Mohon tunggu...
Ramadhani Gumilar
Ramadhani Gumilar Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Unsoed Jurusan Ilmu Komunikasi 2010

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jual Beli Suara Pilkada

14 Juni 2012   16:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_194682" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi? Admin (Kantor Berita Antara/antarafoto)"][/caption]

Pemilihan umum kepala daerah ( pilkada ) akan memasuki babak baru. Pemilihan pemimpin baru untuk memimpin daerah akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Sekitar 1 bulan lagi, pemilu akan berlangsung di setiap daerah.

Sebagian besar, bakal calon telah meninjau dan terjun langsung ke ruang publik demi mendapat simpati masyarakat. Setiap bakal calon memiliki pandangan-pandangan tersendiri mengenai ihwal yang harus dibenahi dalam jangka waktu terdekat. Sasaran para politisi kebanyakan ialah pedagang pasar atau kalangan menengah ke bawah.

Kalangan ini masih samar-samar bahkan buta mengenai politik. Selain itu, masyarakat kalangan menengah ke bawah lebih cepat merespon komunikasi politik yang dijalankan calon pemimpin. Yang paling dikhawatirkan, terjadi politik uang.

Bukan hal tabu bila politik uang telah mengakar di setiap rongga masyarakat kaum bawah. Masyarakat kalangan menengah ke bawah menjadikan masa kampanye sebagai momen untuk meraup sejumlah rupiah dari para bakal calon. Tim sukses memanfaatkan keterbatasan ekonomi masyarakat sebagai cara menggiring masyarakat untuk memilih calon yang diinginkan. Tim sukses menjadi perantara negosiasi terselubung pembelian suara ini.

Modus kampanye paling gencar dilakukan ialah dengan cara bekerja sama dengan karang taruna di daerah-daerah dan bernegosiasi mengenai kesepakatan pembelian suara. Biasanya tim sukses mematok jumlah suara yang dibutuhkan, sedangkan karang taruna meminta imbalan berupa sejumlah uang. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilakukan. Mengingat praktek ini berlangsung terus-menerus dan tidak terendus aparat hukum.

Permainan politik ini begitu rapi dan tertutup rapat-rapat. Hal ini karena adanya aktivitas keagamaan yang menutupi praktek ini. Prosedurnya dengan mengadakan acara pengajian, dan bakal calon pemimpin diundang sebagai pembicara pengajian. Setelah berakhirnya pengajian, terjadilah kesepakatan kedua belah pihak mengenai pembelian suara. Praktek jual beli suara ini tentu tidak etis. Mengingat negara ini terus mengumandangkan anti korupsi, sementara praktek suap terus menggelayuti setiap elemen masyarakat. Ironisnya, praktek ini berlangsung setelah kegiatan keagamaan. Sungguh di luar nalar!

Panwaslu mencatat, selama periode 2011 ini tercatat jumlah pelanggaran politik uang sebanyak 367 kasus. Angka ini hanya sebagian kecil saja, belum kasus-kasus yang tersembunyi dan tidak terungkap. Dari catatan panwaslu, bujukan kepada pemilih untuk mencoblos pasangan calon tertentu dalam bentuk uang sejumlah Rp 5.000 – Rp 20.000 per orang. Ataupun berbentuk doorprize, pakaian hingga bahan makanan pokok.

Keterbatasan masyarakat akan ekonomi yang memadai dijadikan peluang oleh calon pemimpin untuk menguasai hak pemilih. Sebagian besar masyarakat Indonesia tergolong miskin dan berpendidikan rendah. Maka dari itu, praktek politik uang begitu mudah terjadi.

Demokrasi yang didengungkan seakan hanya pepesan kosong belaka. Nyatanya, dalam prakteknya masih saja melenceng dari visi awal. Politik uang merajalela dari skala nasional hingga daerah. Maka, tak heran apabila negara ini sulit keluar dari predikat negara korup.

Jika ditinjau ulang, ada beberapa fakta yang bisa dikaitkan mengapa korupsi merajalela di negeri ini. Pertama, mahalnya modal untuk menjadi seorang pemimpin. Akibatnya, pemimpin mencari tambahan penghasilan untuk menutupi modal kampanye dengan cara korupsi. Kedua, masyarakat terlalu acuh tak acuh menentukan pilihan. Bukan rahasia lagi, bahwa pilihan akan jatuh pada pemberi suap terbesar. Tak ayal, pilkada sering dilanda kericuhan. Karena bakal calon merasa terkhianati oleh masyarakat yang enggan memilih walaupun telah disodorkan sejumlah uang.

Menjadi seorang tokoh politik di negeri ini sungguh mahal harganya. Jika bukan keturunan bangsawan atau keturunan pemimpin terdahulu, jangan berharap bisa duduk di singgasana penguasa. Sebaik apapun calon pemimpin di negeri ini, sulit menghindari sistem yang ada. Akhirnya terjerembab pula dalam permainan politik yang tidak sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun