tahu. Yang jelas, saya tidak mangkir, saya konsisten, dan saya bersyukur atas hal itu. Tidak ada nikmat-Mu yang kudustakan, ya Rabb. Do What You Love, Love What You Do, Money Follows, and Be Grateful Ungkapan itu bukan tanpa makna, karena ungkapan itulah yang menyelamatkan saya dari pekerjaan yang saya anggap buruk (karena tidak sesuai dengan bidang saya), dan mungkin juga dapat menyelamatkan Anda dari pekerjaan yang buruk. Tadi sudah saya kemukakan bahwa kita sendirilah yang membuat pekerjaan itu menjadi sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, saya rasa ungkapan itu menemui pembenarannya di sini. Do what you love, love what you do, money follows; sederhana, tapi maknanya luas. Saya senang dengan buku, saya cinta dunia bahasa, dan saya sangat menyukai pekerjaan saya di perusahaan tempat saya bekerja sekarang ini. Keahlian linguistik saya menjadi kian terasah, saya punya akses yang tidak terbatas untuk menyerap ilmu dari buku-buku bagus yang diterbitkan oleh perusahaan saya, saya punya akses untuk belajar dari editor-editor senior, saya punya akses untuk bertemu penulis-penulis top, saya punya akses untuk bertemu dengan public figure papan atas, saya bisa menjalin hubungan relasi dengan orang-orang hebat, dan saya bekerja di perusahaan konglomerasi terbesar di Indonesia. Kurang apa lagi?
- http://www.humanresourcesmba.net/job-stress/stressful-job.jpg
- http://blog.beaumontenterprise.com/bayou/files/2010/05/irony.jpg
- http://www.palsgaard.com/media/94020/heart-working-people.png
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H