Malang, siapa yang belum mengenal nama ini. Kota yang terkenal dengan bahasanya yang dibalik-balik dan telah merupakan salah satu tujuan wisata yang masyhur di Provinsi Jawa Timur. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas Kabupaten Malang sebagai hasil pemekaran dari wilayah Malang Raya, yang meliputi Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang itu sendiri. Kabupaten Malang merupakan kabupaten terbesar kedua di Jawa Timur, setelah posisi pertama diduduki oleh Banyuwangi. Pusat pemerintahan Kabupaten Malang telah dipindahkan ke Kecamatan Kepanjen sejak 2011, dimana sebelumnya terletak di Klojen, Kota Malang.
Kabupaten Malang berada pada koordinat 11217'10,90" hingga 11257'00,00" Bujur Timur dan 744'55,11" hingga 826'35,45" Lintang Selatan. Area total wilayahnya mencapai 3. 534,86 km, sementara sisanya merupakan lautan. Secara administratif, kawasan ini terkendali oleh batas wilayah administrasi di sekitarnya, yang meliputi:
- Sisi Utara: Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Jombang.
- Sisi Timur: Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang.
- Sisi Barat: Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri.
- Sisi Selatan: Lautan Hindia.
- Sisi Tengah: Kota Batu dan Kota Malang.
 Kabupaten Malang merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan laut lepas yang kaya akan sumberdaya, beberapa wilayah di Kabupaten Malang yang berbatasan langsung dengan laut, salah satunya Desa Tumpakrejo yang terkenal dengan Pantai Nganteb, Desa Sindurejo dengan Pantai Ngudel, dan Desa Tambakrejo dengan Pantai Sendang Biru. Masyarakat pesisir yang hidup di garis pantai tersebut memanfaatkan sumberdaya dengan berbagai macam cara yang berbeda. Desa yang terletak di wilayah pesisir yang telah disebutkan sebelumnya dikelola secara kolaboratif antara Perum Perhutani dan Pemerintah Desa dengan mendirikan sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH).
LKDPH mengelola kawasan hutan yang langsung berdampingan dengan pantai Nganteb di desa Tumpakrejo, guna mendukung aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Aktivitas ekonomi masyarakat di kawasan pesisir Pantai Nganteb sangat bervariasi, meliputi sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, kewirausahaan, serta jasa konstruksi dan akomodasi. LKDPH juga berfungsi sebagai pengelola destinasi wisata dan mengatur berbagai usaha untuk mendukung aktivitas para pengunjung. Upaya tersebut meliputi layanan akomodasi, tempat makan, serta bisnis souvenir atau oleh-oleh.
Di area pesisir Pantai Ngantep terdapat sebuah komunitas nelayan yang dikenal dengan nama kelompok nelayan Minakarya. Kelompok Minakarya adalah komunitas nelayan skala kecil yang terdiri dari 24 anggota dan memiliki 11 perahu tipe speed. Hasil tangkapan mereka berada dalam rentang 40 hingga 50 kg setiap harinya. Kelompok ini relatif kecil disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, seperti ketiadaan sandaran perahu yang menghambat mereka untuk memiliki perahu berukuran besar. Akibatnya, mereka enggan untuk melaut jauh dan hasil tangkapannya pun sedikit. Mereka tidak mempunyai pasar ikan, sehingga jika mereka ingin menjual hasil tangkapannya seperti ikan kakap merah, kerapu, dan tenggiri, mereka harus membawanya ke pasar ikan di daerah lain. Karena mereka adalah kelompok penggiat perikanan yang hanya memiliki perahu berukuran kecil, mereka juga memiliki pekerjaan tambahan sebagai langkah antisipasi jika mereka tidak dapat pergi melaut. Beberapa anggota kelompok Minakarya memiliki pekerjaan tambahan sebagai petani, peternak, dan pedagang.
Masyarakat di pesisir Pantai Ngudel, Desa Sindurejo, membentuk LKDPH dan bersinergi dengan Perhutani yang bertujuan untuk mengelola wisata pantai. Masyarakat desa mengembangkan Pantai Ngudel sebagai destinasi wisata konservasi. Warga Desa Sindurejo yang menjadi anggota LKDPH memiliki hak untuk melakukan aktivitas ekonomi di lokasi tersebut, tetapi mereka tidak diperbolehkan memiliki tanah yang diperuntuk keperluan usaha mereka. Anggota LKDPH yang sebelumnya bekerja sebagai petani kini beralih profesi menjadi pengelola objek wisata pantai setelah melihat adanya potensi pengembangan destinasi wisata. Sektor bisnis yang dijalankan oleh warga Desa Sindurejo semakin bervariasi setelah akses ke pantai dibuka. Sektor usaha tersebut meliputi pengelolaan pariwisata, seperti tim SAR, petugas tiket, dan penyedia layanan toilet. Di samping itu, terdapat banyak kedai makanan yang menawarkan hidangan bagi para pelancong yang datang. Peningkatan jumlah pengunjung ke pantai itu dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi para pengelola serta masyarakat yang menjalankan bisnis di area tersebut.
Sementara itu, area pesisir Pantai Sendangbiru adalah kawasan industri perikanan yang terletak di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan ini, memiliki potensi untuk mengembangkan pelabuhan nelayan berkapasitas besar karena karakteristik pantainya yang menguntungkan. Pantai Sendangbiru terpisah oleh sebuah pulau, yang menciptakan suatu kolam pelabuhan. Terdapat sebuah organisasi nelayan besar yang dikenal sebagai kelompok nelayan Rukun Jaya, yang menaungi ribuan pelaut. Selain penduduk lokal Desa Tambakrejo, terdapat juga nelayan yang disebut sebagai Andon (pekerja buruh) yang mencari ikan di sekitar Pantai Sendangbiru. Mereka berasal dari berbagai daerah lain, seperti Madura, Banyuwangi, dan daerah lainnya yang juga melakukan penangkapan ikan di kawasan Pantai Sendangbiru.
Berdasarkan peta LISA (Local Indicator Of Spatial Association) Cluster, terlihat bahwa Kabupaten Malang yang diwakili oleh warna merah muda atau High-low mengelilingi wilayah Kota Malang dan Kota Batu yang berwarna biru muda, yang menunjukkan low-high. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kesenjangan di area Kota Batu dan Kota Malang, tetapi kesenjangan dapat diidentifikasi di Kabupaten Malang. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara Kota Batu dan Kota Malang karena pembangunan serta infrastruktur di kedua kota tersebut telah merata. Situasi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Malang, di mana masih terdapat area yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Ketimpangan yang signifikan terjadi dalam hal fasilitas terminal dan penyediaan air bersih. Ketidaksetaraan tidak menjadi halangan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses terhadap transportasi dan air bersih. Terminal bus dan stasiun hanya dapat ditemukan di empat kecamatan.
Berdasarkan peta LISA (Local Indicator Of Spatial Association) Cluster, terlihat bahwa Kabupaten Malang yang diwakili oleh warna merah muda atau High-low mengelilingi wilayah Kota Malang dan Kota Batu yang berwarna biru muda, yang menunjukkan low-high. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kesenjangan di area Kota Batu dan Kota Malang, tetapi kesenjangan dapat diidentifikasi di Kabupaten Malang. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara Kota Batu dan Kota Malang karena pembangunan serta infrastruktur di kedua kota tersebut telah merata. Situasi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Malang, di mana masih terdapat area yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Ketimpangan yang signifikan terjadi dalam hal fasilitas terminal dan penyediaan air bersih. Ketidaksetaraan tidak menjadi halangan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses terhadap transportasi dan air bersih. Terminal bus dan stasiun hanya dapat ditemukan di empat kecamatan.
Melihat berbagai potensi sumber daya yang terdapat di daerah pesisir Kabupaten Malang, sangat disayangkan bahwa distribusi infrastruktur, baik dari segi sarana maupun prasarana, di Kabupaten Malang belum terpenuhi secara merata. Pemerintah harus berupaya keras untuk mengoptimalkan pembangunan yang seimbang dari berbagai bidang, sehingga masyarakat pesisir di Kabupaten Malang dapat terus meningkatkan perekonomiannya melalui berbagai sektor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H