Mohon tunggu...
Dewi Wulandari
Dewi Wulandari Mohon Tunggu... -

Hanya seorang Kuli Tinta yang mencoba mengeluarkan imajinasi yang terus berputar-putar di dalam otak dengan tulisan dan seorang desainer di Perusahaan digital printing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benang Merah

5 April 2012   12:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:00 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu akan benar-benar pergi??” pertanyaan itu kembali diulangi. Sebagai tanda, kalau dia tidak percaya akan rencana kepergian gadis disampingnya.

Gadis itu sejenak hanya memandangi sungai yang mengalir di depan mereka. “Iya”

“Tidak bisakah kamu tetap disini?” tanya cowok itu.

“Bisapun. Aku akan tetap pergi” jawab cewek itu.

“……………..” Mereka hanya diam setelah itu. Tidak ada yang coba memulai berbicara. Sampai akhirnya cowok itu menoleh. “Baiklah. Kamu boleh pergi. Tapi bukan berarti semua sudah berakhir. Kamu tetap pacarku. Nanti, saat aku sudah punya kekuatan. Aku akan mencarimu. Jadi kamu tidak usah khawatir. Dan, kalau saat itu tiba. Aku akan membawamu pergi. Kamu harus mau”

“Tapi, aku tidak tau aku akan kemana” kata cewek itu. Matahari perlahan tenggelam. Hanya menyisakan garis berwarna kemerahan di ujung langit.

“Itu bukan masalah” Fajar tersenyum yakin. “Waktu itu. Kamu sudah mengikatkan benang merah di kelingkingku. Jadi, meskipun kamu pergi ke ujung dunia. Pasti aku akan menemukanmu. Meski kamu ada di ujung utara bumi dan aku di ujung selatan. Kita pasti akan bertemu. Percayalah”

“Fajar…”

“Mungkin ini kata-kata yang tidak bisa dipercaya, ya. seorang anak kelas tiga SMP sudah berani mengucapkan kalimat-kalimat seperti tadi. Tapi aku serius dan aku akan membuktikannya”

“Iya” Senja mengangguk. Dia ingin mempercayai cowok ini. Orang kedua yang paling dia percaya di dunia ini setelah bapaknya.

“……….” Fajar mendekatkan wajahnya. Sementara Senja spontan menutup mata. Fajar sedikit tersenyum dan ikut memejamkan mata. Dia biarkan instingnya menuntunnya. Hingga bibirnya menyentuh bibir senja dengan lembut. Senja bisa merasakannya bibir Fajar. Tapi saat dia membuka mata dan melihat wajah Fajar begitu dekat. Dia langsung menarik kepalanya ke belakang.

“Kenapa??” tanya Fajar bingung.

“Aku malu” kata Senja. Wajahnya yang memerah sepertinya tersembunyikan oleh sinar matahari.

“…………….” Fajar tersenyum. Kemudian menarik lengan Senja supaya dia dia mendekat padanya.

“Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kamu berhenti mencintaiku” kata Fajar dengan jahilnya.

“Bukannya kamu yang seperti itu?” balas Senja.

“Kita buktikan saja nanti”

***

Fajar

Senja. Cewek yang kutemui dua tahun yang lalu. Pertama kali bertemu hubungan kami sangat buruk. Lebih buruk dari hubungan tikus dan kucing. Kami seperti bensin dan api.

Mereka bilang. Mungkin karena nama kami, Fajar dan Senja. Dua nama yang bertolak belakang. Menurutku, Senja sangat cocok mempunyai nama itu. Karena dia tipe cewek yang seperti senja. Maksudku, dia terlihat tenang, terkadang. Dia juga terlihat melankolis saat memandangi sungai. Seakan di dalam sana ada keluarganya yang tidak bisa dia temui.

Tapi perlahan hubungan kami membaik. Itu berkat nenekku. Dia dengan ajaib bisa membuat kami yang sifatnya bertolak belakang berhubungan baik. Bahkan kami sampai jadi sepasang kekasih. Meskipun semua orang menganggap ini hanya cinta monyet dan cinta tidak serius lainnya.

Tapi tidak buatku. Aku merasa memang dialah cewek yang tuhan ciptakan khusus untukku. Aku akan menjaganya. Akan membahagiakannya. Aku juga ingin sekali segera dewasa dan bisa menjadikannya istriku. Untuk yang terakhir itu aku belum ingin mengatakannya padanya, karena dia pasti akan menertawakanku.

***

Senja

Fajar. Sejak awal aku sudah tertarik padanya. Mungkin Karena sifatnya yang bertolak belakang denganku. Aku tipe orang yang mengalir mengikuti arus. Sementara dia selalu berdiri tegap menghadapi tiap ombak yang datang. Dia terlihat mengaggumkan bagiku. Meskipun aku tidak menunjukkan kekagumanku itu. Aku hanya berusaha dekat dengannya, meski akhirnya kami harus bermusuhan seperti anak tk.

Berkat nenek Fajar, kami bisa berteman baik. Sekarang kami juga berpacaran. Aku sangat percaya padanya dan aku rasa aku tidak akan pernah bertemu orang seperti dia dimasa depan. Tapi semua keadaan ini membuatku ragu, dan sedikit tidak mempercayai Fajar. Bukan karena aku tidak mencintainya. Melainkan karena aku sangat mencintainya, aku takut saat kami berpisah. Hanya aku sendiri yang merasa sakit. Aku tidak menyangka, apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Aku dan dia harus berpisah dalam arti nyata. Aku harus ikut ibu tiriku pergi entah kemana, dia tidak mau memberitahuku. Setelah bapakku meninggal, dialah yang bertanggung jawab atas diriku.

***

“Kapan kamu pergi?” tanya Fajar.

“Besok” Fajar tidak bereaksi dengan jawaban yang diberikan Senja.

“Kamu benar-benar ingin pergi dari sini, ya” katanya datar.

“Iya, sangat ingin. Tapi itu bohong” suara Senja sedikit bergetar. Fajar berusaha tidak merasakan itu. Kalau sampai dia menanggapinya dan dia memeluk cewek ini. Dia tidak akan mau melepaskannya lagi.

“Aku tau. lebih tau darimu” Fajar tersenyum, “Besok aku tidak akan mengantarmu. Aku tidak mau melihat punggungmu”

“Aku juga tau itu. Lebih tau darimu. Kamu kan cengeng” goda Senja.

“Benar. Aku sangat cengeng”

Di jembatan yang sudah mulai gelap karena sang penerang jagat raya ini telah pergi ke peraduannya dan perannya digantikan bulan, meskipun peran bulan sedikit tertutupi oleh lampu-lampu jalan yang sudah dinyalakan.

Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Coba merekam setiap nafas yang mereka dengar. Setiap sentuhan tangan yang terjadi secara tidak sengaja. Dan langkah mereka yang seirama.

***

9 Tahun Kemudian….

Semarang

Seorang pria berumur 24 coba menghindari arus manusia di jalan yang tidak terlalu lebar. Pasar ini tetap sama seperti satu tahun yang lalu. Suasannya sama sekali tidak berubah.

Matanya berkeliling ke setiap sudut pasar. Coba mencari pemandangan yang patut dia abadikan dengan kamera miliknya. Sudah tiga tahun dia mengelilingi Indonesia sebagai fotografer freelance. Selain karena dia memang menyukai bidang fotografi, dia juga memanfaatkan pekerjaannya untuk mencari miliknya yang hilang. Bukan hilang sebenarnya, hanya pergi untuk sesaat. Saat menemukan objek yang bagus, dia membidiknya untuk mengambil gambar.

Sebuah tangan kecil menarik-narik celananya dengan semangat. Fajar menunduk untuk melihat siapa yang menarik celananya. Dilihatnya seorang anak cowok sedang memandanginya dengan pandangan penasaran.

“Mas, itu apa??” tanya bocah itu dengan logat jawa yang kental.

“Ini? Ini kamera” Fajar berjongkok supaya bocah itu tidak perlu mendongak untuk melihatnya.

“Buat foto ya mas?” tanyanya lagi,

“Iya. Kamu mau mas foto?” tanya Fajar bersiap mengambil gambar bocah itu,

Bocah itu mengangguk. Dia berdiri tegap dengan wajah yang terlihat gugup, apa mungkin ini pertama kalinya dia difoto.

“Senyum, ya. Satu. Dua. Tiga” Bocah itu ternyata menuruti perkataan Fajar. Dia tersenyum. Sekejap, sosok bocah itu berada di LCD kameranya.

“Bagus?” tanya Fajar pada anak itu. Anak itu mengangguk dan kemudian meraih tangannya. Dia menyeret Fajar, Fajar sebenarnya sedang sibuk. Tapi sepertinya anak itu, tidak akan berbuat sesuatu yang buruk padanya.

***

“Ya, ampun. Awakmu ko endi ae, le” ibu-ibu yang ada di belakang meja warung itu terlihat cemas saat melihat putranya muncul di warung sambil menggandeng seorang lelaki.

Anak itu segera menghampiri ibunya dan membisikkan sesuatu. Setelah mendengar itu. Sang Ibu segera mempersilahkan Fajar duduk dan segera menghidangkan nasi berserta lauk-pauk.

Saat Fajar menyantap makanan itu. Dia tidak sengaja seseorang membicarakan sesuatu mengenai, Senja, dinikahkan, dan ibu tirinya. Fajar segera menoleh, “Maaf. Tadi anda menyebut nama Senja??”

