Sampah non organik pun diolah sedemikian rupa melalui bank sampah. Saya sempat melihat beberapa tas karung bertuliskan bank sampah tergantung di pagar warga. Jika sudah penuh, tas tersebut pun disetor ke bank sampah, dan hasilnya akan dibagikan berupa uang menjelang hari raya.
Yang unik, di beberapa titik di pinggir jalan atau gang dibangun fasilitas wastafel, yang mengajak untuk selalu berperilaku hidup bersih dengan membiasakan cuci tangan. Selain itu, wastafel juga bisa digunakan untuk menyiram tanaman-tanaman yang ada dengan bantuan selang air.Â
Sejak ditanamn sumur injeksi dan lubang biopori, kampung ini juga tidak kekurangan sumber air tanah, sehingga instalasi pengairan berjalan lancar, Hebatnya lagi, kampung sebelah juga kecipratan rejeki dengan ditemukannya sumber mata air baru.Â
Banyak sekali kelompok warga dari luar daerah yang melakukan studi banding di Kampung 3G, bahkan beberapa yang berasal dari luar Jawa. Konsep go green tersebut pun sudah bisa direplikasi oleh sebuah kampung di Tangerang.Â
Melihat perjalanan kampung 3G ini, terutama di tahun ke-6 nya sekarang, tak heran jika warga telah memetik banyak hal. Mulai dari pemasukan kas yang rutin dari safari kunjungan warga luar daerah ataupun mahasiswa yang sedang riset, liputan positif berbagai media, puncaknya pada bulan Agustus 2018 ini berhasil menerima penghargaan kalpataru.Â
Saya teringat rumus 10.000 jam terbang yang harus dilalui untuk menjadi profesional dan bisa memetik hasil dalam suatu hal. Saya rasa Kampung 3G telah melewati proses tersebut. Yang jadi 'pe er' besar saat ini tentu kaderisasi untuk menjamin keberlanjutan ekosistem yang ada saat ini, sebab berdasarkan cerita kawan saya, selama ini hanya 20% warga yang aktif dalam menciptakan Kampung 3G hingga menjadi seperti sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H