Mohon tunggu...
Dewi Wulandari
Dewi Wulandari Mohon Tunggu... -

Hanya seorang Kuli Tinta yang mencoba mengeluarkan imajinasi yang terus berputar-putar di dalam otak dengan tulisan dan seorang desainer di Perusahaan digital printing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Don't Stop the Rain

4 April 2012   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:02 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti apa sih anak SMP seharusnya? Bukankah anak SMP yang paling normal itu sedang banyak-banyaknya memikirkan main, main, dan main?? Iya, kan??

“Minggir. Gue mau lewat” kata Bagas dengan nada ketus. Di jalan sela-sela meja, Ayu tengah berbicara dengan temannya. Ayu hanya melirik, kemudian minggir juga.

“Kenapa sih dia??” gerutunya dengan suara pelan. “ada gitu manusia kayak dia”

Lena hanya terkekeh mendengar gerutuan Ayu. Dia sudah paham betul dengan konflik yang terjadi antara Bagas dan Ayu, meskipun sampai sekarang dia tidak mengerti kenapa konflik itu bisa terjadi.

***

“Jangan lupa tugas kalian. Minggu depan Ibu minta kalian maju ke depan dan presentasi satu per satu” ulang Bu guru Bahasa Indonesia di hadapan murid-muridnya sebelum keluar kelas.

“Gimana, yu?? Lo cari dimana?” tanya Lena kebingungan.

“Gue sih udah tau mau cari kemana. Kebetulan deket rumah gue. Kakak gue sering ke sana” ujar Ayu tenang. “ntar gue kesana”

“Gue coba tanya kakak gue dulu, deh. Ntar kalau nggak ada, besok anterin gue kesana, ya?”

“Sip”

***

Ayu berjalan menyusuri jalan dengan tidak tenang. Bukan karena apa-apa, di belakangnya ada seseorang yang juga berjalan di belakangnya dari tadi. Jangan-jangan dia mencoba mengikuti Ayu. Ayu menoleh,

“Apa, sih? Lo ngikutin gue?” tanya Ayu,

“Jangan geer. Gue juga mau kearah sini” jawab Bagas, yang sambil lalu melewati Ayu.

Ternyata benar. Bagas masuk ke dalam Book Forest tanpa segan. Sepertinya dia memang sudah biasa datang kesini.

Mbak Arum, pemilik Book Forest langsung menyambut Bagas dan Ayu dengan ramah, “Siang, Bagas. Pulang sekolah?? Lho? Ada si cantik juga. Kalian barengan??”

“Enggak” jawab Bagas tegas. Padahal Ayu juga mau menjawab pertanyaan konyol itu. Tapi sudah keduluan.

“Hahahaha” Mbak Arum sepertinya tidak sadar dengan bau-bau konflik diantara mereka.

“Mbak. Aku dapet tugas dari guru, nih. Katanya disuruh cari karya sastra, trus suruh baca, habis itu dipresentasiin. Kasih saran, dong” ujar Ayu. Dia menggeser Bagas dengan paksa,

“Karya Sastra? Kamu mau yang genre apa?”

“Romantis. Percintaan” jawab Ayu dengan semangat,

“Waah, itu sih banyak di sini. Coba kamu cari di rak paling ujung” Mbak Arum menunjuk deretan rak di dekatnya.

Ayu segera mendatangi rak yang tadi ditunjukkan Mbak Arum.

“Lalu? Kamu juga mau minta saran?” tanya Arum pada Bagas yang masih berdiri di depannya.

“Enggak perlu. Ini, bukunya bagus, kata-katanya memang lumayan sulit dicerna tapi setelah kita mengerti maksudnya. Ternyata sebagus ini” kata Bagas sambil mengeluarkan buku setebal kamus dari tasnya.

“Benar, kan?! Eh, soal buku yang waktu itu kamu critain gimana?” tanya Mbak Arum dengan semangat.

“Iya. Temenku bilang dia mau jual. Dia nggak terlalu ngerti yang kayak gitu. Jadi dia dengan senang hati mau menjualnya. Dia bilang bakal kasih harga murah. Nanti kalau Mbak Arum mau kesana, aku antar” kata Bagas,

“Bagus. Bagus. Ya, udah besok minggu aja, ya. ada janji nggak kamu?” tanya Arum sambil melirik kearah Ayu,

“Apaan. Nggak ada. Mbak Arum sendiri, tiap hari kerjaannya bergaul sama buku. Coba keluar jalan-jalan. Cari pacar” goda Bagas sambil tertawa.

“Iih. Apaan, sih. Pacar apa?? Denger ya, Gas. Yang namanya cowok itu pasti akan datang sendiri. Nggak perlu dicari”

“Iya. Iya. Terserah Mbak Arum, deh” Bagas masih tertawa mendengar jawaban dari Arum.

Di tempatnya, Ayu yang mendengar suara tawa yang sangat langka dari Bagas. Menoleh dengan tatapan sinis, “Giliran sama Mbak Arum aja lo mau ketawa. Dasar, coba di kelas lo kayak gitu”

“Udah, yu?” tanya Arum, melihat Ayu datang dengan membawa beberapa tumpukan buku.

“Menurut Mbak Arum mana yang bagus?”

“Hmmmm. Ini. Ini ringan, bahasanya nggak terlalu sulit dimengerti. Jadi cocok buat kamu yang masih pemula”

“Okay”

“Aku duluan ya, Mbak” pamit Bagas yang sepertinya sudah membawa buku yang akan dia pinjam. Dia pergi tanpa melirik pada Ayu.

“Kelakuan dia bener-bener jelek” gerutu Ayu begitu yakin Bagas sudah tidak bisa mendengar suaranya.

“Siapa?”

“Dia. Bagas. Dia itu kayak kakek-kakek umur tujuh puluh tahun yang terperangkap dalam tubuh anak smp. Kelakuannya. Argghh bikin Ayu sebel”

“Bagas? Dia manis gitu, kok”

“Ma, manis?! Dari mana, Mbak?! Mbak Arum nggak tau sih gimana dia di sekolah. Dia nggak pernah senyum sama orang lain, bicara selalu ketus. Apalagi sama Ayu, kayaknya dia punya dendam sama ayu”

“Eh, tapi bener, lho. Dia keliatan manis banget kalau senyum apalagi ketawa. Kayak anak kecil”

“……………….”

***

“Saya, Pak??” tanya Ayu dengan wajah tidak percaya.

“Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini?? Sana cepat. Bukunya mau bapak pakai buat cari bahan ulangan” perintah Pak Ari.

Ayu dengan langkah gontai menuju ke perpustakaan. Padahal jam istirahat hampir habis, dia juga belum makan sesuatu.

“Buku Anatomi badan dimana?” tanya Ayu pada petugas perpustakaan.

“Di ujung. Dekat jendela”

Saat sampai di cela-cela rak yang di sebutkan petugas tadi. Ayu malah menemukan pemandangan tidak biasa. Seseorang yang membuat hidup Ayu hampir dipenuhi rasa jengkel. Tertidur di sana dengan posisi duduk bersandar pada rak di dekat jendela.

“Gimana dia bisa tidur di sini?” tanya Ayu pada dirinya sendiri.

Ayu coba mengabaikan manusia satu itu. Dia mencari dimana letak buku sialan itu. Tidak beruntung. Buku ada di belakang Bagas. Buku itu ada diantara badan bagas dan jendela. Ayu jadi bingung bagaimana cara mengambil buku itu.

“……….” Setelah menemukan cara. Ayu akhirnya mencoba mengambil buku itu sambil berdoa dalam hati supaya tidak membangunkan Bagas.

“Haaah” Ayu menghela nafas lega saat berhasil mengambil buku itu. Matanya kemudian beralih melihat Bagas yang tengah tertidur. Diperhatikannya tiap inci wajah Bagas. Bagaimana bulu matanya yang tebal, alisnya yang tebal, bibirnya yang sedikit terbuka.

“Waaaa” Ayu terjengkang ke belakang saat Bagas tiba-tiba membuka mata tepat saat Ayu memandangi mata Bagas yang terpejam,

“………” Bagas sedikit kaget dengan keberadaan Ayu di sini. Tapi saat melihat buku yang dipegangnya, Bagas mengerti. Dia tidak mengatakan apapun, dia berdiri dan pergi begitu saja. Seperti saat di Book Forest.

“………” Ayu memegangi dadanya yang bergemuruh, dan sensasi aneh yang muncul di perutnya. Entah kanapa.

***

“Lo mau kesana lagi?” tanya Lena,

“He’em. Ada yang gue nggak ngerti. Mbak Arum juga bilang kalau ada yang nggak ngerti suruh tanya” jawab Ayu yang sudah membawa tasnya keluar dari kelas.

Tapi sepertinya alam sedang tidak berpihak padanya. Padahal tadi pagi begitu cerahnya langit diatas sekolahnya. Tapi kenapa sekarang jadi hujan deras begini.

Ayu menatap kecewa jalanan di depannya yang basah diguyur hujan.

Di sampingnya seseorang sudah siap dengan membuka payung. Ayu menoleh siapa orang yang tau hari ini akan hujan. Tidak disangka orang yang ada di samping Ayu itu Bagas. Ayu segera membuang muka karena tidak mau dianggap tidak sopan sudah menertawakan seseorang. Habisnya, Bagas itu cowok, dan dia membawa payung ke sekolah. Jangan-jangan tiap hari dia bawa payung ke sekolah.

“Lo mau ke Book Forest??” tanya Bagas tanpa menoleh.

“Ha? I, iya” jawab Ayu setelah bisa menguasai dirinya.

“Gue juga mau kesana. Mau bareng? Kalau lo mau” kata Bagas yang suda memayungi dirinya dengan payung berwarna coklat tua.

“Iya” jawab Ayu segera.

Dengan perasaan tidak enak, Ayu masuk ke dalam payung, dia berusaha tidak menyentuh pundak Bagas.

Di tengah jalan Bagas berhenti tiba-tiba dan menoleh kearah Ayu. Membuat Ayu jadi salah tingkah.

“Tujuan gue nawarin lo pulang bareng itu supaya lo nggak perlu kehujanan. Tapi apa gunanya kalau lo jauh-jauh dari payung gue. Liat, pundak lo basah tuh” kata Bagas dengan wajah serius.

“Ha?” Ayu memeriksa pundaknya. Memang basah. Kenapa dia tidak sadar, ya. “Sorry, sorry”

“Dasar. Lo itu…”

Mata Ayu melebar. Seakan ingin memastikan apa yang sedang dia lihat itu nyata. Dia jadi teringat kata-kata Mbak Arum beberapa waktu yang lalu. “Eh, tapi bener, lho. Dia keliatan manis banget kalau senyum apalagi ketawa. Kayak anak kecil”

Benar. Mbak Arum benar. Baru kali ini Ayu melihat Bagas tertawa. Seperti anak kecil.

Bagas sepertinya sadar, kalau Ayu terkejut. Dia segera membuang muka, “Ayo cepetan jalan”

Untuk beberapa saat. Ayu berpikir kalau lebih baik hujan jangan berhenti turun. Juga semoga jalan ke Book Forest sejauh rel kereta api di pulau jawa. Di tengah hujah yang terasa dingin ini. Entah kenapa wajah Ayu jadi hangat.

***

Ayu benar-benar gembira hari ini. Presentasinya di puji bu guru. Apalagi akhir-akhir ini hubungannya dengan Bagas jadi membaik. Paling tidak Bagas tidak menatapnya dengan sinis. Atau berbicara dengan nada ketus.

“Eh, Eh, Yu. Lo sama Bagas pacaran?” tanya seseorang diantara cowok-cowok yang tengah bergerombol di bangku bagian belakang.

Ayu hampir saja menjatuhkan bukunya saat mendengar pertanyaan itu. Apalagi Bagas juga ada di sana. Meskipun Bagas terlihat tidak peduli. Tetap saja Ayu merasa salah tingkah.

“A, apaan, sih?! Gue sama dia?? Mana mungkin kan?! Kalian ini. Seharusnya dipikir dulu sebelum ngomong” Ayu melirik kearah Bagas. Dia sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan mengejutkan, dia malah berdiri dan keluar dari kelas tanpa sepatah katapun.

Ayu mendengus melihat kelakuan cowok satu itu. Ayu segera ikut-ikutan memasukkan bukunya dengan kasar. Kemudian berlari keluar kelas. Dia tidak terima diperlakukan seperti itu.

“Hebat banget ya lo. Ninggalin gue sendirian. Lo pikir ini nggak ada urusannya sama lo?!” Ayu nyerocos di samping Bagas yang berjalan di trotoar tanpa membuka mulut sedikitpun. “Ok. Terusin aja kayak gitu”

Ayu pergi terlebih dahulu.

***

Ayu tengah memilah buku yang mau dia pinjam dari book forest. Sementara Bagas terlihat sedang ngobrol seru dengan pemilik Book Forest. Ayu merasa tidak adil. Kenapa dengan Mbak Arum dia terlihat kayak cowok normal. Sementara sama Ayu dia jadi kayak batu yang nggak punya ekspresi dan emosi.

Ayu telah memutuskan akan meminjam apa. Kemudian berjalan kearah meja kerja Mbak Arum. “Hobi ya godain cewek yang lebih tua??”

Bagas hanya melirik. Tidak menanggapi perkataan Ayu.

Baik. Sepertinya memang percuma berinteraksi dengan makhluk satu ini. “Aku pulang dulu, Mbak”

***

“Tunggu” Ayu menoleh, melihat suara siapa yang coba menahannya. Meskipun dia sudah hafal siapa pemilik suara itu. Ayu kembali meneruskan jalannya. Sebenarnya dia lumayan senang karena Bagas mengejarnya.

“Gue bilang tunggu dulu” Bagas menarik tangan Ayu supaya dia tidak jalan lagi. Dengan terpaksa Ayu berhenti dan melihat Bagas dengan pandangan jengkel. Meskipun di dalam hati dia kegirangan.

“Apa?”

“Ini. Ketinggalan. Mbak Arum nyuruh gue ngasih ke elo” Bagas menyerahkan kotak pensil milik Ayu yang tidak sengaja tertinggal di sana.

“Jadi? Gara-gara ini lo ngejar gue” tanya Ayu dengan tingkat kejengkelan yang hampir mencapai puncak. “Sebenarnya mau lo apa, sih?! Kenapa bikin hidup gue jadi nggak jelas gini?!”

“Kenapa lo marah?? gue yang seharusnya marah”

“Kenapa elo?!”

“Ya, karena lo udah ngomong kayak gitu. Tapi masih aja deketin gue. Mau lo apa, sih?!”

“Ngomong apa?!”

“Ngomong kalau gue ini cowok membosankan dan nggak masuk daftar cowok yang layak diincar”

“Ha?! Kapan gue ngomong gitu!?”

“Nggak usah pura-pura. Lo ngobrol sama temen-temen lo di kelas pulang sekolah”

Ayu menunduk untuk mengingat-ngingat. Dia kemudian terkekeh sendiri, “Hahahahahaha”

“Kenapa lo ketawa? Lucu?!” tanya Bagas sebal,

“Makanya. Kalau nguping. Jangan sepotong-sepotong. Semuanya harus lo dengerin. Biar nggak salah paham kayak gini” Ayu menepuk pundak Bagas dengan pandangan simpati, “Lo nggak denger terusannya, sih. Gue bilang, tapi lo pengecualian. Lo punya sisi unik yang nggak dipunyai orang lain. Lo juga baik”

“……………” Bagas benar-benar merasa dirinya sangat bodoh. Jadi selama ini dia marah untuk sesuatu yang tidak benar. Ya, ampun. malu banget rasanya.

“Kenapa? Malu, ya?”
“Berisik” Bagas membuang muka.

FIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun