Mohon tunggu...
Dhamas Surya Sundaru
Dhamas Surya Sundaru Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang yang hanya ingin melihat dari sisi yang berbeda. Seorang yang jauh dari jurnalis tapi berkeinginan menjadi penulis. nampang di surat kabar saja tak pernah, apalagi di majalah2 TOP.. semoga dengan nge-blog semua dapat tersampaikan. mohon bimbingannya....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Angka Tak Dapat Berbicara

24 Mei 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah retakan kecil dalam kehidupan

mencontek (lagi...)

Malam hari ketika hendak membuat susu, cangkir keramik yang khusus digunakan untuk minum ada retak sedikit di bagian atas. Retaknya cuma sedikit, tapi rasanya jadi malas memakainya. Terbayang oleh hati ini, kadang-kadang kita menganggap mencontek itu hanyalah dosa kecil. Padahal siapa tahu orang jadi tidak menghargai orang lain karena dosa kecil itu. Lebih jauh lagi, bagaimana kalau yang tidak menghargainya lagi adalah TUHAN, hanya karena kesalahan yang ia anggap sebuah retakan kecil dalam kehidupannya.

Ya... mencontek dewasa ini menjadi hal yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan. Ibarat suatu sistem, mencontek bahkan sudah menjadi unsur yang menyusun sistem tersebut. Alih-alih menjadi sentra budi pekerti, sekolah sekarang ini telah mengalami dekadensi karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk tingkah laku koruptif. Pembiaran itu terjadi karena sekolah menganggap mencontek yang sejatinya merupakan abnormalitas sebagai hal umum, sepele, dan tidak serius. Misalnya, kendati sekolah tidak membenarkan perilaku ini, sanksi tegas atas perilaku ini sering hanya berupa teguran lisan atau tulisan. Padahal, banyak aksi mencontek yang didahului perencanaan matang dan dilakukan secara terorganisasi. Lalu pantaskah menganggap contek-mencontek sebagai aktivitas remeh-temeh? Karena dari sinilah banyak tindakan kriminal seperti mencuri, plagiatisme, hingga korupsi berhulu.

Kedua, mencontek dianggap tidak berbahaya karena tidak mengandung unsur kekerasan (violence). Pada saat sama, tidak banyak yang paham, bahwa kebiasaan mencontek dan ragam pelanggaran lain di sekolah merupakan cikal gangguan kepribadian antisosial. Nonis dan Swift (1998), Harding, Passow, dan Finelli (2003), serta Lawson (2004) mengindikasikan melalui penelitiannya, bahwa pelajar yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja.

Usaha vs Pencapaian

Mencontek merupakan cerminan ketidak percayaan diri bahwa kita bisa melakukan sendiri apa yang harus kita lakukan sendiri. Memang banyak yang beralasan bahwa justru lebih penting menjadi orang yang pintar mencari celah dan punya network bagus, daripada orang yang jujur. Banyak orang yang sadar, tau, dan mengerti bahwa mencontek merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan. Pun begitu, masih banyak yang tak merasa risih ketika melakukannya. Bisa kita lihat, betapa mahalnya kejujuran saat ini. Ada tidaknya pengawas ujian pun tak jadi soal. Tetapi ingat nanti ketika Munkar Nakir menjadi pengawas ujian kita, akankah kita mampu membuka contekan atau bertanya ke kubur sebelah?

Banyak dari mereka yang mencontek mengatasnamakan usaha sebagai pembenaran. Mereka beralasan bahwa jika ingin sukses, kita harus memperoleh nilai yang bagus, apapun dan bagaimanapun caranya. Padahal, takdir kita (misalnya kaya-miskin, sukses gagal dsb) tidak akan berubah dengan mencontek atau tidak. Nampaknya motif berprestasi sepatutnya dirumuskan ulang sebagai harmonisasi antara proses dan pencapaian. Pengharapan seseorang akan sebuah pencapaian kiranya tidak mendorong orang tersebut untuk menghalalkan segala cara demi meraih pencapaian tersebut. Pencapaian optimal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi negeri ini. Namun proses yang baik lah yang diharapkan mampu mengubah negeri ini menjadi ke arah yang lebih baik. Mengutip nasihat dari Mahatma Gandhi yang mengatakan "Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki"

Akankah Angka Berbicara?

Sebuah kasus yang seakan menjadi ironi adalah penghalalan cara seorang mahasiswa untuk mendapat nilai A pada ujian etika, namun nilai itu ia peroleh dari mencontek yang secara lugas bisa dikatakan melanggar etika. Seakan menggadaikan etikanya demi mendapat nilai A untuk pelajaran etika di lembaran ijazahnya. Sebuah kanibalisme nilai-nilai diri hanya untuk memperoleh angka-angka yang tak dapat berkata. Bukankah, Ijazah memiliki nilai yang lebih rendah dibanding sebuah karcis bioskop. Sebuah karcis bioskop mampu menjamin masuk ke bioskop, sementara ijazah belum tentu menjamin pekerjaan apapun.

Selanjutnya, yang perlu dipertanyakan dari kasus ini adalah, apa yang sebenarnya dicari dari sebuah pembelajaran etika? Nilai berupa angka-angka kah atau perubahan sikap tingkah laku serta tutur kata? Kembali lagi ke orientasi hidup seseorang, apakah proses yang ia cari, atau hanya sebuah pencapaian angka-angka yang ia buru. Lalu bagaimana halnya jika si pelaku mencontek berdalih dengan pembenaran bahwa dengan kelulusannya ia dapat mengangkat derajat orang tuanya, mampu menyekolahkan adik-adiknya atau dengan pembenaran apapun hingga ia mengganggap itu tak melanggar etika? rasanya parameter yang paling cocok adalah hati nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun