Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

2020, Pertama Kalinya Menjalani Hidup di Tengah Wabah

31 Desember 2020   22:49 Diperbarui: 31 Desember 2020   22:56 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sangka, kalau 2020 ditakdirkan sebagai masa depan suram?

Awalnya, harapanku tahun 2020 itu seperti indahnya susunan cantik angka 20 diulang dua kali. Namun, sebelum melangkah di dalamnya, dunia sudah duluan dibuat heboh.

Saat akhir tahun kemarin sedang berapi-api mendukung kontingen Indonesia di SEA Games 2019, virus baru yang tak dikenal saat itu merebak di kota Wuhan, Tiongkok.

Tahun itu akhirnya berganti termasuk Imlek. Alih-alih membuat pesta, malah lockdown---gak bisa kemana-mana. Itu berita yang kuterima di saat yang sama menjalani libur di kampung halaman.

Setelah virus itu menjelajah di berbagai negara termasuk si tetangga, barulah penyebarannya sah---masuk ke Indonesia, bikin rakyatnya huru-hara. Sepertinya ikutan negara-negara lain; panic buying borong barang ini itu saking takutnya.

Syukurlah di kampungku tak terjangkiti perilaku macam itu. Namun, tetap saja harus bersiap dengan "bekal" kalau pagebluk ini menjadi kenyataan. Beli masker, terus sabun cair beserta botolnya. Setidaknya, ini buat perlindungan agar virus tak menjajah rumah dan keluarga kami.

18 Maret 2020, babak baru di hidupku akhirnya dimulai.

Inilah pertama kalinya saya harus menjalani hari demi hari di tengah wabah. Tepatnya, virus Corona. Memang sih, ada SARS, Flu Babi H1N1 dan Flu Burung yang menjangkiti negeri ini, tapi setahuku ketiganya tak pernah sampai di lingkunganku.

Nah, virus SARS-CoV-2---penyebab COVID-19---lambat laun sudah menjejakkan diri di daerahku, membuat sekolah ditutup dan terpaksa belajar di rumah, pengajian pun demikian. Tapi, kok masjid-masjid masih tetap aktif, ya?

Dan, satu hal yang pasti, mengenakan masker itu perlahan menjadi budaya, terus bikin tanda pemisah di berbagai minimarket dan supermarket.

Bedanya, kami ini tak sekalipun merasakan PSBB, membuat kami masih bisa bebas keluar---tapi yah, tetap aja khawatir. Apalagi pas mau ke luar kota naik angkutan umum, yang belum tentu suci dari kuman termasuk virus. Hmmm, memang harus patuhi protokol, ya.

Sebagai ganti plesiranku yang tertunda, diriku mulai rajin membuat masakan baru, di samping menulis. Memang efektif sih, biar hobiku yang kujalani bisa menghalau stress yang datang menghadang jiwaku.

Baca juga: Tekunilah Hobi Saat Pandemi, Agar Tak Terjebak di "Dunia Mimpi"

Puncaknya, pas Lebaran bulan Mei lalu, itu memang tak seramai tahun kemarin. Shalat Id ditiadakan, rumah-rumah cukup sepi, tapi tetap saja bisa menerima tamu, dengan menyediakan cuci tangan di depan rumah. Saya sendiri sama sekali tak berkunjung ke rumah teman, memang lebih baik #dirumahaja.

Baca Juga: Bukan Lebaran Terburuk bagi Ibu Pertiwi

NEW NORMAL, TANDA KEMENANGAN?

Setelah beberapa bulan melewati wabah penyakit COVID, tentu rasanya jenuh, ya. Di tengah hal itu, Presiden mengeluarkan gagasan New Normal atau kelaziman baru. Sontak manusia berjiwa mobilitas itu girang bukan main.

"Waah, ini bisa bebas dong!" Bukan begitu!

Ada aturan main yang harus dituruti oleh segenap masyarakat: protokol kesehatan. Ya, pakai masker, cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer, jaga jarak. Semua ini, demi keselamatan diri kita sendiri.

Sayangnya, kita ini cenderung abai dan enggan mematuhi protokol ini lagi. Di daerahku juga sama, banyak yang menolak bermasker dan cuci tangan di tempat umum. Malah, mulai dempet-dempetan, atur jarak jadi sulit diterapkan.

Bertahan di situasi seperti ini memang membuat capek. Bosan, tak kuat lagi bertahan, malah cepat-cepat berharap pandemi ini akan berakhir. Sudah pendapatan menyusut---bahkan kosong sama sekali, gegara amukan virus yang terus bergentayangan.

Dan, rasanya ini sebanding dengan hasilnya. Jumlah kasusnya semakin tak terkendali, sangat tinggi, malah bisa menyentuh delapan ribuan. Belum lagi berkembang kepercayaan bahwa COVID ini konspirasi dan kabar bohong belaka. Padahal, sudah ditunjukkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penyakit itu nyata adanya.

Nah, apakah kita bisa sabar melewati ini semua?

Bagi yang imannya kuat, semoga bisa. Tapi, bagi yang lemah jiwanya, semoga disadarkan bahwa ini adalah ujian untuk menjadi insan yang terbaik. Mungkin, inilah saatnya untuk berlari dan menapaki spiritualitas pada Yang Mahakuasa.

Mungkin, kita ini yang salah, tentang cara memperlakukan Bumi, sehingga alam tak meridhai kita. Itulah yang menjadi titik balik untuk menyayangi Bumi seperti ia telah memberikan banyak hal untuk kalian.

Kuharap, 2021 pandemi cepat diangkat di dunia ini. Cukup sampai disini. Mudah-mudahan, wabah yang kulalui selama ini hanya sekali ini saja. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun