Mohon tunggu...
Dewi Wulandari
Dewi Wulandari Mohon Tunggu... -

Hanya seorang Kuli Tinta yang mencoba mengeluarkan imajinasi yang terus berputar-putar di dalam otak dengan tulisan dan seorang desainer di Perusahaan digital printing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumour

7 April 2012   05:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hilman

“Woiii. Oper. Oper” teriak salah seorang pemain bola yang tengah berlari-lari mengejar bola yang hanya satu.

Di pinggir lapangan terlihat seseorang yang tengah beristirahat. Nafasnya ngos-ngosan, tanda dia habis bermain bola.

Di samping cowok itu, beberapa anak ekskul bela sedang membicarakan cewek. Hilman hanya menguping pembicaraan tanpa berminat untuk ikut campur.

“Heh. Bengong aja” tegur salah seorang teman Hilman, Tian.

“Bikin kaget aja. Enggak kok” kilah Hilman.

“Mereka ngomongin apa, sih?” tanya Tian pada Hilman.

“Adina” jawab Hilman singkat. Tapi langsung mendapat reaksi heboh dari Tian.

“Adina?! Ada apa dengan dia?? Dia kenapa lagi??” tanya Tian,

“Mana gue tau” ujar Hilman.

“Gilaa” Tian menggeleng. “ada ya cewek secantik itu. Badannya kayak gitar spanyol”

“Emang lo udah pernah liat gitar spanyol??” canda Hilman.

“Perumpamaan, ini”

Adina. Itu nama cewek yang bisa dibilang lebih terkenal dari Syahrini ataupun Julia Perez di sekolah ini. Semua mulut cowok di sekolah ini pasti pernah membicarakannya. Cewek pun banyak yang melirik iri padanya sambil bergossip tentang dia. Banyak sekali gossip-gossip nggak enak di dengar dari dia. Mulai dari dia sering gonta-ganti pacar. Pacarnya itu udah umur tigapuluhan. Cewek panggilan lah, apalah.

Tapi sampai detik ini Hilman belum pernah bertemu dengan Adina. Itulah kenapa Hilman tidak terlalu heboh, palingan juga cantik seperti pada umumnya. Tian bilang kalau bisa berhadapan dengan Adina, merupakan suatu anugrah. Pasti kemarin malam mimpi ketiban duren.

***

“Woiii. Hilmannn. Siniii” teriak Tian dari kejauhan.

Hilman segera berjalan kearah Tian duduk saat menemukan keberadaan temannya itu. Tapi entah karena tidak memperhatikan sekitar dia jadi menyenggol seseorang sampai dia hampir terjatuh. Beruntung. Hilman berhasil menahan lengan cewek itu. Cewek itu tanpa basa-basi mengibaskan tangan Hilman dan melotot padanya.

Hilman bukannya takut. Malah terpana melihat wajah cewek itu. Hilman percaya kalau peri itu ada, tapi tidak menyangka kalau ada satu di depannya. Cewek itu bermata bulat, alisnya lurus sedikit naik keatas diujungnya, bibirnya mungil, dan hidungnya yang mancung. Pipinya juga berwarna pink, Itu mungkin efek marahnya.

“Mata di pake kalau jalan di tempat ramai” ujar cewek itu. Bahkan suaranya yang sedang marah terdengar seperti alunan musik.

Hilman masih terpana. Sampai saat cewek itu pergi keluar dari kantin.

“Woiii, Hilman… Ngapain sih lo, bengong di situ. Ayo sini” seru Tian menyadarkan Hilman.

“Gue baru aja ketemu sama peri, yan” kata Hilman. Ketika dia sudah duduk di samping Tian.

“Peri dari hongkong?! Itu Adina juga….” Tian terkekeh mendengar candaan Hilman.

“Adina?? Dia??” Tanya Hilman.

***

Adina

Kalian akan menjadi pusat perhatian kalau kalian berbeda dari orang-orang sekitar kalian. Itu juga terjadi padaku. Hanya karena aku punya wajah yang lebih baik dari cewek-cewek di sekolah ini, punya badan yang jauh lebih berbentuk dari cewek-cewek di sini. Aku menjadi pusat perhatian. Tentu menjadi pusat perhatian akan memunculkan beberapa dampak buruk. Apalagi yang aku alami, rumor-rumor bodoh yang entah siapa orang bodoh yang membuatnya.

Adina suka gonta-ganti pacar lah. Menurutku sih itu wajar, bukankah kita pacaran itu untuk mencari seserorang yang cocok?? kalau tidak cocok ya putus. Adina suka pacaran sama orang yang udah berumur. Berumur darimana, itu rumor nggak berdasar. Adina cewek panggilan. Ya, emang aku cewek yang suka dipanggil. Maksudnya, kalau ada guru memanggilku, ‘Adina’, tentu saja aku datang dan bertanya, ‘Ada apa, bu?’. Adina sudah bosan dengan rumor-rumor itu. Sampai-sampai dia sudah terbiasa mendengar cerita-cerita konyol itu.

“Hai, Dina…” tegur salah seorang kakak kelas Adina, saat dia berjalan keluar dari kantin.

“Hai” Dina hanya membalas seadanya. Karena mood-nya sedang kacau, gara-gara ada orang yang menganggetkannya tadi di kantin.

“Hari ini ada waktu?” tanya cowok itu yang berusaha menjajari langkah Adina.

“Ada apa emangnya, kak?” tanya Adina datar.

“Mau ngajak kamu nonton” kata cowok itu dengan tampang sok keren,

“Maaf. Aku nggak bisa. Udah ada janji” kata Adina sopan, kemudian mempercepat langkahnya. Meninggalkan cowok yang pasti kecewa dengan penolakan tadi.

***

“Dina, sini” seru seseorang di meja café yang lumayan ramai.

Adina berlari kecil menghampiri cowok itu. “Maaf. Nunggu lama?”

“Enggak, kok” cowok itu tersenyum.

“Ada apa? Biasanya kamu sibuk sama kegiatan osis. Hari ini tiba-tiba nelpon aku. Padahal biasanya aku sendiri yang maksa kamu keluar” kata Adina,

“Hahahaha. Maaf, ya” ujar cowok itu dengan wajah menyesal.

Johan. cowok teman SMP Adina. Yang sudah sekitar dua tahun jadi pacarnya. Sebenarnya selama di SMP Adina tidak terlalu dekat dengan cowok yang bertipe rajin dan tekun ini. Tapi saat akan lulus SMP. Adina dapat pernyataan cinta darinya, tidak ada alasan untuk menolak cowok ini. Apalagi dengan wajahnya yang malu-malu saat menyatakan cinta.

“Iya, dimaafin. Tapi, hari ini kamu harus traktir aku. Oke?” kata Adina ceria,

“Iya” jawab Johan. tapi ada yang aneh dengan Johan hari ini. Entah kenapa dia terlihat tidak seperti biasanya.

“Ada apa? Kenapa wajah kamu begitu?” tanya Adina cemas. Padahal makanan di depan mereka terlihat begitu menggoda. Tapi Johan berwajah seperti akan menghadapi hukuman pancung.

“Din, aku, mau bicara sesuatu sama kamu” kata Johan dengan serius. Matanya lurus menatap Adina.

“Ada apa?? Sepertinya ini serius” ujar Adina sambil tersenyum. Tapi kemudian senyum Adina hilang.

“………..” Johan diam sejenak. Kemudian kembali menatap Adina dengan mantap. Dia merasa harus segera mengatakannya, sebelum ini semua menyakitkan untuk Adina. “Kita putus”

“……………” Adina masih mencerna dua kata dari Johan. “Kenapa? Apa aku berbuat salah?”

“Bukan. Bukan kamu. Aku yang salah. Maaf. Aku berpikir meskipun kita berbeda sekolah. Kita bisa menjalani hubungan ini. Tapi sepertinya sekarang sudah nggak bisa. Aku tau ini jahat buat kamu. Tapi, ada cewek yang aku sukai” kata Johan dengan mata tetap menatap lurus Adina. sepertinya dia benar-benar sudah yakin akan mengatakan itu semua.

“Dia teman satu sekolahmu?” tanya Adina,

“Iya. Dia juga anak OSIS. Awalnya aku berusaha tidak menganggap perubahan perasaanku. Tapi, tidak bisa. Maaf” Johan menunduk saat mengatakan maaf.

“Baik” kata Adina. Johan mendongak melihat wajah Adina, tapi yang dia takutkan tidak terjadi. Adina tersenyum. “Kita putus. Tapi, tolong untuk sementara waktu. Jangan menyapaku dulu ya kalau bertemu. Aku tidak marah. hanya saja aku butuh waktu. Kamu tau, aku benar-benar menyayangimu. Kamu cowok paling baik yang pernah aku temui”

Adina berdiri dari tempat duduknya. “aku pulang dulu. Kamu yang traktir, kan?”

***

Hilman & Adina

Ternyata seperti ini rasanya patah hati. Itu yang ada di pikiran Adina beberapa hari ini. Tiga hari yang lalu, Johan meminta berpisah darinya. Tidak ada alasan untuk menahan cowok baik itu tetap di sisinya. sementara hatinya tidak lagi untuk Adina.

Sepulang sekolah hari ini entah kenapa Adina ingin pergi ke kolam renang yang ada di belakang Aula. Kolam renang satu-satunya milik sekolah yang entah kenapa hari ini sepi. Padahal biasanya ekskul renang berkumpul di sini.

Adina duduk di tepi kolam. Diletakkannya sepatu dan tasnya di kursi yang ada di dekat pintu. Dia menatap kosong air kolam berwarna  kebiruan itu. Air itu terlihat tenang. Tapi Adina yakin tidak dengan bagian dalam air itu. Seperti dirinya saat ini.

“!!” Dina sadar kalau ada air yang keluar dari sudut matanya. Dia coba menghilangkannya. Tapi air itu menetes lagi. Sekarang sepertinya semakin deras.

Adina berdiri perlahan di tepi kolam renang sambil membelakanginya. Perlahan dia jatuhkan dirinya ke kolam renang hingga ia terjatuh ke dasar kolam. Di rasakannya air kolam itu membungkus badannya. Terasa nyaman. Adina menangispun tidak ada yang tau.

***

“Panas…” gerutu Hilman sambil meletakkan tasnya di kursi. Dia melihat ada tas yang terlebih dahulu ada disana. Sepertinya milik seorang cewek. Tapi dimana dia sekarang. Sepatunya juga ada. Apa mungkin dia di ruang ganti. Pasti begitu.

Hilman segera melepas sepatunya. Dan melangkah ke pinggir kolam. Matanya hampir meloncat keluar saat melihat ada seorang cewek yang matanya terpejam di dalam sana. Hilman mengucek matanya, tapi saat dia melihat lagi kedalam air. Cewek itu masih ada. Lalu, tas di kursi itu. Pasti milik cewek ini.

Tanpa  pikir panjang Hilman terjun ke dalam kolam meski dia masih memakai seragam lengkap. Dia menyelam mendekati cewek itu, dan meraih badannya. Cewek itu masih terpejam. Jangan-jangan dia sudah tewas. Setelah berhasil membawa cewek itu permukaan. Hilman coba menyadarkan cewek itu. Tapi yang ada Hilman malah ditampar oleh cewek itu.

“Apa, sih?! Gue kan nolongin lo. Kalau mau bunuh diri cari tempat lain, dong. Gue nggak mau dijadiin saksi” kata Hilman yang sudah naik ke pinggir kolam sambil mengelus pipinya yang terasa panas setelah ditampar tangan itu.

“…………” cewek itu membenarkan rambut panjangnya yang menutupi wajahnya. “Siapa yang bunuh diri?! Jangan sembarangan, ya”

“Lho…” Hilman terbengong saat sadar yang ada di depannya itu Adina.

“Elo lagi..” Ujar Adina yang berusaha naik ke pinggir kolam. “Suka banget ya ganggu orang”

Adina segera berdiri meninggalkan Hilman. Hilman hanya bengong masih tidak percaya dengan yang dia lakukan tadi. Tapi saat melihat Adina, dia sadar ada sesuatu yang salah.

“Tunggu. Tunggu” kata Hilman segera menyusul Adina. diraihnya jaket miliknya di atas tasnya, dan dia pakaikan ke badan Adina. Adina sebenarnya coba memberontak tapi tidak bisa. Hilman memastikan resleting itu tertutup semuanya sampai ke leher Adina.

“Jangan lepas jaket itu sebelum kamu sampai rumah. Inget, jangan. Terserah kamu mikir apa soal aku. Tapi aku cuma minta satu itu.” Kata Hilman dengan serius, “Lalu, kalau berenang, jangan pakai seragam lengkap gitu”

“……………..” Adina hanya menatap Hilman jengkel. Kemudian meninggalkan Hilman.

“Ya ampun. dilihat dia lebih lama lagi bisa gila gue” gumam Hilman sambil menggaruk kepalanya dengan frustasi. Dia melihat badannya. “Seragam gue basah. Gimana gue sekolah besok??”

***

“Adina?!” Ibu kaget melihat anak gadisnya masuk rumah dalam keadaan basah kuyup. “Emangnya tadi hujan, sampai kamu basah-basah begitu??”

Ibu melihat keluar dari jendela. Tapi langit sangat cerah. Tidak ada tanda-tanda baru turun hujan.

“Dina kecebur kolam, bu” jawab Dina sebelum masuk kamarnya. Di depan kaca dia menatap wajahnya yang kacau. Jaket milik cowok asing itu masih menempel di badannya. Di lepaskannya tas yang masih ada di bahunya. Setelah itu dibukanya resleting jaket itu dan dileparkannya asal ke lantai.

Adina menatap badannya yang basah kuyup seperti tikus baru tercebur got. Adina menyadari sesuatu saat mengamati pakaiannya. Dia jadi teringat ucapan cowok asing tadi, “Jangan lepas jaket itu sebelum kamu sampai rumah. Inget, jangan. Terserah kamu mikir apa soal aku. Tapi aku cuma minta satu itu.”

Adina tersenyum. Kemudian tertawa sendirian. Dia mengambil jaket yang tergeletak di lantai dan mendekapnya. Karena baju seragam Dina basah, membuat bra Adina terlihat. Makanya, cowok itu memakaikan jaket miliknya.

***

“Lo bilang beberapa hari yang lalu lo nolongin Adina??” Tian terpingkal-pingkal mendengar cerita dari Hilman. “Ngarang lo”

“Lo nggak percaya?? Beneran, dia nyebur kolam, gue kira dia bunuh diri. Jadi gue tolongin” kata Hilman sebal karena ceritanya tidak dipercaya.

“Hilman?” sapa seorang cewek. Hilman yang tengah duduk di lantai bersama beberapa temannya termasuk Tian. Mendongak melihat kaki siapa yang ada di depannya.

“A, Adina?!” Tian gelagapan menyebutkan nama yang dimiliki cewek di depan mereka.

“Ini. Punya kamu. Kemarin terimakasih” kata Adina sambil menyerahkan jaket milik Hilman. “Sudah aku cuci, kok”

“Iya. Makasih” Hilman menerima jaket itu, tangannya sempat bersentuhan dengan tangan Adina. entah kenapa itu membuat dadanya semakin berdebar tidak karuan.

“Kamu. Mau jalan nggak sama aku?” tanya Adina dengan wajah malu-malu.

“Jalan? Kemana?!” tanya Hilman polos. Maklum, selama tujuh belas tahun dia tidak pernah mengenal yang namanya cinta. Yang dia lakukan hanya bermain sepak bola.

“……….” Terlihat raut kaget di wajah Adina. masak dia harus mengatakannya dengan jelas. “Maksudku, mau pacaran denganku enggak?”

“He?!” tidak hanya Hilman tapi juga Tian dan yang lainnya terlihat kaget dengan perkataan Adina.

FIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun