Mohon tunggu...
Humaniora

Muridku Sering Bolos Sekolah

9 Juli 2015   00:53 Diperbarui: 9 Juli 2015   00:53 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

     Tahun 1985 saya diangkat menjadi guru CPNS di SMAN Purwosari. Saat itu saya mendapatkan tugas tambahan sebagai wali kelas di kelas 2 program IPA. Siswa siswi di sekolah tersebut umumnya berasal dari daerah-daerah yang jauh seperti Pasuruan, Pandaan, Lawang dan Singosari. Kalaupun ada siswa siswi yang bertempat tinggal di lingkungan sekitar sekolah, jumlahnya tidaklah banyak.

     Suatu kali pada saat evaluasi kehadiran, dari hasil absensi terdapat 4 siswa yang terindikasi sering tidak hadir di sekolah. Tentu saja sebagai Wali kelas, sayapun berinisiatif untuk memanggil orang tua siswa siswa tersebut. Tetapi pada hari yang telah dijadwalkan, orang tua dari siswa siswa ini tidak datang ke sekolah dan bahkan keempat siswa tersebut juga tidak masuk sekolah.

     Selang dua hari kemudian siswa siswa yang orang tuanya saya panggil tersebut datang menemui saya. Ketika saya bertanya dimana orang tuanya, mereka menjawab hampir bersamaan “Saya sendiri, Bu”. Sayapun bingung dan terheran-heran mendengar jawaban tersebut. Lantas saya tegaskan sekali lagi bahwa yang dipanggil adalah orang tua siswa dan bukan siswa yang bersangkutan. 

     Salah satu siswa tersebut kemudian menjawab “Jika ada surat panggilan dari sekolah untuk orang tua, maka saya sendiri yang akan datang ke sekolah, Bu. Dipanggil sepuluh kalipun tetap saya sendiri yang akan menghadap ibu sebanyak sepuluh kali. Orang tua saya tidak akan pernah datang.”.

     Sayapun menanyakan alasan mengapa orang tua mereka tidak mau datang ke sekolah. Dan yang membuat saya terkejut, jawaban dari keempat siswa tersebut ternyata hampir sama. Mereka menjelaskan jika sebenarnya orang tuanya tidak menyuruh mereka sekolah melainkan menyuruh mereka untuk bekerja mencari uang agar dapat membantu perekonomian keluarga. Orang tua siswa siswa tersebut tidak mau membiayai mereka sekolah. Tetapi karena ingin sekolah, keempat siswa tersebut kemudian memutuskan sekolah sambil bekerja untuk membiayai sekolahnya dan sekaligus membantu orang tua mencari nafkah.

     “Saya bekerja supaya bisa membayar SPP, Bu. Jadi kalau saya tidak masuk sekolah itu karena saya sedang bekerja. Orang tua saya tidak mau tau urusan sekolah saya. Karena saya bersekolah atas inisiatif sendiri. Jika ada panggilan dari sekolah orang tua saya tidak akan mau datang. Apalagi orang tua saya juga buta huruf. Tidak bisa membaca surat panggilan dari sekolah.” terang salah satu dari keempat siswa itu.

       Siswa siswa tersebut ada yang mengamen di jalan, di dalam bis, dan ada pula yang bekerja sebagai kernet trus pengantar barang ke luar kota. Saat harus mengantarkan barang ke luar kota, otomatis siswa siswa ini tidak dapat mengikuti pelajaran minimal selama dua hari. 

     Mengetahui hal tersebut akhirnya sayapun membuat kesepakatan dengan mereka. Untuk siswa yang bekerja sebagai pengamen, mereka saya minta mengamen setelah pulang sekolah dan di waktu-waktu yang tidak mengganggu jam sekolah. Sedangkan untuk siswa yang bekerja sebagai kernet truk pengangkut barang, saya meminta mereka untuk memberitahu saya selaku Wali Kelas kapan dan berapa lama ijin tidak masuk sekolah jika harus pergi mengantar barang keluar kota. Selain membantu mengurus ijin ketika meninggalkan sekolah, sayapun juga membantu mencarika materi untuk pelajaran-pelajaran yang ditinggalkan oleh siswa siswa tersebut. Saya mengkopikan materi pelajaran yang mereka tinggalkan untuk dipelajari sendiri di rumah. Tidak jarang saya juga memfasilitasi siswa-siswa ini mendapatkan penjelasan secara khusus mengenai pelajaran yang belum mereka pahami dari masing-masing guru bidang studi.

     Saya mendampingi siswa siswa ini hingga kelas 3 semester ganjil karena kemudian saya harus pindah tugas ke tempat yang baru. Tetapi saya tetap menjaga komunikasi dengan mereka hingga mereka lulus SMA. Saya sangat terharu dan bangga ketika mengetahui bahwa siswa siswa tersebut tidak hanya bisa lulus sekolah melainkan juga bisa diterima di Perguruan Tinggi.

     Kejadian ini menunjukkan bahwa siswa bolos itu tidak selalu identik dengan hal-hal yang negatif. Mungkin ada beberapa siswa siswi yang bolos sekolah hanya untuk sekedar bermain-main saja. Tetapi bagi keempat siswa saya, bolos bukanlah menjadi kehendak pribadi mereka melainkan keterpaksaan dikarenakan kondisi dan keadaan yang memaksa mereka harus bolos sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun