Dalam menentukan batas-batas kajian budaya sebagai disiplin yang tunggal, koheren, dan akademis dengan topic, konsep dan metode-metode khas yang membedakannya dari disiplin lain bukanlah hal yang mudah. Sejak semula, kajian budaya merupakan wilayah kajian multidisipliner atau pascadisipliner yang mengaburkan batas-batas antara dirinya dengan “subjek-subjek” lain. Tetapi kajian budaya bukan ilmu seperti fisika, sosiologi, atau linguistic, meskipun ia mengambil banyak hal dari bidang-bidang ini. Memang, seharusnya ada sesuatu, seperti dikemukakan Hall (1992a) pada kajian budaya yang membedakannya dengan bidang-bidang subjek lainnya.
Bagi Hall, sesuatu ini adalah hubungan kajian budaya dengan persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan menekankan pentingnya perubahan dan representasi “untuk” kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama kelas, gender, dan ras (tetapi juga kelompok usia, orang cacat, kebangsaan, dsb).
Dengan demikian kajian budaya merupakan sebuah teori yang dihasilkan oleh para pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Di sini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa, dan dengan tujuan apa sesorang berbicara.
Sebagaiman ungkapan teori sebagai alat berarti: (i) Toeri yang akan disusun bukanlah sebuah sistem, melainkan sebuah instrument, suatu logika mengenai kekhususan relasi-relasi kekuasan dan pergulatan-pergulatan disekitarnya; (ii) Bahwa penyelidikan ini hanya bisa dilakukan selangkah demi selangkah berdasarkan refleksi (yang dalam beberapa aspeknya mau tak mau bersifat historis) atau situasi yang dimaksud (Focoult), 1980, dikutip Best, 1997 :26)
[Continued......]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H