Halloo.. saya kembali lagi mengangkat opini seputar 'life after marriage' khususnya perihal 'life as divorcee'. Tepatnya ini merupakan part 3 dari tulisan saya yang  sebelumnya  berjudul "The lucky child not poor child" dan " Romansa Keluarga". Agak banyak ya sayyy part partnya HAHAHAHA.
Sebenarnya saya hanya ingin memberi opini dan pengalaman saya sebagai anak yang punya orangtua divorcee. Saya mau mencoba menjelaskan dari perspektif baik maupun buruknya, jadi tidak sepenuhnya pengalaman saya buruk maupun selalu baik. Tetap ada unsur ilmu pengetahuan yang ingin saya share dari sumber-sumber buku parenting yang saya baca. Saya juga akan akan coba merelevansikannya  dengan reality di lapangan yang sebenarnya, oh ya lebih tepatnya ini study kasus  dari pengalaman saya.
Menurut saya perceraian itu ada dua jalur yang bisa di tempuh. Pertama berpisah secara baik dan yang kedua berpisah dengan buruk/tidak baik. Bercerai secara baik disini adalah menyingkirkan ego diantara pasangan demi kepentingan anak, sedangkan berpisah dengan cara yang buruk adalah mementingkan ego dan mengesampingkan kepentingan anak-anak. Menurut saya  pasangan yang memutuskan untuk bercerai adalah sama-sama menjadi korban. Jadi tidak ada pihak yang satu rugi dan yang satu untung.  Kedua belah pihak sama sama rugi dan menjadi korban. Apa pun jenis kerugiannya  tetap menjadi suatu hal yang tidak menguntungkan, entah itu merasa di khianati, dibohongi, di acuhkan, hal tersebut tetaplah merugikan.
Ketika mediasi tidak dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi  problematik dalam rumah tangga, maka hakim akan mengetuk palu bahwa permohonan perceraian dapat dikabulkan. Konflik dalam rumah tangga tidak hanya berhenti disini, masih berlanjut dimana kedua belah pihak saling menyalahkan dan berusaha menunjukkan power masing-masing agar terkesan menjadi pemenang dan orang yang paling layak untuk dipertahankan dan di perjuangkan. Hal demikian juga akan menimbulkan dampak kerugian yang tidak hanya bersifat materil tetapi juga kerugian secara moral ataupun gengsi.Â
Pasangan yang berpisah dengan cara yang tidak baik dan tidak sehat akan saling mencaci maki untuk memperebutkan dan mendapatkan validasi siapa pemenangnya. Tujuan mencaci maki ini ada dua yaitu, pertama saling mencaci maki untuk memenangkan hati anak-anak. Kedua hanya sebagai pemuas ego untuk meluapkan amarah terhadap salah satu pihak. Kebanyakan pasangan suami istri yang sudah bercerai saling mencaci maki tujuannya untuk memenangkan hati sang anak. Menjelek-jelekkan salah satu pihak kepada anak dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk memenangkan hati sang anak.
Jika case  dalam pernikahan karena perselingkuhan, sering kali salah satu pihak bersikukuh untuk mempertahankan gengsinya agar terlihat menjadi orang yang paling dirugikan. Pasangan yang ingin bercerai dan sudah menjatuhkan gugatan ke pengadilan tujuannya bukanlah untuk mempertahankan pernikahan, pasangan, maupun anak, tetapi untuk mempertahankan  harga diri.
 Ada kerugian yang begitu besar di terima oleh salah satu pihak, seperti merasa malu karena sudah di selingkuhi, harga diri  dirasa seperti diinjak -injak, hingga gengsi terhadap keluarga maupun masyarakat sekitar. Kira kira begitulah rumit dan problematiknya pasangan yang ingin memutuskan bercerai.Â
Jadi guyss bisa dibayangkan bagaimana rumitnya  menyelesaikan problem tersebut dengan adil. Oleh sebab itu jika hakim berusaha menyelesaikan perkara dengan adil, maka terima. Tidak perlu menuntut kembali siapa yang salah dan benar. Semakin menuntut malah akan menimbulkan perpisahan yang semakin buruk.Â
Dulu orangtua saya berpisah dengan cara yang tidak sehat. Mereka berpisah dengan keadaan yang cukup buruk . Mereka saling  mencaci maki hanya untuk memenangkan hati saya. Mereka saling menunjukkan dan menceritakan kejelekan salah satu pihak hanya untuk memenangkan hati saya. Setelah saya dewasa , saya mengetahui bahwa tidak ada yang benar-benar ingin memenangkan hati saya, tapi mereka hanya ingin memperebutkan dan mempertahankan gengsi untuk menunjukkan siapa yang layak untuk diperjuangkan.  Saat saya dewasa akhirnya saya menyadari bahwa saya (anak) adalah hanya "Thropy" yang layak untuk dimenangkan oleh pasangan yang bercerai.Â
Jadi pelajaran penting yang saya dapat dari peristiwa tersebut adalah, jika ingin  berpisah atau bercerai maka lakukan dengan cara yang damai, baik, dan adil. Hal ini menurut saya sangat dianjurkan dan harus dilakukan ketika ingin  berpisah/bercerai. Menurut saya, dengan saling menjelekkan salah satu pihak kepada anak akan membuatnya semakin sakit.  'Thropy' yang ingin kalian menangkan agar menyakiti pihak yang satunya bukanlah jalan yang  benar. Menurut saya berpisah dengan cara yang baik dan memberikan pemahaman pada anak akan meminimalisir kekeliruan, dan kebencian anak terhadap perpisahan orangtuanya.Â