Hmmm... Saya sering dibilang borju dan sombong oleh teman-teman yang belum kenal dekat dengan saya, gara-gara kedapatan punya barang bermerek dan orisinal. Misalnya saja PC, laptop, ponsel, bahkan sampai kacamata hingga sepatu. Well... sebenarnya saya bukan sombong, borju, atau brand-minded, tapi lebih karena saya percaya bahwa merek berjalan seiring dengan kualitas.
Penafian: merek-merek yang saya sebutkan ini hanya sekadar contoh yang saya alami dan pakai sendiri. Tidak bermaksud untuk mengiklankan atau mempromosikan merek tertentu. Dalam pembuatan tulisan ini, saya tidak berafiliasi dengan pihak mana pun.
Bermerek = Awet? Setiap barang yang bermerek pasti membawa nama besar merek yang menempel di setiap produknya, dan hal tersebutlah yang membuat barang bermerek lebih mahal harganya dibandingkan dengan barang yang masuk dalam kategori 'biasa-biasa' saja. Nah, lantas kenapa barang bermerek harganya bisa lebih mahal? Karena mereka menawarkan janji 'keawetan' dan 'masa pakai' yang lebih panjang daripada barang yang bukan bermerek. Masa pakai, itulah imbal hasil yang akan saya dapatkan ketika membeli barang bermerek. Kalau barang biasa hanya punya masa pakai sekitar satu tahun rusak, barang yang saya punya rata-rata punya masa pakai di atas lima tahun (dengan pemakaian normal dan tidak dipaksakan lewat ambang batas maksimum yang dimiliki oleh barang tersebut). Ketika teman-teman saya itu sudah berganti-ganti barang karena yang lama sudah rusak, saya masih tetap setia dengan barang bermerek yang saya beli itu. Mereka pun bertanya lagi, "kok punya lo masih awet aja sih?" Kalau sudah begitu, dengan cengiran lebar saya akan bilang, "Karena barang gue bermerek. Jadinya ya awet." Belum sempat mereka membalas, saya potong lagi, "Sekarang, kalo dipikir-pikir, lo udah berapa kali ganti? Kayaknya tiap tahun lu ganti itu barang... Duitnya keluar lebih banyak dong? Kalo gitu, siapa yang borju? Hehehe." Sejauh pengalaman saya dalam menggunakan barang bermerek, ya, saya bisa buktikan sendiri bahwa barang bermerek memang jauh lebih awet daripada barang yang tidak bermerek. Lagipula, barang bermerek lebih berani dalam menawarkan garansi. Biasanya garansi yang mereka tawarkan adalah minimal satu tahun dan maksimal 5 tahun. Tergatung jenis barang yang Anda beli. Dan apabila ada cacat yang tidak kelihatan dalam masa pembelian, mereka tidak segan-segan untuk menggantinya dengan barang baru bila Anda mengajukan klaim. Bermerek = Irit? Ini juga salah satu hal yang membuat saya lebih senang menggunakan barang bermerek. Saya bisa lebih irit! Tidak percaya? Coba mari kita hitung ya. Kalau kita coba lihat dari sisi keawetan, sudah jelas iritnya. Bayangkan Anda membeli barang yang tidak bermerek. Seperti yang saya bilang tadi, karena barang yang Anda pakai itu tidak bermerek, Anda terpaksa harus menikmati siklus masa pakai yang lebih pendek. Kasarnya, kalau dengan barang bermerek Anda bisa memakai maksimal 5 tahun baru rusak, ini belum 1 tahun sudah rusak. Kalau dibandingkan, bermerek, 5 tahun baru ganti sekali; tidak bermerek, selama 5 tahun ganti lima kali. Tinggal kalikan harga produk yang dibeli, dan jangan lupa kenaikan tingkat inflasi. Saya berani jamin kalau Anda akan keluar lebih banyak uang ketika memakai barang yang tidak bermerek. Contoh lain? Hmmm... Kita pakai analogi parfum saja deh ya. Parfum? Iya, parfum. Seperti tas, parfum juga ada yang KW-an. Ada KW-3 sampai KW-1, sampai KW-Super. Tapi, tentu saja ada yang orisinal dong? Nah, bicara soal parfum, dulu saya pernah pakai parfum asli Dolce & Gabana yang saya beli di Plaza Senayan seharga Rp600.000,- Mahal? Memang, tapi apa yang saya dapatkan? Saya baru menghabiskan parfum itu setelah hampir 2 tahun. Lebay? Enggak juga, dan itu benar adanya. Kenapa bisa selama itu? Itu karena kalau parfum asli, cukup dua atau tiga kali semprot (semprot dari jarak dekat dari permukaan baju), wanginya tahan berhari-hari. Bahkan sampai dicuci pun masih meninggalkan baunya. Nah, karena wanginya tahan bahkan setelah dicuci sekalipun, otomatis saya tidak perlu semprot lagi karena bau 'sisa' semprot kemarin masih ada. Kalau dihitung, dua sampai tiga kali semprot itu wanginya bisa tahan 2-4 hari. Dalam seminggu, paling saya maksimal 2 kali semprot baru. Otomatis? Irit! Tentu ini berbeda dengan parfum-parfum KW-an (yang kalau bukan KW-Super dan bibitnya bagus) yang sampai tengah hari juga sudah pudar wanginya. Begitu juga dengan parfum merek lain seperti DaviDoff, Calvin Klein, Hugo Boss, dan Bvlgari yang juga saya beli orisinal. Rata-rata itu parfum habis dalam jangka waktu yang sama dengan si D&G, karena saya gak pakai terus-terusan. Irit, jelas! Bahkan yang Hugo Boss masih ada beberapa mili tuh... buat dijadikan pewangi lemari.. Hehehe.
Bermerek, Sayang Diri Sendiri? Hmm... kalau wilayah ini saya tidak bisa berspekulasi. Mungkin ada yang setuju, mungkin ada yang tidak. Mungkin juga ada yang abstain. Tapi, yang jelas, bagi Anda yang sangat memerhatikan kebutuhan dan kenyamanan tubuh dalam menjalankan aktivitas, saya bisa bilang menggunakan barang bermerek itu adalah bentuk dari praktik menyayangi diri sendiri. Contohnya? Saya sendiri saja, nggak usah jauh-jauh. Buat saya, ada beberapa barang yang memang saya pastikan harus bermerek, karena kalau tidak bermerek, maka itu akan memberi pengaruh merugikan bagi kesehatan tubuh saya dalam jangka panjang. Salah satunya adalah kacamata. Kenapa kacamata? Karena benda ini adalah kebutuhan saya yang paling basic untuk bisa menjalani aktivitas sehari-hari. Sedari kecil, mata saya sudah terkena minus. Dan sedari kecil pula, saya telah diharuskan untuk memakai kacamata. Nah, bicara soal kacamata, saya juga menggunakan kacamata yang bermerek. Kacamata yang saya pakai biasanya bermerek Oakley. Kalau Anda lihat foto profil saya di Kompasiana ini, ya itu juga kacamata merek Oakley yang sudah saya pakai lebih dari lima tahun. Awet ya? Iya, framenya memang awet, sejauh ini saya hanya mengganti lensanya saja. Mahal dong? Pastinya. Untuk kacamata ini, jujur saja, saya menghabiskan biaya Rp1,5 juta untuk framenya saja, yang bermerek Oakley orisinal. Sementara itu untuk lensa saya menghabiskan biaya sekitar Rp2 juta untuk sepasang. Tapi, apa yang saya dapatkan?
- Frame kacamata yang tahan banting. Mau saya pakai baca sampai ketiduran, jaminan nggak bakalan bengkok atau patah, karena terbuat dari titanium asli. Bahkan ketika saya jatuh dari motor pun itu kacamata hanya terlepas, tidak pecah, tidak patah, tidak kendur sama sekali bautnya. Ajaib? Memang. Lagi pula itu kacamata bisa tetap diam di tempatnya (di tulang hidung) dan tidak merosot dengan tiba-tiba.
- Kepadatan lensa yang diukur secara presisi. Kenapa harus presisi? Karena kalau asal-asalan, itu akan berpengaruh langsung pada mata Anda. Kalau Anda menggunakan kacamata dan harus mengalami masa transisi dari kacamata lama ke kacamata baru, pasti Anda pusing-pusing kan? Nah, kalau itu tukang kacamatanya mengukur kepadatan lensa dengan benar dan presisi, dijamin masa peralihannya akan singkat saja dan dalam jangka panjang mata Anda tidak akan cepat lelah, tidak akan cepat pusing, dan menstabilkan nilai minus mata Anda.
- Masa pakai. Untuk masa pakai frame Oakley ini total saya menghabiskan waktu lebih dari lima tahun. Pertama kali pakai ketika kuliah awal tingkat dua, dan diganti dengan frame baru di pertengahan tahun 2012 kemarin.
Lantas, Apakah Saya Beneran Borju? Tidak juga. Saya bukan orang borju, mendiang orangtua saya juga orang biasa. Sekarang saya pun masih jadi pegawai biasa. Tapi, kenapa saya bisa membeli barang yang rata-rata bermerek? Mudah saja, saya menabung sampai cukup. Kalau uangnya belum ada, ya saya diam saja, nggak beli apa-apa. Itulah yang nggak diketahui oleh semua orang, dan kalaupun ada yang tahu, nggak dipraktikkan. Hayo, ngaku saja deh?! Hehehe. Selain itu saya juga nggak pernah pakai kartu kredit! Ngapain? Ngutang kok dipelihara?! Selain itu, saya juga rajin cari barang bermerek, tapi diskon. Dalam bisnis, mau barang yang bermerek ataupun tidak, pasti juga ada masa jenuhnya. Biasanya produsen pun menjalani ritual yang sama supaya stok barang bisa dialirkan dan arus kasnya mengalir lagi: diskon atau cuci gudang. Dengan demikian, saya bisa punya barang bermerek dengan kualitas bagus dan dengan harga miring. Sebagai contoh, beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli sepatu bermerek Reebok di sebuah toko di sebuah mal di Cihampelas, Bandung. Biasanya, untuk membeli sepatu, dana yang saya sediakan adalah sebesar Rp700.000,- karena kaki saya memang berukuran besar (ukuran 47, Eur). Kebetulan, sepatu lama saya sudah saatnya pensiun, sudah dipakai sejak kuliah tingkat 2 juga. Nah, ketika itu saya melihat ada toko yang cuci gudang. Penasaran, saya tanya saja. Ternyata ada tipe yang saya cari, ukurannya ada, dan sedang diskon setengah harga! :D Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung beli 2 sepatu Reebok, dengan total 700.000 rupiah saja. Kalau tanpa diskon saya harusnya menghabiskan uang sebesar Rp1.4 juta untuk dua pasang sepatu. Nah, apakah awet? Tentu saja awet karena pemakaian saya normal dan tidak ekstrem. So, What's The Point? Jangan berpikiran sempitlah... Nggak semua orang yang punya barang bermerek itu berasal dari kaum borjuis... Orang-orang yang semacam saya ini memang benar-benar paham kualitas yang ditawarkan, butuh dengan kualitas tersebut, dan memahami bahwa dengan menggunakan barang yang sudah bermerek dari saananya, kami bisa menghemat lebih banyak pengeluaran. Bukan karena ikut gaya-gayaan atau apalah namanya. Pokoknya, kalau Anda benar-benar mengerti kurva masa pakai barang, mungkin Anda bakal setuju juga dengan saya. Memang sih, butuh pembiasaan untuk bisa mengerti pola pikir yang semacam ini. Tapi yakinlah, kalau Anda sudah menemukan esensi dan fungsi dari menggunakan barang bermerek. Saya bisa jamin Anda tidak akan rugi. :) Tapi, yah, kalau Anda tetap tidak setuju karena punya ilmu buat cari barang berkualitas (walau tidak bermerek) dan dengan harga miring, bolehlah bagi-bagi ilmunya... :) Sumber gambar: di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H