Tuhan adalah sumber dari segala eksistensi, zat yang tidak terikat ruang dan waktu, menciptakan alam semesta dari ketiadaan. Dalam Islam, keimanan kepada Tuhan bukan sekadar dogma, tetapi perjalanan akal dan hati yang saling berpadu. Konsep ketuhanan ini menjadi landasan penting dalam membentuk hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Allah SWT menegaskan kehadiran-Nya melalui tanda-tanda di alam semesta. Dalam QS. Al-Baqarah: 164, Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, serta kapal-kapal yang berlayar di laut… terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Ayat ini adalah seruan agar manusia memanfaatkan akal untuk mengenal keagungan Tuhan. Filsafat ketuhanan pun mengajarkan bahwa setiap kejadian di alam adalah bukti keberadaan-Nya. Sebagaimana setiap tulisan membutuhkan penulis, setiap lukisan membutuhkan pelukis, demikian pula alam semesta menunjukkan adanya Sang Maha Pencipta.
Tuhan dalam Perspektif Akal dan Iman
Dalam filsafat Islam, Tuhan dipahami melalui dua pendekatan:
1. Akal (Rasionalitas): Tuhan adalah al-Qadim (Yang Maha Awal) dan tidak serupa dengan makhluk-Nya (Tanzih). Ini ditegaskan dalam QS. Asy-Syura: 11, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” Prinsip ini mengajak manusia untuk mensucikan Allah dari segala sifat makhluk, seperti gerak, berubah, atau menyerupai benda.
2. Iman (Keyakinan): Keimanan adalah pengakuan hati yang dibuktikan dengan amal. Rasulullah bersabda: “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ lalu beristiqamahlah.” (HR. Muslim). Istiqamah menjadi bukti nyata bahwa iman kepada Tuhan bukan hanya konsep, melainkan praktik nyata yang terus-menerus terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan dan Tantangan Zaman Modern
Di era digital ini, materialisme sering menggiring manusia menjauh dari spiritualitas. Sains dan teknologi sering dianggap cukup untuk menjelaskan segala hal, seolah-olah Tuhan tidak lagi relevan. Namun, sains sejatinya adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan. Contohnya, hukum gravitasi dan keteraturan alam semesta mengungkap kebijaksanaan Sang Pencipta.
Lebih dari itu, filsafat ketuhanan memberi jawaban atas pertanyaan eksistensial yang tidak mampu dijawab sains: Mengapa kita ada? Untuk apa kita hidup? Allah berfirman dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Ibadah bukan sekadar ritual, tetapi juga refleksi dari kesadaran bahwa kehidupan adalah amanah. Memahami keesaan Tuhan (Tauhid) mengajarkan kita untuk menghargai ciptaan-Nya, menjalani hidup dengan adil, dan merawat alam.
Keimanan sebagai Pondasi Kehidupan
Dalam hadisnya, Rasulullah bersabda: “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten meskipun kecil.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadis ini mengajarkan bahwa iman bukanlah sesuatu yang stagnan, tetapi harus dirawat melalui amal yang kontinu. Konsistensi ini penting di tengah era yang penuh dengan godaan seperti hedonisme dan individualisme.
Filsafat ketuhanan mengingatkan kita bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sayap yang membawa manusia kepada kedalaman makna hidup. Dengan memahami keagungan Tuhan, hidup menjadi lebih bermakna, baik secara spiritual maupun intelektual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H