Aku kembali menatap layar kecil di hadapanku. Headset kupasang lagi. Kali ini sambil mendengarkan lagu. Tanpa sadar, mata ini merem dan tak tahu berapa lama aku terlelap dalam tidurku. Tiba-tiba aku terbangun, melihat jam.Â
Ah... masih cukup lama sampai ke Melbourne, rasanya kok tidak sampai-sampai, padahal badan ini sudah pegal semua. Sambil memilih film atau tanyangan yang cocok, aku melihat ke bule itu, ternyata dia sudah bangun.
Dari depan muncullah dua orang pramugari berjalan mendorong kereta yang berisi makanan dan minuman serta beberapa barang lainnya. Saat tiba mendekati deretan kursi kami, si bule membuka meja kecil yang menempel di kursi depannya. Dia membuka ke arahnya.Â
Tanpa berpikir panjang, aku ikut-ikutan, dengan gaya sok-sok-an, padahal penasaran juga, ada apa ya?Â
Dengan senyum manisnya, salah satu pramugari memberikan piring kecil kepadanya dan kepadaku. "Wah, asyik... makanan nih... kebetulan aku sudah lapar. Sepertinya cacing-cacing dalam perutku mulai berdisco menanti jatah makan mereka." pikirku.
Benar dugaanku, si pramugari mengambil capit makanan dan mengeluarkan benda berwarna putih dan kelihatan masih hangat.Â
Kulihat asap tipis menari-nari di atasnya. Sambil melirik, mataku pun tak berhenti melihatnya. Bentuknya serupa bolu dadar gulung.Â
Warnanya seputih salju, teksturnya lembut, selembut kapas. Anganku semakin liar, membayangkan makanan yang hangat, lembut, manis dan wow... enak pastinya.
Giliranku tiba, piring kecil di atas mejaku pun mendapat gilirannya, menerima anugerah Tuhan senikmat itu. Lagi-lagi mataku terus tertuju ke benda itu. Perutku makin keroncongan.
Air liurku pun tak berhenti mengalir. Tapi ya, aku sok cool saja, pura-pura biasa saja. Kulihat si bule biasa aja menerima makanan itu. "Halah... paling dia juga ngiler aslinya, cuman lagi pura-pura aja dia." pikirku sambil menahan senyum.
Kedua pramugari sudah melewati kursi kami. Sekarang aku dan si bule itu sama-sama sudah dapat jatah, saatnya mengeksekusi. Aku masih ragu untuk mengambilnya.