Saudara Anwari WMK menulis artikel berjudul " ekonomi perbudakan" diterbitkan harian Kompas, 22 November 2010. Artikel ini sangat menarik untuk dicermati. Secara singkat penulisnya mengatakan bahwa kasus pilu Sumiati binti Salan Mustapa (23) TKW asal asal Dompu NTB yang mengalami penyiksaan amat keras dari majikannya di Arab Saudi sebagai bukti terjadinya perbudakan pada abad ke -21 dimana pencetusnya adalah ekonomi. "Apa yang bisa dimengerti dari cerita pilu Sumiati adalah perbudakan pada abad ke-21. Suprastruktur pencetus perbudakan sepenuhnya faktor ekonomi. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa duka pilu Sumiati merupakan akibat logis bekerjanya sistem ekonomi perbudakan. Sistem ekonomi perbudakan telah sedemikian rupa membentuk mind-set sehingga tak dirasakan sebagai penistaan terhadap kemanusiaan. Tindakan keji keluarga majikan lalu menemukan momentumnya oleh bekerjanya sistem ekonomi perbudakan" tulis tokoh ini.
Untuk memperkuat argumentnya lalu penulis Artikel tersebut menyebut beberapa argument kunci sebagai berikut:
Pertama, perusahaan penyalur tenaga kerja mengetahui dengan jelas bahwa Sumiati tak mampu berbahasa Inggris dan Arab.
Kedua, Sumiati merupakan sosok anak bangsa yang ternista ketidaksempurnaan pasar kerja.
Ketiga, ekonomi perbudakan menguat sebagai konsekuensi logis kegagalan negara menegakkan kedaulatan rakyat. ( lebih jauh tentang tulisan tersebut dapat dibaca selengkapnya di harian Kompas atau disini: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/04400869/ekonomi.perbudakan )
Sekilas argumen penulis artikel diatas cukup rasional. Namun bila tidak diluruskan, maka akan timbul kesan bahwa memang "biangkerok" pelaku"perbudakan" abad ke-21 adalah betul para enterpreneurs yang menjadi icon globalisasi saat ini. Nah, untuk menghindari kesalah-pahaman atau Jump conclution tersebut, penulis kemudian mencoba menuliskan artikel ini sebagaijawaban dengan tujuan mendudukkan permasalahan secara obyektif dan rasional.
Semua warga bangsa tentu sangat prihatin dengan masalah kekerasan yang menimpa Sumiati. Manusia normal manapun, pasti akan mengutuk kekerasan yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Namun demikian, ketidaksukaan kita atas tindakan biadap sang majikan diatas dan perilaku tidak bertanggungjawabnya agent TKW yang mengirim Sumiati - yang serba tidak berdaya tersebut menjadi pekerja migran, tidak cukup layak dijadikan argumen pembenar bahwa pengusaha sebagai aktor perbudakan abad ke – 21 sebagaimana ditegaskan penulis artikel tersebut.
Untuk memahami gagasan penulis diatas tentu kita harus kembali membuka diskursus lama antara ekonom Kapitalis dan Marxis. Namun forum ini tidak memadai untuk mengulas hal itu kembali. Tetapi hemat penulis inti dari perdebatan kedua mazhab diatas tidak lepas dari tafsir dan mindset mereka yang berbeda dalam melihat inti hubungan antara "penguasa" denganmasyarakat yaitu "dominasi".
Gagasan kapitalisme sebagai suatu hubungan sosial dan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan akar sejarahnya- yaitu masa dimana dominasi negara dan agamawan pernah sedemikian mencekam dan mematikan kreativitas suatu masyarakat.
Sejarah perjalanan peradaban dunia pernah didominasi kekuasaan negara yang semena-mena dan juga kepemimpinan agamawan. Agamawan dan tentu saja negara memperoleh kekuasaan pembentuk perilaku langsung dari pemakaian atau ancaman baik dengan memakai penghukuman fisik atau spritual dari yang ringan sampai yang termasuk hukuman mati. Itulah masa kelam perjalanan sejarah peradaban dunia saat bayi kapitalisme sedang hamil tua.
[caption id="attachment_77507" align="aligncenter" width="300" caption="sumber foto: googlebottle.com"][/caption]
Kekuasaan pemilik kapital tentu sangat berbeda dengan dua bentuk kekuasaan agamawan dan negara tersebut. Kekuasaan kapitalis sangat halus namun sangat berarti. Para pemilik kapital tidak berhak memakai kekuatan langsung terhadap konsumen atau tenaga kerja yang menolak untuk memasuki hubungan dengannya tegasRobert L Heilbroner yang secara khusus meneliti dan menulis buku hakikat dan logika Kapitalisme. Lebih lanjut tokoh ini menyimpulkan bahwa kapital telah membebaskan masyarakat dari cara dominasi sebelumnya yang lebih kejam.
Nah, dengan demikian, posisi saudagar atau enterpreneur dan atau kapitalis harus dilihat dalam konteks sejarah ini. Sebagaimana diketahui, Adam Smith yang merupakan bapak kapitalisme merupakan seorang pakar etika. Keprihatinannya atas penyalahgunaan kekuasaan atau dominasi oleh pihak-pihak berkuasa dimasanya lah yang kemudian mendorongnya menawarkan entrepreneurship sebagai solusi alternatif.
Jean Baptise Say ( 1767-1832) yang merupakan pengikut Adam Smith mengatakan bahwa Enterpreneur sebagai penentu dan dari kesejahteraan dari suatu negara. " enterpreneur they who directs resources from less productive into more productive investment and who tehereby creates wealth. Pandangan senada disampaikan oleh Ciputra. Pengusaha sukses ini mengatakan, bahwa kewirausahaan adalah kunci bagi kesejahteraan individu dan suatu bangsa. " Kita akan hidup dalam damai manakala dapat membagikan jiwa kesuksesan dan élan kepada sebanyak-banyaknya orang di seluruh dunia. Inilah sesungguhnya tantangan kewirausahaan saya" (Lihat:Ciputra Quantum Leap Enterpreneurship ( Elex Media Komputindo; 2009).
Dengan mindset diatas, mari kita bedah dan kritisikasus Sumiati. Pelaku Usaha yang menjadi Agent pengiriman Sumiati ke Saudi Arabia, sesungguhnya tidak memilik i hak eksklusif untuk bisa memaksa agar Sumiati berangkat ke Saudi. Pasti ada perjanjian kerja yang ditandatangani kedua belah pihak sebagai landasan kerja pengiriman tersebut. Bahwa kemudian misalnya terbukti ada manipulasi kontrak kerja tersebut, tentu sudah menjadi domain aparat hukum. Artinya bila telah terjadi pelanggaran hukum maka pelaku usaha tersebut patut untuk dihukum setinggi-tingginya karena telah melanggar hukum. Pengusaha tersebut juga patut mendapat peringatan keras dari Asossiasi usaha tempat dia menjadi anggota karena telah menodaietika profesi kewirausahaan.
Penegagasan ini menjadi penting, agar tekad dan kerja keras para pengusaha di tanah air yang saat ini sedang gencar-gencarnya mempromosikan kewirausahaan tidak menjadi kontra produktif. Agenda pemerintah untuk mencetak 1 juta pengusaha sebagai upaya untuk mendapatkan nilai tambah dari kekayaan SDA negeri ini bagi kemakmuran rakyat dengan demikian harus tetap dipandang sebagai langkah taktis strategis untuk perjuangan kemandirian bangsa.
Ekonomi pemberdayaan berbasis kewirausahaan sebagai solusi kemakmuran bangsa
Sejarah perjalanan entrepreneurship memang tidak selalu linear. Dalam proses mempertahankan eksistensinyadunia usaha dan pengusaha seringkali harus melakukan upaya sekeras-kerasnya dan secerdas-cerdasnya agar bisa tetap eksis. Situasi mencekam semacam inilah kadang-kadang yang membuat tak sedikit pengusaha menjadi terjerumus pada pelecehan profesi mulianya. Rekayasa keuangan Enron yang sangat memalukan itu salah satu contohnya.
[caption id="attachment_77512" align="aligncenter" width="300" caption="Banyak Perusahaan di Ind yg terpanggil menjadi agen pemberdayaan sosial dgn melakukan GCG dan CSR nya ( doc.Visi Aulia Jaya)"]
Namun sebaliknya, sejarah juga mencatat dengan tinta emas, peran entrepreneurs menjadi actor pembebas, transformator nilai. Muhammad Yunus telah membuktikan bahwa ditangan para pelaku usaha yang smart dan berdedikasi tinggi terhadap profesinya, kewirausahaan berhasil menaikkan derajat masyarakat miskin menjadi masyarakat mandiri dan bermartabat. Stephen R. Covey dalam bukunya berjudul 8 th Habits malah menceritakan cukup banyak para entrepreneur tercerahkan yang menjadi icon kemajuan era baru berbasis high touch dan high concept. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Tak sedikit entrepreneurs Indonesia yang terbukti menjadikan bisnis tak hanya untuk mengejar untung semata tetapi juga wadah pengabdian dan agent transformator nilaiseperti Sudhamek Agung dari Garuda Food, Jakob Oetama dari Gramedia Group dan Om William sang Pendiri Astra.
Yang pasti, kualitas sumber daya manusia suatu bangsa dalam profesi manapun tak lepas dari cerminan masyarakat dan bangsa itu sendiri. Dalam konteks inilah semua kita perlu berbenah, duduk bersama untuk saling merenungi, dan menemukan akar masalah dari tingginya deviasi pelanggaran etika kebangsaan dan kemanusian yang nyaris menerpa seluruh profesi.
Sebagaimana diusulkan oleh Barrack Hussein Obama, untuk maju dan sukses sebagai aktor peradaban dunia, Indonesia harus kembali kejatidirinya yang absah. Pancasila adalah rujukan nilai kita bertindak. " Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah sila Pertamanya. Bisa dibayangkan, bila sila ini kita tegakkan secara murni dan konsekwen? Kekayaan sumber daya alam yang melimpah berpadanan dengan jumlah penduduk 250 juta yang smart, sholeh, militan, akan menjadi nilai tambah yang sangat signifikan bagi peradaban dunia. Sebaliknya, bila kita gagal sebagai a part of solution yang terjadi adalah budaya saling cakar-cakaran diantara kita:Â lintas agama, lintas profesi dan bahkan antar keluarga sendiri. Awalnya hanya sebagai ekspressi kemarahan kita, namun bila terus berulang - lama kelamaan akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan dibenarkan.
Akhirnya, kasus pilu derita Sumiati, hendaknya dapat kita jadikan pembelajaran bagi semua anak bangsa – untuk menata ulang sistem pengiriman tenaga kerja serta meningkatkan kuantitas serta kualitas enterpreneur bangsa ini. Devisa Negara penting, namun jauh lebih penting nyawa dan harkat warga Negara kita. Semoga !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H