UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah 6 tahun lebih ditorehkan tanda tangan plus diundangkan ke dalam lembaran negara. Dalam Undang-undang tersebut diatur tentang sistem penggajian ASN (Gaji Model Baru). Medio 2016 kita sudah mendengar bahwa Peraturan Pemerintah tentang Gaji Model Baru tersebut sudah bergulir (ada yang bilang sudah di Setneg), didalamnya ada tunjangan kemahalan per provinsi. Tidak semua ASN sama Tunjangan Kemahalannya, dalam tabel Policy Brief BKN untuk DKI Jakarta bisa diatas seratus persen tunjangan tersebut, begitu juga dengan Jawa Timur sekitar 113 % tunjangan kemahalannya. Gaji pokok lebih besar kalau dilihat di tabel penggajian Gaji Model Baru ASN. Kalau dilihat perkembangan saaat ini, pandemi berlanjut sepertinya hal ini mustahal dilaksanakan.
Sekitar Tahun 2008 saya mengikuti Diklat Kepamongprajaan dengan Paper terkait salary PNS yang ideal. Saat itu saya mengungkapkan untuk PNS K.1 (Kawin anak 1) golongan III/Sarjana berdasarkan yang saya alami diseputaran angka 6.500.000/bulan dengan tinggal di Ibukota Negara/Jakarta. Angka tersebut sudah bisa untuk mengikuti asuransi jiwa+kesehatan yang layak (bukan askes masa itu/BPJS sekarang) like prudential/axa mandiri dkk. Tahun 2017 Presiden SBY mengatakan gaji PNS minimal 5.000.000/bulan kita belum mengetahui hitungan beliau dari mana?untuk biaya hidup dimana? sedangkan saya saat itu, dengan Masa Kerja 21 Tahun golongan III dengan gaji pokok masih dibawah UMR Provinsi DKI Jakarta harus berjibaku dengan kehidupan Ibukota yang underground. Kalau melihat skema Gaji Model Baru menurut UU ASN 5/2014 sudah memenuhi kelayakan, karena gaji pokok ASN sdh memperhatikan biaya hidup per regional/Provinsi dan standar gaji Non ASN (swasta, buruh, dkk) meskipun menurut saya masih belum memperhatikan living cost (biaya tinggal) atau ongkos transportasi sehari-hari seorang ASN yang hampir rata-rata tidak tinggal di dekat kantornya seperti di Negara-negara lain. Bayangkan ASN Pusat atau Provinsi DKI Jakarta yang hampir semua tinggal dipinggiran ibukota (Jabodetabekpunjurpekta), apakah living costnya setiap hari disamakan dengan ASN yang tinggal dekat dengan kantor? pastinya beda. Kantor saya diseputaran kalibata, tinggal di depok beda dengan teman ASN yang tinggal di Purwakarta dan harus berangkat ke kantor shalat subuh di jalan dengan minimal uang 50 ribu one way.
Memang sulit menerapkan sistem produktivitas/remunerasi pada ASN yang pada masa itu filosofinya volunteer. Analisis Beban Kerja?Analisis Jabatan?belum lagi target kinerja yang selalu dirubah atau disesuaikan, Bagaimana menganalisa bahwa seorang ASN beban kerjanya lebih dan harus ditambah ASN baru atau struktur baru apabila target kinerjanya harus dipastikan dan dinamis. Kalau mau ideal, sistem remunerasi harus disertai living cost atau disediakan jemputan karyawan atau perumahan yang dekat dengan kantor yang bersangkutan (seperti konsep Ibukota Negara Baru di Kalimantan), saya hampir tidak melihat ada perumahan ASN seperti jaman-jaman sebelum reformasi (komplek Depdagri terakhir di cibitung 1998), mungkin karena antara management asset dan akuntansi assetnya yang banyak masalah di lapangan. Selain itu reward and punisment juga perlu diperhitungkan, utamanya bagi ASN yang menjadi tim task force penanganan-penanganan masalah atau kasus yang berhasil ditanganinya dan tidak bisa dinilai dengan angka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H