“Iya. Senja, anak tirinya Bu Sri. Dia akan dinikahkan sama anak pemilik tempat potong sapi di ujung gang”

“Di, dimana saya bisa menemui Senja??” tanya Fajar tidak sabar dia berdiri dan mendekat pada orang yang tadi membicarakan senja. Setelah mendapat jawaban dari orang itu, tentang dimana dia bisa menemui Senja. Fajar berlari keluar warung setelah meninggalkan uang seratusan ribu dan membuat semua orang takjub.

Dia menyusuri jalan pasar yang ramai. Dia coba mencari celah supaya cepat sampai di gerbang belakang pasar tempat dimana Senja berjualan bunga.

Tapi saat dia menoleh ke samping. Dia tidak sengaja menabrak seseorang. “Maaf” katanya cepat. Dia tidak menolong orang yang ditabraknya. Karena pikirannya terlalu penuh dengan Senja.

“Senjaaa” Fajar berhenti seketika saat mendengar ada seseorang memanggil nama Senja. Fajar berbalik dan mendapati orang yang tadi dia tabrak melambai pada orang yang tadi memanggil nama Senja. Segera dia hampiri wanita itu, ia tarik lengannya supaya dia bisa melihat wajahnya.

Wanita itu terlihat kaget. Tentu saja, siapa yang tidak kaget dengan perlakuan seperti itu.

“Senja” panggil Fajar dengan tampang tidak percaya.

“Ya?”

“Ini aku. Fajar” setelah Fajar menyebutkan namanya. Airmata wanita itu menetes sebutir demi sebutir. Menghiasi wajahnya yang jelita.

Fajar langsung memeluknya tanpa peduli pandangan sekitar yang ada di pikirannya saat itu, Senja.

***

“Aku tidak menyangka kamu akan benar-benar datang” ujar Senja setelah mereka pergi dari tempat tadi. Sekarang mereka berdua duduk di trotoar.

“Kamu tidak percaya padaku?”

“Bukan tidak percaya. Tapi takut”

“Aku sudah datang. Aku tidak tau kalau ternyata kamu ada di sini. Padahal aku sudah dua kali datang kesini. Sekarang, seperti ucapanku saat itu. Aku akan membawamu. Kamu harus ikut denganku”

“Aku tidak bisa”

“Karena kamu akan menikah? Apa perasaanmu sudah berubah? Yah, mungkin itu wajar. Sudah Sembilan tahun kita tidak bertemu”

“Sedetikpun perasaanku tidak pernah berubah. Setiap kali mengingatmu, yang bisa aku lakukan cuma menangis”

“Kalau begitu ikutlah. Besok aku harus pergi Magelang. Ikutlah, setelah dari sana kita pulang. kita temui nenek dan kita menikah” kata Fajar dengan pandangan lurus manatap mata Senja.

“Aku…” Perkataan Senja terpotong oleh dering ringtone dari handphone Fajar.

“Sebentar” Fajar kemudian menekan tombol di handphonenya, “Ya, ka?? Iya. Jadi. Oh ya, beli dua tiket, ya. bukan apa-apa. Ntar gue ceritain. Iya. Thanks”

Setelah menutup hp-nya. Dia kembali menatap mata Senja. “Aku sudah memesan dua tiket. Satu untukmu dan satu untukku. Besok jam Sembilan datanglah ke stasiun. Aku menunggumu”

Diam. Tidak ada jawaban dari Senja.

Fajar tau, ini semua terlalu tiba-tiba untuk Senja. Dia kemudian tersenyum dan meraih badan Senja. Ia peluk kekasihnya yang Sembilan tahun tidak dia temui. Erat dan erat. Di telinga Senja, Fajar berbisik. “Apa dulu kamu memang secantik ini??”

Mendengar itu, Senja tersenyum geli. Lalu balas memeluk Fajar. Dia tidak peduli lagi orang melihat. Dia sangat merindukan Fajar. Suatu keajaiban sekarang dia bisa memeluknya.

***

Saka menatap sekeliling. Mencari sosok yang semalam diceritakan Fajar. Dia memang pernah mendengar cerita tentang cewek bernama senja. Dan itu yang membuat Saka kagum pada Fajar.

“Mana, Jar? Dia nggak datang? Sepuluh menit lagi kereta datang tuh” kata Saka.

Fajar tidak menjawab. Dia diam dan hanya memejamkan mata.

Dari kejauhan, Saka melihat seorang cewek yang persis seperti diceritakan Fajar terlihat kebingungan.

“Jar. Itu. Dia datang”

Fajar segera berdiri dan melihat Senja berjalan terburu-buru kearahnya. “Belum terlambat?”

Fajar kembali memeluknya. “Jangan membuatku takut, dong”

“Yah, kamu memang cengeng, sih” Senja menepuk-nepuk punggung Fajar. “Terimakasih sudah mencariku”

Setelah itu. Bunyi kereta api terdengar, besi panjang itu perlahan tapi pasti berhenti di depan mereka. Saka melambai pada kedua orang itu, dan mengatakan, “Gue tunggu undangannya”

FIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun