Setiap hari, aku melewati jalan ini. Saat pagi, siang, dan setelah malam menggantikan hari yang amat lelah. Pemandangan di jalan ini menyesakkan dada. Ketika hujan ataupun terik matahari. Tidak ada bedanya. Suasana tetap membuatku bersedih. Sangat sedih!
Setiap pagi, aku menyaksikan seorang kakek dan perempuan tua mengorek-korek sampah yang bertumpuk di pinggir jalan sebelah timur, sebelum akhirnya diangkut oleh petugas. Sungguh, hal itu mengoyakkan relungku. Siapa mereka? Di mana rumahnya? Ke mana sanak saudara atau anak-anaknya?Â
Entah! Aku bahkan tidak tahu asal usul keduanya. Apa hubungan mereka? Aku juga tidak tahu. Yang kulihat, kakek dan perempuan usia sekitar 50 tahun ke atas itu, kerap bersama usai mengumpulkan botol serta sampah lainnya. Kadang-kadang, aku melihat mereka saling menyuapi. Makan nasi bungkus dengan lahapnya.
Saat siang, setelah pergantian sif, aku melewati jalan ini lagi. Di sana, di samping kedai tak berdinding itu, seorang perempuan tertidur pulas dengan kondisi badan jauh dari kata bersih. Ia tak bisa berteduh di bawah atap itu dikarenakan sang pemilik berjualan di sana. Setelah pemilik menutup kedai di malam hari, barulah perempuan itu menggelar tikar di sana.
Sesekali, aku mencuri-curi pandang ketika melewatinya. Terkadang seperti maling; melirik ke kiri dan ke kanan diam-diam. Berharap tak ada seorang pun yang melihat saat hendak mendekati kakek dan perempuan tersebut.Â
Namun, apa mau dikata, jalanan ini milik umum. Siapa pun bisa melewatinya kapan saja. Terlebih, di perempatan jalan itu merupakan pangkalan ojek. Walhasil, keramaian menggagalkan setiap niatku untuk menghampiri mereka, dan memberinya sesuatu. Senyuman, sapaan ramah, atau mungkin sebuah tanya misalnya.
Ah, payah! Tak jarang aku marah pada diri sendiri. Marah karena tak bisa membantu. Marah karena tak bisa meringankan beban yang dipikul lelaki tua dan perepuan itu. Apa yang bisa dilakukan seorang gadis yang bahkan tinggal jauh dari orangtua? Berpenghasilan tak seberapa. Gaji bulanan yang didapat hanya cukup untuk makan dan bayar kostan saja. Sisanya tak sampai lima ratus ribu rupiah untuk disimpan dalam celengan atau buku tabungan.
Aku berharap ada orang kaya berhati mulia melihat mereka. Aku berharap ada orang baik berpenghasilan cukup mau menawarkan jasa. Karena sekarang, pemerintah hanya sibuk menggadai imannya. Tidak ada yang benar-benar peduli pada rakyat yang entah makan atau tidak. Aku berharap, setiap mata yang melihat mereka merasa iba dan tersentuh hatinya. Mau membantu meringankan hidup seorang kakek dan perempuan tua yang sama-sama pincang sebelah kakinya.
Oh ya, malam ini, aku melewati mereka lagi. Beberapa kali berniat mengajak mereka bicara. Bertanya banyak hal. Memberinya sedikit uang atau apa saja. Namun, aku selalu mendapati keduanya tertidur pulas di bawah atap tak berdinding, ketika pulang kerja malam. Bagaimana rasanya tidur di atas tanah hanya beralaskan tikar lusuh tanpa bantal atau pun selimut?Â
Terlebih, di musim hujan begini. Dingin! Aku rasa keadaannya sangat dingin. Tanpa selimut? Apa bisa? Nyamuk-nyamuk ganas pasti menghisap darah mereka. Gemericik hujan yang dihempas angin tentu menyentuh keduanya. Meski memang tak sampai kuyup, tapi tetap saja. Itu mengganggu istirahatnya.
Malam ini, aku berhasil memotretnya dari jauh. Setelah jalanan benar-benar sepi dari lalu lalang kendaraan. Sebenarnya, langkahku selalu berhenti di sana ketika pulang malam. Sejenak memandangi kedua wajah renta yang seperti tak memiliki beban apa-apa. Kemudian menepuk-nepuk dada sendiri. Menahan tangis yang hendak pecah. Menahan air mata dan membiarkan hatiku basah. Lalu kembali berjalan. Menoleh, dan berjalan lagi. Begitu seterusnya, sampai jalanan itu tak terjangkau.