Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gerakan Literasi bagi Pelajar dan Permasalahan di Perpustakaan Sekolah

20 Agustus 2015   08:16 Diperbarui: 26 November 2016   11:04 4777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Berdasarkan Peraturan No 21 tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan setiap siswanya untuk membaca buku sebelum memulai jam pelajaran. Jenis buku yang akan dibaca para siswa, bebas, asalkan mengandung muatan budi pekerti. Namun, yang paling diutamakan adalah buku dongeng, karena buku dongeng bersifat menghibur dan mendidik, sehingga bisa dibaca oleh semua kalangan usia, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Ya, kegiatan tersebut diharapkan bermanfaat untuk menanamkan jiwa budi pekerti yang baik bagi pelajar. Selain itu, menurut saya, kegiatan membaca literasi sangat berguna untuk menumbuhkan minat baca sejak dini, apalagi pada pelajar usia anak-anak. Sehingga, jika sudah dibiasakan dengan buku bacaan yang ringan, maka akan semakin mudah untuk gemar membaca buku apa saja, termasuk yang berat sekalipun seperti buku pelajaran.

Dalam kegiatan membaca literatur sebelum pelajaran dimulai, tentu saja yang dibutuhkan adalah buku, terutama dongeng yang berhubungan dengan budi pekerti. Sayangnya, buku-buku seperti itu masih jarang ditemukan di sekolah-sekolah, terutama di daerah, termasuk daerah saya. Buku-buku yang sering ditemukan di perpustakaan sekolah tersebut, ya sebagian besar adalah buku pelajaran. Jelas saja, dengan buku bacaan yang cenderung monoton seperti itu, pelajar akan semakin malas membaca.

Nah, pengelola perpustakaan sekolah perlu bergerak cepat dalam pengadaan buku-buku ringan yang bermuatan budi pekerti seperti itu. Bahkan para penerbit harus segera menerbitkan buku dongeng, dengan puluhan judul buku, yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan para siswa dalam membaca. Karena, para siswa akan menjalankan program literasi sekolah, dalam waktu dekat. Bagaimana para siswa bisa membaca buku seperti itu, jika buku bermuatan budi pekerti saja, tidak ada?

Di seluruh Indonesia, terdapat jutaan gedung sekolah negeri dan swasta, dari jenjang SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA, serta SMK dan MAK. (untuk perincian jumlah secara keseluruhan, saya belum menemukan datanya). Namun, tidak semua sekolah menyediakan perpustakaan sekolah secara layak, bahkan ada sekolah yang tidak menyediakan perpustakaan sekolah, terutama sekolah yang berada di daerah-daerah pelosok, tertinggal dan pedalaman.

Tidak hanya itu, walaupun sudah ada sekolah yang memiliki perpustakaan secara mandiri, namun fasilitas yang terdapat pada perpustakaan sekolah, masih kurang dan cenderung apa adanya. Bahkan, banyak sekolah yang memiliki perpustakaan yang luasnya kurang memenuhi standar. Padahal, idealnya, standar luas sebuah perpustakaan di sekolah menurut Permendiknas no 24 tahun 2007, minimal 144 meter persegi atau setara dengan dua ruang kelas untuk menampung 36 anak (sumber: metrotvnews.com)

Selain itu, keberadaan petugas perpustakaan, atau yang disebut pustakawan, sangat berperan untuk melayani para pengguna perpustakaan itu sendiri, termasuk para pelajar yang akan mengakses perpustakaan sekolah. Sayangnya, di banyak sekolah-sekolah, petugas perpustakaan yang ada, adalah guru sekolah yang tidak bisa mengajar dengan baik. Bahkan, ada pula guru sekolah yang merangkap jadi petugas perpustakaan. Padahal, pustakawan yang akan dibutuhkan di berbagai instansi, termasuk sekolah, minimal berpendidikan DII, bahkan lebih bagus lagi, S1 Ilmu Perpustakaan.

Mencontoh dari Perpustakaan Umum

Saat saya mengunjungi Perpustakaan daerah yang terletak di kota terdekat di daerah saya, beberapa bulan yang lalu, saya melihat penataan buku perpustakaan yang cenderung rapi sesuai bidangnya masing-masing. Ada buku-buku yang ditaruh di rak dengan nama bidang Ilmu Perpustakaan, Agama, Bahasa, Pertanian, dan lain sebagainya, hanya saja buku-buku tersebut kurang update, sehingga saya tidak bisa membaca buku-buku yang menarik dan terbaru. Meja dan kursi yang biasa digunakan untuk membaca buku, juga ditata dengan rapi.

Ketika saya hendak meminjam buku, sistem peminjamannya tidak menggunakan manual lagi, dicatat namanya di buku peminjam seperti yang biasa saya lakukan di sekolah. Kode barcode yang terdapat dalam buku tersebut dideteksi menggunakan mesin sensor barcode, layaknya barang-barang yang melakukan hal yang sama ketika saya berbelanja di pasar swalayan. Dari pendeteksian barcode itu, terlihat judul buku dan informasi lainnya, kemudian di kartu keterangan peminjaman, dicatat tanggal pengembalian buku tersebut.

Dari situlah, mengapa perpustakaan sekolah perlu melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, termasuk teknologi yang digunakan pada perpustakaan pada berbagai instansi. Ya tentu saja, demi kemudahan dan kenyamanan penggunanya itu sendiri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun