Peran Literasi Digital dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Anak di Era Digital
Permasalahan seksual, khususnya di kalangan anak-anak, telah berkembang menjadi krisis global, terutama di era digital di mana akses internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2024, salah satu masalah utama yang mencuat adalah "eksploitasi seksual anak secara online", yang dikenal sebagai OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse).Â
Kasus-kasus ini meningkat dengan pesat, terutama karena banyaknya anak yang menggunakan internet tanpa pengawasan yang memadai. Di Indonesia, data menunjukkan bahwa pada paruh pertama tahun 2024 saja, terjadi lebih dari 7.800 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan mayoritas melibatkan korban perempuan
Tingginya angka kekerasan seksual anak di dunia maya disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor, salah satunya adalah "kurangnya edukasi tentang literasi digital" di kalangan anak-anak dan orang tua. Banyak orang tua yang masih menganggap bahwa membatasi akses internet di rumah sudah cukup untuk melindungi anak-anak mereka dari bahaya online. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks.Â
Anak-anak sering kali menjadi target predator online melalui media sosial, game online, atau platform streaming video. Bentuk-bentuk kejahatan seperti "grooming online", sexting, sextortion, hingga live streaming pelecehan seksual menjadi semakin marak.
Grooming online, misalnya, melibatkan pelaku yang membangun hubungan emosional dengan korban anak melalui interaksi digital sebelum akhirnya mengeksploitasi mereka secara seksual.
 Dalam beberapa kasus, pelaku memanfaatkan anonimitas dunia maya untuk memanipulasi korban dan membuat mereka merasa aman sebelum melakukan tindakan yang merugikan. Karena internet memungkinkan interaksi tanpa batasan fisik, kontrol terhadap aktivitas anak-anak di dunia maya menjadi lebih sulit dilakukan oleh orang tua maupun pihak berwenang.
Selain itu, OCSEA menjadi ancaman yang lebih besar karena "peningkatan aksesibilitas teknologi", baik dalam bentuk perangkat yang semakin terjangkau maupun jaringan internet yang luas. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam penegakan hukum, karena sering kali konten yang merugikan diproduksi dan disebarluaskan di luar yurisdiksi negara tempat tinggal korban atau pelaku. Oleh karena itu, kolaborasi antar negara dan lembaga penegak hukum internasional sangat diperlukan untuk menangani eksploitasi seksual yang bersifat lintas batas ini.
Di sisi lain, "kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif" juga berperan dalam maraknya kekerasan seksual, baik secara online maupun offline. Di Indonesia, pendidikan seksual di sekolah masih sering dianggap sebagai topik yang tabu, sehingga banyak anak remaja yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang kesehatan reproduksi, consent, dan bahaya eksploitasi seksual.
 Pendidikan seksual yang komprehensif sangat penting tidak hanya untuk mencegah kekerasan seksual, tetapi juga untuk membekali anak-anak dengan pengetahuan yang cukup agar dapat melindungi diri mereka sendiri.
Selain dari aspek pendidikan, pendekatan yang lebih proaktif juga perlu dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait melalui "pemberdayaan teknologi untuk perlindungan anak" Sebagai contoh, program "resiliensi digital" yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan organisasi seperti ECPAT bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak-anak dan orang tua tentang bahaya eksploitasi seksual online