Mohon tunggu...
Dewi Wulandari
Dewi Wulandari Mohon Tunggu... -

Hanya seorang Kuli Tinta yang mencoba mengeluarkan imajinasi yang terus berputar-putar di dalam otak dengan tulisan dan seorang desainer di Perusahaan digital printing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Falling in Love at Angkot

4 April 2012   12:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:02 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berangkat sekolah adalah kegiatan paling membosankan dalam hidupku. Benar. Itu benar-benar membosankan. Seandainya di dalam angkot ada hiburan gratis. Seperti tv atau paling enggak radio. Yang ada di sini hanya orang-orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sopir sedang konsentrasi mencari jalan di tengah jalanan yang padat ini.

Sementara para penumpang kebanyakan disibukkan dengan benda yang mengubah peradaban manusia dalam hal informasi dan teknologi. Handphone.

Kalau aku, sih. Nggak terlalu tergantung pada benda satu itu. Makanya, perjalan menuju ke sekolah benar-benar seperti neraka berjalan. Yang bisa kulakukan cuma melihat jalan yang satu hari yang lalu, dua hari yang lalu, satu minggu yang lalu, bahkan satu tahun yang lalu pemandangannya selalu sama. Macet.

Tapi sejak beberapa hari yang lalu. Berangkat sekolah adalah kegiatan yang paling aku tunggu. Alasannya sepele. Sudah beberapa kali ada cowok yang naik angkot bersamaku. Cowok itu entah kenapa menarik perhatianku. Dia naik setelah angkot berjalan sekitar sepuluh menit dari tempatku naik. Dia memakai seragam sekolah. Berarti dia sepantaran denganku. Dia selalu duduk di depan, di samping pak sopir. Hehehehe, kayak lagunya naik delman, ya??

Ini sudah ke empat kalinya dia duduk di depan. Sementara aku, cuma duduk di belakang. Karena di depan hanya muat untuk dua orang. Satu, pak sopir. Dua, si cowok itu.

Sekarang, saat perjalan menuju sekolah. Bukan pemandangan macet yang kulihat. Tapi arah depan. Aku selalu mengincar tempat duduk di belakang pak sopir yang menghadap langsung ke pintu.

Di tempat itu. Aku bisa melihat sepuasnya si dia. ‘Dia’?? mau apa lagi, aku nggak tau namanya. Suaranya pun aku nggak tau. setiap hari aku hanya memandanginya, memperhatikan arah pandangan matanya yang selalu lurus ke depan. Bibirnya yang tertutup rapat. Gerakan naik turun dadanya, yang berirama mengikuti nafasnya. Beruntung, aku bisa melihatnya di kaca yang ada di depan. Paling tidak aku bisa melihat wajahnya meskipun agak buram.

“Neng. Neng”

“Ya??” aku kebingungan karena tiba-tiba ada yang menowel pundakku, aku mendapati pak Sopir melihatku dengan tatapan heran,

“Udah sampai sekolah” kata Pak Sopir itu sambil menunjuk gerbang sekolahku yang sudah diramaikan murid-murid,

“Ah. Ma, maaf, Pak” aku segera bergegas turun. Tidak tahan dengan pandangan orang-orang di dalam angkot yang terlihat ganas. Pasti yang ada dipikiran mereka, kenapa aku tidak segera turun. Memperlambat saja. Saat turun, aku menyempatkan diri untuk memandangnya sekilas dan dari kaca spion depan, aku bisa melihatnya sedang melirik sekilas kearahku. Benar. Dia melirik kearahku. Ya, tuhannnn. Pasti malam ini aku nggak akan bisa tidur nyenyak. Sorot matanya tajam. Entah apa memang itu caranya melihat, atau dia juga merasa terganggu dengan ketololanku?? Yang mana saja terserah. Yang penting dia melihatku. Dia melihat diriku ini.

***

Salah satu hal yang kubenci saat bersekolah adalah ulangan harian. Apalagi matematika. Kenapa sih ada yang namanya matematika?? Dan kenapa juga otakku tidak mau berkerja dengan baik kalau berhubungan dengan matematika. Di dalam angkot aku berusaha membaca kembali materi yang akan keluar di ulangan kali ini. Paling tidak, aku tidak mau remidi di ulangan ini. Saat angkot berhenti tiba-tiba, aku juga ikut tersadar. Cowok itu. Bodoh. Kenapa bisa lupa.

Aku mendongak. Dia berjalan kearah angkot dan masuk. Bukan ke bangku depan seperti biasanya. Tapi di belakang. Aku menoleh kearah depan. Bangku itu sudah ada yang mengisi. Makanya dia masuk di belakang. Aku kembali menoleh kearahnya yang sedang masuk dan mencari tempat duduk. Dia sadar aku melihatnya, dia melepaskan senyuman tipis sambil mengangguk. Saat itu rasanya roh-ku seperti dicabut. Kenormalan pikiran rasanya hilang entah kemana. Apalagi saat dia mengambil duduk tepat di sampingku. Tubuh bagian kiriku rasanya tidak bisa digerakkan. Terasa kaku.

Selama perjalanan itu. Aku hanya bisa menunduk memandangi bukuku meskipun sebenarnya aku tidak membacanya. Wangi perfume yang beberapa saat masuk ke hidungku, memberi efek yang lumayan padaku. Aku tidak bisa berkonsentrasi lagi. Jadi, remidi matematika pun tak apa.

***

“Nad, kamu di kamar?” itu suara ibu.

“Iyaaa” jawabku dengan lantang,

“Nggak biasanya kamu ngumpet di kamar. Biasanya habis pulang sekolah langsung nongkrong di depan tv” ujar Ibu padaku yang tengah berbaring di tempat tidur,

“Lagi nggak pengen, Bu”

“Nggak pengen??” Ibu terlihat heran dengan jawaban yang barusan kuberikan. “Biasanya meski ada hujan petir juga kamu tetep nonton tv. Aneh.”

“Nggak aneh, Bu. Aku mau istrihat. Ibu keluar dulu, ya” Pintaku halus,

“Baik. Baik” ibu segera keluar karena tau aku sedang tidak mau diganggu.

“Haaaah” aku menghela nafas. Untuk yang kesekian kalinya. Ulangan harian kali ini bisa dibilang yang paling ancur. Itu semua cuma gara-gara seorang cowok asing yang nggak aku kenal sama sekali.

“Apa aku harus kenalan, ya” gumamku, sambil memandangi langit-langit kamarku yang polos.

“Tapi apa nggak terkesan aneh??” aku kembali menghela nafas. Ini memang bukan cinta pertamaku. Tapi kenapa rasanya seperti ini, ya.

“Tapi kalau nggak kenalan. Sampai kapan aku harus kayak gini??” Aku bangun. Memikirkan berbagai kemungkinan. Aku sudah memutuskan. Pokoknya harus kenalan. Besok.

***

“Ayo, Neng” panggil sopir angkot yang biasanya, dia sudah seperti langganan tetapku. Jam sudah aku perhitungkan selama ini.

“……….” Aku tersenyum dan kemudian naik.

Di dalam angkot. Aku kembali memikirkan bagaimana cara berkenalan dengan cowok itu. Gimana kalau dengan cara ‘tidak sengaja’. Ah, iya. Jatuhin barang. Nanti saat dia mengambil barangku yang jatuh. Aku akan ucapkan terimakasih dan memperkenalkan diri.

Tidak. Itu sudah terlalu umum, dan pasti terkesan aneh. Ah, gimana kalau tidak sengaja ketinggalan uang buat ongkos angkot?? Iya, nanti aku pinjam dulu ke dia. Bilang kalau besok akan aku kembalikan. Tidakkk. Itu tambah malah mencurigakan.

Oh iya, dari seragamnya sepertinya dia anak STM. Gimana kalau aku pura-pura punya teman disana, aku tanya soal murid di sana. Nanti aku juga bisa tanya dia jurusan apa dan kelas berapa. Ahhh, tapi aku tidak punya teman di sana. Kalau sampai dia tau. pasti aku dianggap pembohong.

“Neng…. Neng…..” lagi-lagi. Sepertinya Pak Sopir sudah dari tadi memanggilku. Tapi aku malah tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Ya??” tapi tidak biasanya Pak Sopir memanggilku. Padahal belum sampai sekolah.

“Udah sampai sekolah, neng” katanya dengan nada kalem. Sepertinya dia sudah memahami kebiasaanku yang suka bengong.

“Apa?!” aku menoleh ke depan, gerbang sekolahku terlihat kokoh di sana. Aku menoleh, ke sampingku. Seorang ibu-ibu dengan dandanan menor dan parfum menyengat memandangiku dengan jengkel. Aku susuri satu persatu orang yang ada di belakang. Tidak ada. Lalu aku menoleh ke depan. Tempat duduk di samping Pak Sopir. Seorang cewek berseragam biru putih. Bukan. Lalu. Kemana dia?! Kenapa dia tidak ada??

“Neng?? Ayo cepet turun” kata Pak Sopir itu lagi,

“Ah, I, iya” aku perlahan turun.

Angkot yang biasanya membawanya ke sekolahnya. Perlahan menjauh dari tempatku berdiri. Kepalaku rasanya seperti dibebani ratusan batu kali. Kenapa dia bisa tidak ada. Apa dia nggak masuk? Apa dia naik angkot yang lebih pagi?

***

“Hei”

“Apa??” tanya Frisca yang sedang mencatat tulisan-tulisan di white board depan ruangan,

“Tau nggak seragam sekolah kotak-kotak merah marun? Itu sekolah mana? STM bukan?” tanyaku dengan pandangan kosong tertuju ke depan,

“Iya. Itu STM deket perempatan sana” jawab Frisca. Ternyata benar. Memang anak STM. Berarti memang kemungkinan dia tidak masuk.

“Ngomongin apaan??” Niesha ikut-ikutan nimbrung, dia menoleh ke belakang dengan wajah penuh antusias.

“Dia nanya seragam kotak-kotak merah marun. Itu seragam anak STM, kan??” tanya Frisca pada Niesha.

“Iya. Emangnya punya kenalan disana?” tanya Niesha padaku.

Aku menggeleng. Pandanganku masih tertuju kedepan.

“Eh, tapi kayaknya nggak enak, deh. Sekolah disana” ujar Niesha tanpa diminta.

“Iyalah. Sekolah isinya cowok semua. Mananya yang enak. Yang ada cuma perasaan ngeri” kata Frisca.

“Bukan. Bukan itu” Niesha menggeleng. “Jam masuknya maksudku. Kalian tau jam berapa masuknya?? Jam enam lebih seperempat. pagi banget, kan??”

“Enam seperempat?!! Gila. itu sih penyiksaan. Apalagi kalau cowok, pasti sukanya tidur sampai siang, kan?” Frisca terkejut dengan informasi yang dibawa Niesha.

“Enam seperempat? Yakin??” tanyaku yang terkejut.

“Iya. Tetanggaku ada yang sekolah di sana. Di sana ketat banget peraturannya” kata Niesha mengangguk-angguk.

“Sepertinya obrolan kalian sangat menarik sampai tidak memperhatikan Ibu” tegur Bu Tutik dengan senyuman mautnya.

Sekejap kami terdiam.

***

“Bye, Nad. Jangan lupa hukuman kita, ya” seru Niesha dengan suara kalengnya. Frisca juga ikutan mengangguk. Dengan segera motor mereka menjauh dari tempatku berdiri. Gara-gara tadi. Kami bertiga dihukum besok pagi harus datang pagi dan membersihkan ruangan BP. Mau apalagi, salahku juga sih.

TIN TIN TIN

Angkotnya datang. Aku harus segera pulang dan makan. Laper banget. Oh, iya. Tadi Niesha bilang kalau STM masuknya jam enam seperempat. Sementara dia berangkat sekitar jam setengah tujuh lebih. Aku sampai sekolah saja sekitar jam tujuh kurang sepuluh menit. Gimana dengan dia?? Pasti sekitar jam tujuh. Kalau gitu dia terlambat hampir empat puluh lima menit.

Makanya. Pasti mulai tadi dia berangkat pagi-pagi sekali supaya nggak telat lagi. Apa aku berangkat lebih pagi lagi, ya?? jam berapa?? Jam enam? Mau cari apa aku berangkat jam segitu.

Arghhh. Sudahlah. Memikirkan itu bikin aku gila saja.

Ckiiitttt

Entah karena apa. Tapi Angkot tiba-tiba mengerem. Hingga membuatku terkena efek hampir terjerembab jatuh kedepan. Kalau sampai itu terjadi aku bakalan langsung jatuh kejalan. Karena aku duduk tepat di depan pintu belakang.

Beruntung. Ada yang menahan lenganku. Aku masih menata perasaanku. Aku kembali duduk, kali ini berpegangan pada sandaran tempat duduk pak sopir.

Ah, iya. Harus berterimakasih. Aku menoleh ke samping, “Maka….”

Aku terperangah saat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Bukan. Itu bukan sengaja. Melainkan karena angkot penuh dan kami harus saling berdempetan.

“…..” Dia mengangguk dan tersenyum. Seperti biasanya. Tapi. Kenapa dia bisa disini?? Hari ini bukannya dia tidak masuk??

“Nad… Nadia” kataku spontan. Dia mengrenyitkan dahi. Tanda tidak mengerti maksud perkataanku, “Namaku Nadia. Boleh kenalan??”

Dia diam sejenak. Kemudian tersenyum lagi, “Boleh. Sandy. Nggak nyangka kalau ketemu di sini. Padahal aku berpikir kalau hari ini tidak bisa bertemu”

“Apa?”

“Tadi pagi aku harus berangkat tepat waktu. Tujuh kali aku terlambat. Guru piket sudah mengancamku. Jadi terpaksa harus berangkat pagi” katanya. “Aku pikir tidak bisa melihatmu”

“Ya?”

“Tapi sepertinya mulai sekarang tidak bisa bertemu saat pagi. Soalnya sulit” katanya dengan wajah antara senang dan kecewa,

“E, besok. Aku berangkat pagi. Aku dihukum. Jadi, kurasa bisa. Lalu, seterusnya. Kita bisa bertemu saat pulang sekolah” kataku dengan lancar. Entah dapat keberanian dari mana.

“……….” Dia tersenyum lagi. “Bagus kalau begitu.”

FIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun