Pembubaran ibadah Kristen masih menjadi masalah serius dan mencerminkan tantangan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pelayanan gereja semakin terganggu akibat penolakan komunitas tertentu atau tidak adanya izin tempat ibadah, padahal umat Kristiani sudah bertahun-tahun beribadah dengan damai. Fenomena ini disebabkan oleh penafsiran sempit terhadap Peraturan Menteri Terpadu (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Pembatasan administratif yang ketat seringkali menjadi sarana untuk mengecilkan hati umat Kristiani, memaksa mereka untuk mengadakan ibadah di rumah mereka atau lokasi lain, yang dianggap ilegal oleh pihak tertentu.Â
Permasalahan ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman. Kurangnya dialog antar masyarakat seringkali meningkatkan ketegangan. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga memperburuk situasi. Meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, dalam praktiknya hak ini sering kali terhambat oleh kendala sosial dan politik setempat.Â
Akibatnya, penghapusan layanan tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghancurkan semangat persatuan dalam keberagaman yang seharusnya dijaga oleh Indonesia.Â
Penyelesaian permasalahan ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah perlu merombak PBM agar lebih inklusif dan menghilangkan hambatan administratif yang diskriminatif. Dialog antar umat beragama juga perlu diperkuat untuk menciptakan saling pengertian dan menghormati antar umat beragama. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap  intoleransi juga perlu dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Langkah-langkah tersebut akan memungkinkan Indonesia  memperkuat kerukunan antaragama dan menjunjung tinggi prinsip dasar Pancasila yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan.
Kasus-kasus pembubaran ibadah umat Kristen di Indonesia terus berlanjut, bahkan hingga akhir tahun 2024. Pada 8 Desember 2024, terjadi pelarangan ibadah Natal di Perumahan Cipta Graha Permai, Kabupaten Bogor. Insiden ini menambah daftar panjang tindakan intoleransi yang mencederai semangat kebhinekaan bangsa.Â
Sebelumnya, pada 2 Desember 2024, insiden serupa terjadi di lokasi lain, menunjukkan bahwa tindakan intoleransi terhadap umat Kristen masih marak terjadi.Â
Pada Mei 2024, terjadi pembubaran ibadah umat Kristiani oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Yayik. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tindakan intoleransi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil, tetapi juga melibatkan oknum pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak warga negara.Â
Selain itu, pada Maret 2024, terjadi pembubaran jemaat rumah ibadah Yayasan Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Thesalonika di Desa Kampung Melayu Timur, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Meskipun insiden ini telah dimediasi, fakta bahwa peristiwa semacam ini terus berulang menunjukkan adanya masalah sistemik yang perlu segera ditangani.Â
Rentetan peristiwa ini mencerminkan bahwa jaminan konstitusional atas kebebasan beragama di Indonesia sering kali dilanggar tanpa konsekuensi yang berarti bagi pelaku. Lemahnya penegakan hukum dan sikap permisif terhadap tindakan intoleran semakin memperparah situasi. Sudah saatnya pemerintah mengambil tindakan tegas untuk memastikan bahwa hak beribadah setiap warga negara dihormati dan dilindungi, tanpa terkecuali.
Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah, seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006, yang sering kali dijadikan alat untuk membatasi kebebasan beragama. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleransi harus menjadi prioritas, agar memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Pendidikan multikultural dan dialog antaragama perlu ditingkatkan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan. Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat menjadi negara yang benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.