Setiap kali saya menyaksikan pertandingan bulutangkis, saya melihat betapa para atlet Indonesia rela berkorban demi kemuliaan nama negaranya. Ya, bahkan bisa menjadi cara ampuh untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Tak berbeda dengan para pejuang-pejuang terdahulu, untuk mengembalikan tradisi emas Olimpiade, para atlet bulutangkis mulai menyusun persiapan yang lengkap dan mengorbankan waktu bersama keluarga demi latihan ke Olimpiade Rio, mulai dari persiapan fisik, analisis lawan, bahkan sampai mendatangkan psikolog olahraga untuk kebutuhan psikis mereka. Ditambah lagi dengan mendekatkan diri padaNya dengan berbagai cara, salah satunya salah satu atlet ganda campuran membawa kitab suci sesuai keyakinannya.
Dan hasilnya memang meyakinkan! Tepat 17 Agustus waktu Brasil, Indonesia berhasil mendulang medali emas dari cabang bulutangkis, nomor ganda campuran. Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir telah menjalankan tugas dengan terus menang tanpa kehilangan satu game pun, sempurna! Menyingkirkan berbagai lawan, bahkan tak sedikitpun gentar menghadapi musuh bebuyutan Tiongkok yang kini hanya puas meraih medali perunggu. Bagi di Indonesia, waktu kemenangan itu sekaligus menutup tanggal Proklamasi Kemerdekaan yang tinggal beberapa saat lagi. Beda dengan di Brasil, 17 Agustus masih terus berjalan pada tengah harinya.
Ya, saya tak membahas lebih lanjut tentang itu. Saya lebih menyorot pemain-pemain bulutangkis dari berbagai negara yang tampil di berbagai level Internasional. Yang saya amati, terutama di ganda campuran, pemain itu hampir beretnis sama, homogen. Bahkan dari negeri Jiran, kebanyakan pemain ganda yang tampil sama-sama keturunan Tionghoa. Kalaupun ada negara lain yang pasangannya beda etnis, ya itu jarang dijumpai.
Beda dengan ganda Indonesia. Saya memang mengagumi pemain bulutangkis, terlebih pada nomor ganda, pasangan yang beda suku, beda agama, tapi saling melengkapi dan menyatukan. Alih-alih terpuruk, justru para atlet membuahkan prestasi yang luar biasa, serta menjadikan Indonesia menjadi negara bulutangkis yang disegani, meski pada saat ini peta kekuatan bulutangkis semakin merata.
Memang, pada perhelatan Olimpiade Barcelona 1992, peraih medali emas Olimpiade sama-sama dari beretnis Tionghoa, namun tak berlangsung lama. Empat tahun kemudian, pada nomor ganda, ganda putra Ricky Subagja/Rexy Mainaky sukses meneruskan tradisi medali yang sangat presitus itu. Tahun 2008, Markis Kido/Hendra Setiawan kembali menambah medali emas, juga dari nomor ganda putra, sampai yang terbaru Owi/Butet yang telah saya jelaskan di atas. Jangan lupa juga, tahun 2014 lalu, Greysia Polii/Nitya Maheswari yang sukses merebut emas dari nomor ganda putri.
Ya, patut dicermati, ternyata memang pasangan ganda Indonesia adalah dua orang beda etnis dan keyakinan yang dianutnya. Tontowi adalah pemain bersuku Jawa dan beragama Islam. Sedangkan Butet--sapaan akrab Liliyana adalah atlet berdarah Tionghoa-Manado dan menganut Katolik, begitu juga dengan Kido yang bersuku Minangkabau dan seorang Muslim dan Hendra, seorang Tionghoa penganut Kristiani. Dan, masih ada pasangan atlet bulutangkis yang merupakan dua orang yang berbeda suku dan agamanya.
Apalagi dengan nomor tunggal, semua atlet, apapun etnis dan keyakinan seseorang, semua diberi kesempatan sama untuk meraih prestasi bergengsi. Tak melulu dimonopoli dengan kalangan tertentu. Sesuai dengan semboyan negara kita--Bhinneka Tunggal Ika, Tionghoa, Jawa, Sunda--dan suku-suku lainnya, semua altet yang berkualitas dapat bersatu padu untuk meraih mimpi, dibawah payung negara tercinta kita, Indonesia, iyaa 'kan?
Rahasia Prestasi Ditengah KeranekaragamanÂ
Ya, sejak dahulu nenek moyang kita telah berhasil mempersatukan berbagai perbedaan, terlebih lagi puncaknya pada Kongres Pemuda 1928. Dan, sifat tersebut telah diwariskan turun menurun pada generasi muda, hingga kini. Tak terkecuali, para atlet olahraga. Saling menghargai dan saling menjaga sebagai satu kesatuan bangsa, baik saat bergaul maupun bertanding, adalah bumbu rahasia yang bisa mempertahankan kebersamaan tanpa saling bercerai-berai 'hanya' karena hal-hal yang tak sama.
Dan, ada yang lebih penting daripada hal itu. Para pelatih jarang sekali memasangkan pemain yang sama dalam berbagai hal. Tak jarang, pasangan tersebut dipasngkan setelah melihat karakteristik dan temperamen para pemain yang saling melengkapi, baik kekurangan maupun kelebihan. Alhasil, pasangan tersebut adalah pasangan serasi, terlepas dari perbedaan suku dan kerohanian yang dimiliki para pemain atlet kita, bukan?
Lihatlah Greysia yang berdarah Manado dan Nitya yang bersuku Papua-Jawa. Greys, sapaan akrab Greysia, memang sangat ekspresif, sedangkan Nitya tampak kalem dan tenang. Hal itu bisa dilihat dari media sosial Greysia yang terbuka untuk publik dan Nitya yang cenderung menyetel medsos-nya ke privat, tak sembarang orang bisa melihatnya. Dan tak hanya itu, di lapangan, Nitya memang bertugas untuk menenangkan Greysia yang 'terlalu bersemangat'. Pantas, pasangan tersebut tetap kompak, sampai-sampai dengan perpaduan kebihan skill-nya, bisa membuat lawan takluk pada mereka.